Senin, 18 Juni 2018

Kekuatan Allah Dalam Menghadapi Pergumulan Hidup.


   Historia de David contada a los niños










   Masih ingat cerita Daud mengalahkan Goliat, orang Filistin itu? Apa rahasia di balik kemenangan Daud melawan orang yang konon tingginya tiga meter lebih dan sangat terampil dalam berperang? Benar, keyakinan iman Daud bahwa ada tangan yang Mahakuasa yang menopangnya.  Tangan TUHAN!   Keyakinan itu tidak lantas membebaskan Daud berperang menghadapi Goliat. Daud harus pergi berperang! Tak pelak lagi, peristiwa ini mengangkat nama Daud menjadi tenar dan ia disegani baik oleh lawan maupun kawan.
   Dalam 2 Samuel 5:1-10, dikisahkan Daud telah menjadi raja atas seluruh Israel. Raja bukan karena warisan, melainkan karena ia mampu menaklukkan lawan. Sejak saat itu, “Lalu makin lama makin besarlah kuasa Daud, sebab TUHAN, Allah semesta alam, menyertainya.” (2 Samuel 5:10).
   Apa yang dapat kita pelajari dari kisah Daud ini? Minimal, kita bisa melihat, untuk seseorang menjadi besar, ia harus berani berhadapan dengan tantangan. Ketika TUHAN “membesarkan” Daud, Ia tidak membebaskan Daud dari tantangan. Bahkan, semakin besar musuh atau tantangan yang dihadapi kelak akan berdampak signifikan dalam kesuksesan yang diraihnya. TUHAN yang penuh kuasa itu, dalam pergumulan Daud, tidak dimintanya menyingkirkan para lawan Daud. Namun, Daud senantiasa percaya dan berharap bahwa tangan Sang Mahakuasa itu menopang, memberikan kepada dirinya baik hikmat dan kemampuan berperang dalam menghadapi tantangan. Dalam konteks Daud, tantangan itu adalah musuh-musuh bangsa Israel.
   Dalam kisah tokoh-tokoh Alkitab, kita dapat menyaksikan bahwa TUHAN tidak pernah membebaskan orang-orang pilihan-Nya dari pelbagai tantangan, pergumulan, aniaya, dan penderitaan. Alih-alih menyeterilkan dari kesulitan, Allah memberi kemampuan, hikmat, dan penyertaan-Nya agar orang-orang pilihan-Nya itu mampu menghadapi tantangan, pergumulan, aniaya, dan pelbagai penderitaan. Hal ini menjadi menarik apabila kita menengok sejenak dengan doa-doa yang sering kita panjatkan manakala kesulitan menerpa kita. Apa yang sering kita minta? Pengalaman menunjukkan bahwa di tengah situasi sulit dan terjepit, kita lebih banyak meminta agar TUHAN mengangkat pergumulan itu ketimbang memohon agar TUHAN memberi kemampuan untuk kita dapat mengatasinya.
   Ketika dianiaya, diintimidasi atau didiskriminasi, doa-doa kita pada umumnya minta agar TUHAN menegur, menginsyafkan bahkan membalas orang yang menganiaya itu.
   Jarang kita berdoa agar TUHAN memberikan ketabahan dan ketegaran serta hikmat untuk menghadapi dan memenangkan situasi seperti ini. Ketika usaha atau pekerjaan kita mengalami krisis, isi doa kita adalah meminta TUHAN segera memberikan lapangan pekerjaan baru atau meminta mengetuk hati orang lain mengulurkan kemurahanya dan menolong kita. Jarang kita berdoa meminta supaya TUHAN memampukan daya kreatif kita untuk menyiasati masa-masa sulit ini. Ketika kita sakit, isi doa kita kebanyakan minta TUHAN sembuhkan bahkan meminta-Nya mengangkat semua sakit penyakit dan simsalabin seketika itu juga sakit kita menjadi sembuh. Sering tidak terpikir oleh kita untuk berdoa agar TUHAN memampukan kita supaya dapat menanggung penyakit itu dengan tidak kehilangan kegembiraan.
   Untuk sampai pada kesadaran meminta TUHAN tidak membebaskan kita dari segala pergumulan hidup, namun menyanggupkan kita mengatasinya ternyata memerlukan proses yang tidak mudah. Paulus sendiri mengalaminya. Meskipun ia giat dalam pekerjaan TUHAN, ternyata TUHAN yang Ia layani tidak membebaskannya dari penderitaan yang harus diterima oleh setiap orang. Paulus pernah dianiaya, dilecehkan, diragukan kerasulannya, dan bahkan sakit ada “duri dalam dagingnya”. Tentu, sebagai orang percaya ia berdoa kepada TUHAN. “Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku.” (2 Korintus 12:8) demikian doa Paulus ketika ada pergumulan “duri dalam daging” di tubuhnya.
   Apa yang dimaksud dengan duri dalam daging itu? Skolop, memang dapat berati “duri”. Namun, dapat berarti juga tiang pancang yang tajam untuk menyulakan penjahat. Bagaimana pun dapat kita rasakan sakitnya seperti apa ketika ada duri dalam tubuh atau daging kita. Ada banyak tokoh-tokoh Kristen menafsirkan duri dalam daging Paulus.
   Calvin mengatakan bahwa yang dimaksudkan Paulus adalah penderitaan-penderitaan rohani yang meragukan pelayanan Paulus. Bagi Luther, bukan perkara rohani, melainkan jelas-jelas Paulus mengalami penganiayaan dan perlawanan yang mencoba menghentikan pelayanannya. Lebih jauh banyak orang menduga apa yang dimaksud dengan duri dalam daging  itu adalah sakit penyakit yang dialami dalam tubuh Paulus sendiri. Ada yang mengatakan sakit Paulus itu adalah sakit penglihatan. Setelah perjumpaan dengan Yesus yang menyebabkan kebutaan maka masih ada “sisa” sakit penglihatannya sehingga menghambat pelayanannya. Banyak juga yang menduga bahwa Paulus mempunyai sakit ayan dan dengan itu sangat menghambat pelayanannya. Tidak sedikit pula yang menduga bahwa Paulus terserang malaria yang mewabah di pantai Timur Mediterania.   Orang yang terserang penyakit itu akan merasakan pusing yang sangat hebat, ibarat jeruji panas yang menusuk sampai ke dahi.
   Apa pun juga penafsirannya, duri dalam daging  itu adalah penderitaan, halangan bagi Paulus untuk mengerjakan tugas panggilannya. Alangkah logisnya dalam pemikiran kita bahwa TUHAN membebaskan halangan penderitaan itu agar pemberitaan Injil dapat dengan mudah dilakukan. Namun kenyataannya tidaklah demikian.
   Paulus telah tiga kali berdoa agar apa yang dideritanya dibebaskan Tuhan. Kenyataannya, apa yang menjadi jawaban doa dari Tuhan? Apakah Tuhan mengangkat dan melenyapkan sakit penyakitnya? Ternyata tidak! Lalu apakah Tuhan tidak adil dan tidak mengasihi Paulus? Tidak juga demikian. Dia punya rancangan-Nya sendiri. Tuhan tidak menyingkirkan penyakit Paulus tetapi memberi Paulus kekuatan untuk menanggungnya. Begitulah cara Tuhan bekerja.
   Cara Tuhan mengasihi umat-Nya bukanlah dengan membebaskan dari pelbagai masalah dan penderitaan. Melainkan Ia melatih kita, memberi kemampuan agar kita dapat menghadapinya. Ia mendidik kita agar menjadi anak-anak-Nya yang tangguh bukan anak manja yang cengeng. Tuhan itu laksana seorang ayah yang tinggal di tepi sungai. Ia tidak memindahkan sungai atau rumah itu agar jauh dari jangkauan anaknya. Melainkan sang ayah melatih kemampuan anaknya agar bisa berenang supaya tidak dihanyutkan oleh air sungai itu.
   Dalam Injil Markus 6:6b-13, ketika Yesus mengutus keduabelas rasul untuk memberitakan Injil. Ia tidak melenyapkan rintangan-rintangan yang akan menghalangi mereka. Namun, Yesus terlebih dahulu memberi mereka kuasa agar dapat mengatasinya. “Ia memanggil kedua belas murid itu dan mengutus mereka berdua-dua. Ia memberi mereka kuasa atas roh-roh jahat,…” (Markus 6:7). Jadi bukan kuasa-kuasa jahatnya yang terlebih dulu disingkirkan agar para murid mudah mengerjakan tugas perutusan mereka. Melainkan sebaliknya, para murid dilengkapi terlebih dahulu dengan kuasa agar setiap rintangan dapat mereka atasi.
   Dalam kehidupan ini, siapa pun tidak steril dari masalah, pergumulan, penderitaan dan kesulitan hidup lainnya. Namun, cara kita menghadapinya akan menentukan dan menunjukkan jati diri kita. Keyakinan terhadap kuasa Allah yang sanggup menghadapi pergumulan hidup tentu bukan memaksa-Nya agar pergumulan itu dilenyapkan. Akan lebih baik apabila kita memohon agar kekuatan Allah itu memampukan kita menghadapi pelbagai pergumulan hidup. Dan yakinlah bahwa Allah di dalam Yesus Kristus telah memberi kita “modal” berupa talenta, hikmat, nalar, fisik dan yang lainnya agar kita mampu memenangkan  pergumulan hidup ini!.  Tuhan memberkati kita!.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar