Minggu, 24 Juni 2018

Dalihan Na Tolu: Falsafah Hidup Orang Batak.


Dalihan Na Tolu :












Falsafah Hidup Orang Batak Yang turun temurun Sampai hari ini.

   Horas ma di hita saluhutna. Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu.

   Dalihan Na Tolu sebagai system kekerabatan orang batak mempunyai nilai yang tidak kalah penting dengan system lain yang sangat populer saat ini, yaitu Demokrasi. “Dalihan Na Tolu” ini melambangkan sikap hidup orang batak dalam bermasyarakat. Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLUDalihan dapat diterjemahkan sebagai “tungku” yang mengandung arti yang sama, ‘3 POSISI PENTING’ dalam kekerabatan orang Batak.

Pengertian Dasar Dalihan Na Tolu
   Dahulu untuk keperluan memasak beras (boras) menjadi nasi (indahan) orang Batak menggunakan periuk tanah (hudon tano) yang dipanaskan di atas suatu tungku yang unik.

   Tungku unik itu tersusun atas tiga batu besar berukuran sama. Bagaimanakah tiga batu itu bisa menjadi sebuah tungku? Ketiga batu berukuran sama itu diletakkan dalam satu lingkaran dengan jarak sama satu dengan lainnya sehingga posisi ketiganya seimbang untuk menopang periuk atau kuali di atasnya.


   Tentu, batu itu adalah batu pilihan yang kokoh dan tidak mudah pecah oleh panas. Kemudian, di antara kaki-kaki batu itu ditaruh kayu bakar dan nyala api akan memanaskan periuk tanah yang berisi beras dan air di atas ketiga batu itu.

   Nama tungku yang terbuat dari tiga batu itu adalah Dalihan Na Tolu.
Dalihan = tungku, Na = yang, Tolu = tiga (Tungku yang tiga)

   Dalihan Na Tolu: Falsafah Hidup Orang Batak Yang Turun Temurun Sampai Hari Ini
Ternyata Dalihan Na Tolu itu menjadi filsafat utama orang Batak yang bertahan sampai saat ini dan menjadi pegangan dalam interaksi sesama orang Batak. Ketiga batu yang sama kuat itu dilambangkan sebagai tiga pihak yang sama kuat dan menjadi satu kesatuan yang seimbang, yang terdiri dari :

  • Somba Marhula-hula
  • Manat Mardongan Tubu
  • Elek Marboru
Dalihan Na Tolu: Falsafah Hidup Orang Batak

1. Somba marhula-hula (hormat kepada pihak Hula-hula).
Somba = hormat. Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).

2. Manat mardongan tubu (hati-hati kepada pihak semarga)
Manat = hati-hati. Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek.   Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.

3. Elek marboru (membujuk/ melindungi pihak Boru)
   Elek= bujuk. Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena.   Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.

   Adat Batak menentukan sikap terhadap ketiga kelompok tsb, yaitu Somba, Manat, dan Elek. Kita bisa menjadi bagian dari masing-masing pihak dalam perjalanan hidup kita menghadapi orang Batak lainnya. Dengan demikian, semua orang Batak dapat menduduki salah satu posisi tsb, tidak selalu dalam posisi Boru atau posisi Dongan Tubu. Semua posisi itu sama kuatnya dan sama pentingnya serta saling melengkapi satu sama lainnya seperti ketiga batu yang membentuk tungku itu di masa lalu.

   Dalihan Na Tolu ini menjadi pedoman hidup orang Batak dalam kehidupan bermasyarakat. Dalihan Na tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut: ada saatnya menjadi Hula hula, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu dan ada saatnya menjadi BORU. Dengan Dalihan Na tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang Jenderal harus siap bekerja untuk melayani dan mensukseskan ulaon keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Kapten. Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na tolu merupakan SISTEM DEMOKRASI Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai nilai yang universal.

Keharmonisan Adat Batak dalam Lingkaran Dalihan Natolu
   Ada sebuah kalimat bijak yang mengatakan bahwa “Roda Kehidupan Akan Selalu Berputar“. Setiap orang tidak selamanya diatas dan tidak pula selamanya dibawah dalam seluruh perjalanan hidupnya. Begitulah filosofi “Roda Berputar“ itu telah melekat dan menyatu kedalam filosofi adat masyarakat Batak yang domninan berasal dari Danau Toba Sumatera Utara..

   Filosofi adat batak yang telah beratus tahun menjadi sebuah kearifan lokal masyarakat batak tersebut adalah Adat Dalihan Na ToluDalihan Na Tolu yang berarti tungku yang berkaki tiga merupakan filosofi kedua dalam kehidupan masyarakat Batak setelah keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mengapa berkaki tiga? Hal itu agar supaya terjadi sebuah keseimbangan yang tetap menjaga keharmonisan hubungan dalam tungku kekeluargaan.

   Ketiga istilah dalam Dalihan Na Tolu tersebut melekat pada diri setiap orang Batak. Setiap orang Batak pada suatu waktu akan berposisi sebagai salah satu diantara hula-hula, atau berposisi sebagai boru dan atau berposisi sebagai dongan tubu. Hal itu tergantung sebagai apa posisinya dalam adat pada waktu sebuah pesta adat dilaksanakan. Contohnya pada sebuah acara perkawinan, saya akan berposisi sebagai hula-hula terhadap saudara perempuan saya, namun dilain pihak saya beserta istri juga akan berposisi sebagai boru terhadap saudara laki-laki dari pihak istri. Dan saya akan berposisi sebagai dongan tubu ketika saya bertemu dengan saudara yang semarga dengan saya.

   Meskipun terlihat simple, namun ketika dirunut dalam sebuah pesta besar maka akan sangat sulit dan hanya raja adat dan para orang tualah biasanya yang sudah memahaminya dengan benar. Untuk prosesi pelaksanaan acara adat, selalu disesuaikan fungsi seseorang dalam acara adat tersebut. Terciptanya pola pikir demikian, karena relasi kekerabatan ditata dalam sistem dalihan na tolu yang diwariskan turun temurun.  Apabila melanggar tatanan adat, berarti melanggar petuah leluhur yang berarti pula menentang kehendak masyarakat sekitarnya yang tentu saja dapat menjadi bahan pembicaraan, atau dikucilkan dari lingkungan masyarakatnya.

   Setiap orang Batak dalam sebuah pesta/acara adat pasti akan berposisi diantara salah satunya yaitu mungkin akan melakoni sebagai hula-hula, atau boru atau dongan tubu. Itulah sebabnya diawal saya menyatakannya sebagai sebuah “roda yang berputar“ atau sebagai tungku yang berkaki tiga. Dengan adat yang kompleks seperti itu, Tak salah jika orang Batak disebut sebagai sebuah bangsa karena memiliki dan menjunjung adat Dalihan Na Tolu yang terkenal hingga keluar negeri.

   Kearifan lokal adat Batak ini sampai sekarang masih tetap terjaga keharmonisannya ditengah keberagaman Indonesia. Bangso Batak selain menjaga keharmonisan Adatnya namun tetap mengutamakan nilai kebhinekaan Indonesia. Bahkan bangso batak dapat dikatakan menjadi katalis yang menjadikan Indonesia juga terkenal di dunia soal keragaman dan keunikan budayanya sehingga budaya lokal batak tersebar kepenjuru dunia lewat orang-orang batak yang merantau. Dengan demikian, kearifan lokal dalihan na tolu nyata memiliki potensi kuat merajut hubungan dengan siapapun apalagi jika dijadikan ciri khas dalam dunia kepariwisataan Indonesia terkhususnya Sumatera Utara yang tentunya akan memancing wisatawan berkunjung.

Demikianlah tulisan singkat mengenai "Dalihan Na Tolu: Falsafah Hidup Orang Batak Yang Turun Temurun Sampai Hari Ini". Salam hormat kami untuk anda sekalian, Halak Hita. Horas. Tuhan memberkati.***

Sumber: 



Sabtu, 23 Juni 2018

Komitment Seorang Ibu


Image Gallery ibu

   






“One mother said, ten years from now who will remember the kind of clothes I wore, how old my car is, or the way my home was furnished?. But every one will notice how I trained my children”.

   (“Seorang ibu pernah berkata: Sepuluh tahun dari sekarang ini, siapakah yang mengingat jenis pakaian yang saya telah pakai, bagaimana caranya rumah saya diperlengkapi dengan perabot rumah?.  Tetapi setiap orang akan memperhatikan bagaimana saya telah melatih anak saya.”)

Senin, 18 Juni 2018

Kekuatan Allah Dalam Menghadapi Pergumulan Hidup.


   Historia de David contada a los niños










   Masih ingat cerita Daud mengalahkan Goliat, orang Filistin itu? Apa rahasia di balik kemenangan Daud melawan orang yang konon tingginya tiga meter lebih dan sangat terampil dalam berperang? Benar, keyakinan iman Daud bahwa ada tangan yang Mahakuasa yang menopangnya.  Tangan TUHAN!   Keyakinan itu tidak lantas membebaskan Daud berperang menghadapi Goliat. Daud harus pergi berperang! Tak pelak lagi, peristiwa ini mengangkat nama Daud menjadi tenar dan ia disegani baik oleh lawan maupun kawan.
   Dalam 2 Samuel 5:1-10, dikisahkan Daud telah menjadi raja atas seluruh Israel. Raja bukan karena warisan, melainkan karena ia mampu menaklukkan lawan. Sejak saat itu, “Lalu makin lama makin besarlah kuasa Daud, sebab TUHAN, Allah semesta alam, menyertainya.” (2 Samuel 5:10).
   Apa yang dapat kita pelajari dari kisah Daud ini? Minimal, kita bisa melihat, untuk seseorang menjadi besar, ia harus berani berhadapan dengan tantangan. Ketika TUHAN “membesarkan” Daud, Ia tidak membebaskan Daud dari tantangan. Bahkan, semakin besar musuh atau tantangan yang dihadapi kelak akan berdampak signifikan dalam kesuksesan yang diraihnya. TUHAN yang penuh kuasa itu, dalam pergumulan Daud, tidak dimintanya menyingkirkan para lawan Daud. Namun, Daud senantiasa percaya dan berharap bahwa tangan Sang Mahakuasa itu menopang, memberikan kepada dirinya baik hikmat dan kemampuan berperang dalam menghadapi tantangan. Dalam konteks Daud, tantangan itu adalah musuh-musuh bangsa Israel.
   Dalam kisah tokoh-tokoh Alkitab, kita dapat menyaksikan bahwa TUHAN tidak pernah membebaskan orang-orang pilihan-Nya dari pelbagai tantangan, pergumulan, aniaya, dan penderitaan. Alih-alih menyeterilkan dari kesulitan, Allah memberi kemampuan, hikmat, dan penyertaan-Nya agar orang-orang pilihan-Nya itu mampu menghadapi tantangan, pergumulan, aniaya, dan pelbagai penderitaan. Hal ini menjadi menarik apabila kita menengok sejenak dengan doa-doa yang sering kita panjatkan manakala kesulitan menerpa kita. Apa yang sering kita minta? Pengalaman menunjukkan bahwa di tengah situasi sulit dan terjepit, kita lebih banyak meminta agar TUHAN mengangkat pergumulan itu ketimbang memohon agar TUHAN memberi kemampuan untuk kita dapat mengatasinya.
   Ketika dianiaya, diintimidasi atau didiskriminasi, doa-doa kita pada umumnya minta agar TUHAN menegur, menginsyafkan bahkan membalas orang yang menganiaya itu.
   Jarang kita berdoa agar TUHAN memberikan ketabahan dan ketegaran serta hikmat untuk menghadapi dan memenangkan situasi seperti ini. Ketika usaha atau pekerjaan kita mengalami krisis, isi doa kita adalah meminta TUHAN segera memberikan lapangan pekerjaan baru atau meminta mengetuk hati orang lain mengulurkan kemurahanya dan menolong kita. Jarang kita berdoa meminta supaya TUHAN memampukan daya kreatif kita untuk menyiasati masa-masa sulit ini. Ketika kita sakit, isi doa kita kebanyakan minta TUHAN sembuhkan bahkan meminta-Nya mengangkat semua sakit penyakit dan simsalabin seketika itu juga sakit kita menjadi sembuh. Sering tidak terpikir oleh kita untuk berdoa agar TUHAN memampukan kita supaya dapat menanggung penyakit itu dengan tidak kehilangan kegembiraan.
   Untuk sampai pada kesadaran meminta TUHAN tidak membebaskan kita dari segala pergumulan hidup, namun menyanggupkan kita mengatasinya ternyata memerlukan proses yang tidak mudah. Paulus sendiri mengalaminya. Meskipun ia giat dalam pekerjaan TUHAN, ternyata TUHAN yang Ia layani tidak membebaskannya dari penderitaan yang harus diterima oleh setiap orang. Paulus pernah dianiaya, dilecehkan, diragukan kerasulannya, dan bahkan sakit ada “duri dalam dagingnya”. Tentu, sebagai orang percaya ia berdoa kepada TUHAN. “Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku.” (2 Korintus 12:8) demikian doa Paulus ketika ada pergumulan “duri dalam daging” di tubuhnya.
   Apa yang dimaksud dengan duri dalam daging itu? Skolop, memang dapat berati “duri”. Namun, dapat berarti juga tiang pancang yang tajam untuk menyulakan penjahat. Bagaimana pun dapat kita rasakan sakitnya seperti apa ketika ada duri dalam tubuh atau daging kita. Ada banyak tokoh-tokoh Kristen menafsirkan duri dalam daging Paulus.
   Calvin mengatakan bahwa yang dimaksudkan Paulus adalah penderitaan-penderitaan rohani yang meragukan pelayanan Paulus. Bagi Luther, bukan perkara rohani, melainkan jelas-jelas Paulus mengalami penganiayaan dan perlawanan yang mencoba menghentikan pelayanannya. Lebih jauh banyak orang menduga apa yang dimaksud dengan duri dalam daging  itu adalah sakit penyakit yang dialami dalam tubuh Paulus sendiri. Ada yang mengatakan sakit Paulus itu adalah sakit penglihatan. Setelah perjumpaan dengan Yesus yang menyebabkan kebutaan maka masih ada “sisa” sakit penglihatannya sehingga menghambat pelayanannya. Banyak juga yang menduga bahwa Paulus mempunyai sakit ayan dan dengan itu sangat menghambat pelayanannya. Tidak sedikit pula yang menduga bahwa Paulus terserang malaria yang mewabah di pantai Timur Mediterania.   Orang yang terserang penyakit itu akan merasakan pusing yang sangat hebat, ibarat jeruji panas yang menusuk sampai ke dahi.
   Apa pun juga penafsirannya, duri dalam daging  itu adalah penderitaan, halangan bagi Paulus untuk mengerjakan tugas panggilannya. Alangkah logisnya dalam pemikiran kita bahwa TUHAN membebaskan halangan penderitaan itu agar pemberitaan Injil dapat dengan mudah dilakukan. Namun kenyataannya tidaklah demikian.
   Paulus telah tiga kali berdoa agar apa yang dideritanya dibebaskan Tuhan. Kenyataannya, apa yang menjadi jawaban doa dari Tuhan? Apakah Tuhan mengangkat dan melenyapkan sakit penyakitnya? Ternyata tidak! Lalu apakah Tuhan tidak adil dan tidak mengasihi Paulus? Tidak juga demikian. Dia punya rancangan-Nya sendiri. Tuhan tidak menyingkirkan penyakit Paulus tetapi memberi Paulus kekuatan untuk menanggungnya. Begitulah cara Tuhan bekerja.
   Cara Tuhan mengasihi umat-Nya bukanlah dengan membebaskan dari pelbagai masalah dan penderitaan. Melainkan Ia melatih kita, memberi kemampuan agar kita dapat menghadapinya. Ia mendidik kita agar menjadi anak-anak-Nya yang tangguh bukan anak manja yang cengeng. Tuhan itu laksana seorang ayah yang tinggal di tepi sungai. Ia tidak memindahkan sungai atau rumah itu agar jauh dari jangkauan anaknya. Melainkan sang ayah melatih kemampuan anaknya agar bisa berenang supaya tidak dihanyutkan oleh air sungai itu.
   Dalam Injil Markus 6:6b-13, ketika Yesus mengutus keduabelas rasul untuk memberitakan Injil. Ia tidak melenyapkan rintangan-rintangan yang akan menghalangi mereka. Namun, Yesus terlebih dahulu memberi mereka kuasa agar dapat mengatasinya. “Ia memanggil kedua belas murid itu dan mengutus mereka berdua-dua. Ia memberi mereka kuasa atas roh-roh jahat,…” (Markus 6:7). Jadi bukan kuasa-kuasa jahatnya yang terlebih dulu disingkirkan agar para murid mudah mengerjakan tugas perutusan mereka. Melainkan sebaliknya, para murid dilengkapi terlebih dahulu dengan kuasa agar setiap rintangan dapat mereka atasi.
   Dalam kehidupan ini, siapa pun tidak steril dari masalah, pergumulan, penderitaan dan kesulitan hidup lainnya. Namun, cara kita menghadapinya akan menentukan dan menunjukkan jati diri kita. Keyakinan terhadap kuasa Allah yang sanggup menghadapi pergumulan hidup tentu bukan memaksa-Nya agar pergumulan itu dilenyapkan. Akan lebih baik apabila kita memohon agar kekuatan Allah itu memampukan kita menghadapi pelbagai pergumulan hidup. Dan yakinlah bahwa Allah di dalam Yesus Kristus telah memberi kita “modal” berupa talenta, hikmat, nalar, fisik dan yang lainnya agar kita mampu memenangkan  pergumulan hidup ini!.  Tuhan memberkati kita!.


Hidup Adalah Pergumulan.


Elia | Faith -- Hope -- Love
















       Nas Alkitab : Yohanes 5 : 1-18
 “Sebab sewaktu-waktu turun malaikat Tuhan ke kolam itu dan menggoncangkan air itu; barangsiapa yang terdahulu masuk ke dalamnya sesudah goncangan air itu, menjadi sembuh, apa pun juga penyakitnya” (Yohanes 5 : 4).
   Hidup ini adalah pergumulan,  tema ini tidak asing lagi didalam kehidupan kita. Tidak ada kesuksesan yang diraih tanpa pergumulan, tidak ada keberhasilan hidup tanpa (peluh, keringat dan air mata).
 Bahkan, seorang ilmuan bernama Thomas Alva Edison berkata Kesuksesan adalah 1% kegeniusan dan 99% adalah kerja keras.”.
   Sebagai contoh, kita melihat dalam kehidupan orang-orang muda, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak tantangan dan resiko yang harus mereka hadapi karena mereka masih menjalani proses hidup untuk mencari jati diri mereka. Mereka bergumul melawan Narkoba, pergaulan bebas yang mengakibatkan seks bebas, dan tentu banyak lagi pergumulan yang kita hadapi termasuk pergumulan menghadapi permasalahan dalam hidup kita.
   Pergumulan itu membutuhkan komitmen dan kerja keras dalam menjalaninya. Tanpa keduanya dapat dikatakan bahwa seseorang tidak memiliki pergumulan atas hidupnya. Pergumulan sebenarnya adalah penderitaan. Karena untuk mendapatkan pergumulan dan hasil harus dibayar dengan penderitaan.
   Kita lihat dalam kehidupan seorang anak muda ketika dia jatuh cinta dengan seorang lawan jenis, dia bergumul untuk mendapatkan cinta itu walaupun pergumulan dan hasilnya harus dibayar dengan penderitaan dulu, karena mungkin dia menderita ketika dicuekin, ditolak, namun tidak putus asa untuk terus bergumul.
   Dalam bacaan Firman Tuhan hari ini, Alkitab memberikan perspektif yang berbeda tentang makna dari sebuah pergumulan hidup.
   Didalam bacaan ini dikatakan, Di Yerusalem dekat Pintu Gerbang Domba ada sebuah kolam yang bernama Betesda 
   Betesda ini memiliki lima serambi. Di serambi-serambi itu berbaring sejumlah besar orang sakit, orang-orang buta, orang-orang timpang, dan orang-rang lumpuh. Disana mereka menantikan goncangan air kolam tersebut.
   Didalam alkitab dikatakan, ada aturan main yang luar biasa disini dan akal manusia yang terbatas sulit memahaminya.     

   Aturan itu adalah barang siapa yang lebih dahulu masuk di dalamnya itulah yang mendapat kesembuhan.
   Aturan ini membuat kita bertanya, kalau hal itu diberlakukan bagi kita orang-orang sehat tidak masalah. Tetapi bila hal ini diberlakukan bagi orang-orang sakit, itu adalah suatu hal yang sukar dipahami. Namun itulah aturan mainnya. Di sana bisa kita lihat hasil dari penantian dan pergumulan panjang seorang yang sudah tiga puluh delapan tahun lamanya sakit.
   Satu hal yang harus kita ingat, Manusia harus bergumul sedemikian rupa agar memperoleh berkat yang sudah disediakan-Nya yakni kesembuhan.
   Jika hanya berdiam diri dan tidak pernah mencoba bertarung, maka seumur hidup tidak pernah menyaksikan dan mengalami pertolongan Tuhan.
   Sakit, mengalami permasalahan dalam hidup, putus cinta, ditolak cintanya atau apapun itu bukanlah alasan untuk berdiam diri.  
   Keterbatasan bukan pula alasan untuk berkata inilah nasib saya. Tuhan mau, kita bergumul dari keterbatasan yang ada, agar kuasa-Nya makin nyata bagi kita. Inilah prinsip Firman Tuhan.
   Saudaraku, semakin kita merasakan pergumulan hidup, semakin dekat pula penemuan kita akan makna kehidupan yang sesungguhnya, walaupun kita terbatas, tetaplah bergumul/berjuang  agar kuasa-Nya menjadi nyata dalam hidup kita.
   Tuhan memberkati kita semua. AMEN.