Sabtu, 30 Juli 2016

Sapo Tahu Jamur.



 
SAPO TAHU JAMUR
Sajian seperti sapo tahu jamur ini bisa menjadi pilihan Anda yang tidak mengonsumsi daging atau vegetarian. Sapo yang terdiri dari tahu, jamur dan sayuran ini sangat kaya serat yang baik untuk tubuh.
 Bahan-bahan/bumbu-bumbu:
3 buah paha ayam vegetarian, goreng, potong-potong
200 gram tahu cina, potong kotak
1 buah bawang bombay, potong panjang
1/2 buah paprika merah, buang bijinya, potong kotak
150 gram brokoli, potong perkuntum, kupas batangnya, iris
150 gram wortel, iris miring
100 gram jagung putren, belah 2
50 gram jamur kancing kalengan, potong 2 bagian
3 buah jamur shiitake segar, iris tipis
1 sendok teh kecap manis
1 sendok teh kecap asin
1 sendok teh kaldu jamur bubuk
1/2 sendok makan garam
1/2 sendok makan merica bubuk
1/2 sendok teh gula pasir
400 ml air
1 sendok teh maizena larutkan dalam 1 sendok teh air
1/2 sendok teh minyak wijen
2 sendok makan minyak untuk menumis
Cara membuat:
  1. Panaskan minyak. Tumis bawang bombay sampai harum.
  2. Masukkan paprika merah, brokoli, wortel, jagung putren, jamur kancing, dan jamur shiitake. Aduk sampai setengah layu.
  3. Tambahkan kecap manis, kecap asin, kaldu bubuk jamur, garam, merica, dan gula. Aduk rata.
  4. Tuang air. Masak sampai matang. Tambahkan paha ayam dan tahu. Aduk rata.
  5. Kentalkan dengan larutan maizena. Masak hingga kental.
  6. Masukkan minyak wijen. Aduk rata. Angkat, sajikan.

Suatu Pengalaman Melepaskan Anak Dari Kecanduan Gadget



     
   Memang sulit melepaskan gadget dari kehidupan anak. Apalagi, jika ia sudah kecanduan, yang akan mengamuk begitu gadgetnya diambil, dan menunjukkan perilaku lain yang sangat mengganggu.  
   Namun Rieska Wulandari, mama dari Carlo (4 tahun), berhasil menjauhkan putra pertamanya itu dari gadget sama sekali. “Sudah satu tahun terakhir ini tidak pernah sekali pun dia minta gadget-nya, bahkan dia pun tidak menyentuh seluler milik saya atau ayahnya,” kata Rieska, yang saat ini tinggal di Milan, Italia.

   Padahal, tulis Rieska dalam catatan yang dia unggah di Facebook-nya, waktu masih umur 2,5 tahun, Carlo bisa dibilang kecanduan gadget. Begitu bangun tidur, anak itu langsung berteriak, “Babet… babet,” meminta tablet-nya, sambil memasang mimik hendak menangis. Wanita yang sedang mengandung anak keduanya itu pun cepat-cepat menyerahkan gadget itu kepada Carlo, yang segera asyik menonton channel musik anak-anak di YouTube. “Lumayan, jadi bisa sambil menyiapkan sarapan,” pikir Rieska saat itu.

   Saat sarapan, Carlo masih memegang gadget. Makanannya memang habis seketika, karena saat dia makan, matanya terfokus pada layar tablet. “Sepertinya bahkan dia tak sadar kalau dia sedang makan. Jangan harap anak saya akan berkomentar, ‘Wah, makanannya enak,’ sebab pikirannya seolah tersedot oleh layar gadget,” cerita Rieska. Masalah mulai muncul, menurut Rieska, saat Carlo harus bersiap-siap ke day care. Mengganti baju atau mandi jadi sulit luar biasa karena dia tidak mau melepas gadget-nya. “Pagi-pagi pasti diwarnai tangisan dan mewek yang panjang-pendek. Melelahkan!” keluh Rieska.

   Memasuki usia tiga tahun, temperamen Carlo pun mulai berubah. Kalau gadget tidak ada, dia akan mengamuk. Jika channel yang dia mau terhambat karena problem koneksi atau website down, dia pun ngambek.  “Bagaimana menjelaskan tentang internet, website kepada anak tiga tahun? Dia hanya tahu, kalau ada gadget, maka tayangan yang dia mau harus ada,” kata Rieska. “Begitu channel-nya bermasalah, itu tablet bisa dia lempar begitu saja!”

   Setiap hari Carlo hanya berkutat dengan gadget. Saat mengigau di tengah malam, dia pun minta diberikan gadget, yang akan dia mainkan sampai pagi, sehingga dia malah mengantuk ketika waktunya beraktivitas. “Persis kayak orang dewasa kecanduan game online, padahal yang ditonton anak saya itu cuma kartun-kartun dan lagu yang tampaknya tak berbahaya,” keluh Rieska.

   Rieska mengakui, gadget memang sempat membantu, apalagi saat musim dingin, dan kebetulan di luar rumah sedang bersalju, atau Carlo tertular flu. “Kalau sudah begitu, hiburan yang paling asyik, ya, cuma gadget, tetapi lama-lama saya melihat bahwa gadget memenjarakan dia, sepertinya hidup tak menyenangkan, kalau tidak ada gadget,” kata Rieska. “Saya sendiri waktu itu sibuk bekerja, dan kalau dia sakit, maka saya tinggal dengan pengasuh, yang begitu Carlo rewel karena tidak ada gadget, akan memberikan gadget untuk menenangkan dia.”

   Dan kalaupun Carlo dititipkan di day care, menurut Rieska, dia tidak begitu suka bersosialisasi dengan anak-anak yang lain, cenderung main sendiri, dan agak egois. Meski menurut gurunya masih normal, tetapi Rieska tetap merasa kurang nyaman dengan situasi tersebut. Dia pun memutuskan berhenti kerja sebelum musim dingin 2014, karena tidak ingin Carlo keterusan sibuk dengan gadget.

   Rieska mulai membuat kegiatan dan aktivitas yang lebih bervariasi untuk Carlo lakukan di dalam rumah selama musim dingin, mulai dari menyanyi, bermain bola, bermain kertas, menggambar, mewarnai, bercerita, main petak umpet, menyusun Lego, sampai membangun stasiun kereta. “Kalau bosan di rumah, kami mampir ke rumah Nonna (nenek dalam bahasa Italia – Red.), atau berkeliling kota dengan bus dan trem seusai day care. Toh, saya punya membership transportasi publik tahunan, jadi naik kendaraan umum ribuan kali pun sudah tidak perlu bayar lagi,” cerita Rieska. “Ternyata asyik sekali naik-turun kendaraan umum keliling kota. Dan tampaknya wawasan anak saya pun mulai terbuka, sehingga saya jadi semangat membawa dia kunjungan ke museum dan sebagainya.”

   Pelan-pelan, Carlo mulai meninggalkan gadget, meski kadang masih minta kepada Rieska. Sesekali, dia  membolehkan Carlo menggunakan gadget, dengan berbagai batasan, seperti tidak boleh emosi atau marah kalau ada masalah dengan gadget itu. Dan ketika musim semi tiba, Rieska mulai mengajak Carlo ke luar rumah dan berjalan-jalan, mampir ke taman, dan melihat hal-hal baru. Dia mulai menikmati juga hari-harinya di sekolah, mulai bisa bersosialisasi dengan teman temannya.

Puncaknya adalah musim panas 2015, ketika Rieska dan suami memutuskan berlibur sekeluarga selama 3 minggu penuh. Meski Rieska tetap membawa gadget di dalam koper, tetapi saat Carlo menanyakan gadget, dia selalu mengatakan bahwa benda itu tertinggal di Milan, lantas mengarahkan dia bermain di pantai. “Rupanya pantai benar benar ‘membiusnya’. Kami memastikan dia hanya melakukan aktivitas yang sifatnya bersenang-senang, sibuk bermain pasir, main perosotan dan ayunan, main air, berkenalan dengan sesama anak-anak yang sedang liburan, naik kereta kecil dan kincir raksasa, nonton pertunjukan lumba-lumba, melihat akuarium besar, naik kapal dan sebagainya,” cerita Rieska. “Kami juga membawa dia ke kota-kota lain, melihat kastil, menyewa penginapan di lingkungan kebun zaitun yang juga memiliki peternakan kuda, melihat pertandingan pacuan kuda zaman abad pertengahan di Siena, menonton pertunjukan musik di Perugia, mengunjungi lukisan-lukisan karya pelukis ternama Giotto dan ziarah gereja di Asisi, berjalan di ladang-ladang tak bertuan dan sebagainya.”

   Saking sibuknya Carlo beraktivitas dan bermain selama liburan itu, dia lupa sama sekali dengan gadget-nya. Kembali ke Milan, ingat pun tidak bahwa dia punya gadget, sampai saat ini. Rieska mengakui, proses memisahkan anak dari gadget memang luar biasa susah. “Kita harus mencurahkan 100% perhatian kepada anak. Apalagi, anak zaman sekarang demanding sekali, sehingga orang tua harus kreatif dan siap berkorban waktu maupun tenaga, kalau mau menggantikan peran gadget, yang mungkin sudah terlanjur mengikat anak,” katanya. “Tetapi sejak melepaskan pergaulannya dengan gadget, Carlo mulai tahu bahwa ada kehidupan yang lebih nyata dan indah di luar sana.”
   Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita untuk bahan pelajaran.

Sumber: Parenting Indonesia.

Cara Mengatasi Anak Yang Kecanduan Gadget.



CARA MENGATASI ANAK YANG KECANDUAN GADGED

      Bila mendapati tanda-tanda kecanduan gadget pada anak-anak, orangtua jangan panik dulu, masih banyak jalan untuk mengatasinya.

   Langkah-langkah ini mungkin dapat membantu mengatasi kecanduan gadget pada anak:

  • Kurangi frekuensi bermain secara bertahap.
Jangan hentikan kebiasaan anak bermain gadget  sekaligus. Cobalah menguranginya secara bertahap. Penghentian sekaligus hanya akan membuat anak memberontak dan marah besar. Coba kurangi dari yang biasanya 8 jam sehari, menjadi 6 jam sehari selama satu minggu, kurangi lagi menjadi 4 jam di minggu berikutnya, demikian seterusnya. Batas maksimal anak bermain gadget  adalah 2 jam/hari.

—  Ajak anak bersosialisasi dengan teman sebaya.
Boleh jadi anak bermain gadget  karena tidak ada aktivitas menyenangkan dengan teman-teman sebaya. Untuk itu, ajak anak untuk bergaul/bermain dengan teman sebayanya, bisa dengan mengundang teman-temannya ke rumah atau ajak ia berkunjung ke rumah salah seorang temannya di sekolah. Dengan banyak teman, ia akan sibuk dengan teman-temannya itu.  Dorong mereka untuk bermain aktif, seperti bermain bola, petak umpet, dan sebagainya.

—  Sibukkan anak dengan berbagai aktivitas menarik.
   Sediakan alternatif permainan pengganti, sehingga anak lebih menikmati aktivitas itu, daripada sekadar bermain gadget. Permainan yang dipilih sarat dengan interaksi, komunikasi, kerja sama, dan lain-lain. Entah bermain kartu UNO, monopoli, bermain bola tangkap, dan lain-lain.

  • Berikan reward.
Jangan sungkan untuk memberikan hadiah pelukan, ciuman, acungan jempol saat anak berhasil mengurangi frekeuensi bermain gadget-nya.

  • Jadilah panutan.
Jangan salahkan anak betah lama bermain gadget  kalau kita sendiri nonstop BBM-an  atau setiap 5 menit sekali membuat postingan di Facebook.  Apel tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Jika ingin mengendalikan anak bermain gadget, cobalah kendalikan diri kita untuk tidak berlama-lama menyentuh smartphone. Dalam situasi dan kondisi tertentu, buat aturan, misal, tidak bermain handphone  saat makan bersama.

  • Jangan beri anak gadget .
Ini sekadar imbauan. Dengan tidak memiliki gadget, orangtua memiliki kendali lebih. Gadget  milik orangtua, anak hanya meminjam. Entah dari fungsi pengawasan,  sekaligus lebih memudahkan orangtua saat hendak mengatasi anak yang kecanduan gadget.

KAPAN MENDATANGI AHLI?

Orangtua sebaiknya mendatangi ahli, entah psikolog atau psikiater, bila langkah-langkah di atas sudah diterapkan, tapi tidak berhasil. Anak semakin sulit diatur, sering mengamuk bila gadgetnya diambil, dan menunjukkan perilaku lain yang sangat mengganggu. Ahli akan mengobservasi penyebab kecanduan gadget  pada anak. Kemudian akan melakukan berbagai intervensi untuk mengatasi kecanduan gadget pada anak.

FAKTA ANAK KECANDUAN GADGET:
   16.000 pound atau sekitar 300 juta rupiah lebih merupakan biaya ”digital detox” selama 28 hari yang harus dibayar orangtua di Inggris saat anak-anaknya mengalami ”kecanduan” gadget. ”Digital detox ” merupakan program rehabiltasi ”kecanduan” gadget yang didesain oleh Dr. Richard Graham dari Capio Nightingale Hospital, London. 

Narasumber:
FUDIN PANG, Akp, S.Psi, M.Psi  dari "ACCURATE" HEALTH CENTER MEDAN


Kenikmatan Otak Karena Gadget



 
    Seorang anak protes kepada ayah-ibu nya karena pada saat ia bercerita tentang balok yang sedang disusunnya, mereka selalu sibuk dengan gadget di tangannya.  “Ayah-ibu, sms-an nya udah dong. Aku lagi cerita ni!”
   Kemudian, sang  ayah-ibu melirik sebentar kepada anaknya, seakan mendengarkan si anak bicara sambil tetap memencet tombol-tombol di gadget nya. Setelah si anak selesai bercerita, ayah-ibu berkata “ohh…begitu. Hebat..bagus”, dan mereka kembali sibuk dengan gadget nya.
   Ternyata orang dewasa juga bisa terancam kecanduan gadget. Kenapa?  Ini adalah karena otak kita sudah mendapat kenikmatan.
   Para ahli mengatakan bahwa seringnya orang dewasa mengecek email, telpon masuk, twitter, fb, dan informasi lainnya yang masuk melalui gadget, dapat mengubah bagaimana orang berpikir dan berprilaku. Mereka mengatakan bahwa kemampuan kita untuk fokus sedang dirusak oleh luapan informasi.
   Kegiatan bergulat dengan luapan informasi ini berkaitan dengan impuls otak untuk merespon segera akan kesempatan dan ancaman. Stimulasi ini menimbulkan kenikmatan di otak – otak kita menyemburkan dopamine – para peneliti mengatakan bahwa ini dapat menyebabkan kecanduan.
   Jika tidak ada semburan ini, orang akan merasa bosan.
   Dari beberapa hasil penelitian tentang anak-anak yang kecanduan games dan pornografi, efek dopamine ini juga yang menjadi penyebab terjadinya kecanduan tersebut.
   Hasil dari distraksi ini dapat berakibat fatal, sama seperti penggunaan telepon genggam sambil berkendara yang dapat menyebabkan tabrakan.       Bagi kehidupan keluarga, hasil penelitian diatas dapat menyebabkan goresan-goresan pada kreativitas dan kemampuan berpikir lebih dalam, menginterupsi kehidupan kerja dan keluarga.
   Banyak orang berpendapat bahwa multitasking (mengerjakan banyak hal dalam satu waktu), membuat mereka lebih produktif, berbeda dengan jaman dimana tehnologi masih terbatas, multitasking di era tehnologi melibatkan penggunaan gadget, bahkan lebih dari satu gadget dalam satu waktu. Para ilmuwan dan peneliti mengatakan bahwa pelaku multitasking sebenarnya lebih bermasalah pada fokus dan kesulitan menghentikan informasi yang tidak penting, dan mereka lebih sering mengalami stress.   Selain itu, ilmuwan juga menemukan bahwa bahkan setelah multasking selesai, para pelaku multitasking ini tetap mengalami berpikir patah (seperti pada patah tulang) dan kesulitan untuk fokus. Dengan kata lain, ini juga terjadi pada saat otak kita lepas dari gadget.
   “Tehnologi mengubah susunan otak kita,” demikian pendapat Nora Volkow, direktur National Institute of Drug Abuse, dan juga seorang ilmuwan dunia yang terkenal dalam penelitian tentang otak. Ia dan beberapa peneliti menunjukkan bahwa efek stimulasi digital memang tidak separah kecanduan narkoba dan alkohol, tapi tetap saja berimbas pada kehidupan keluarga yang kontraproduktif.
   Bagaimana dengan interaksi orangtua-anak dimana orangtua nya tidak bisa lepas dari gadget? Smartphone ternyata berdampak pada kualitas bahasa pada anak, terutama anak usia dini. Dr Diana Suskind, seorang peneliti dan dokter bedah di University of Chicago, melakukan penelitian dengan merekam pembicaraan orangtua-anak di 6 rumah di Chicago, dimana orangtua mengatakan bahwa mereka sering melihat smartphone mereka. Dr Suskind merekam setiap keluarga setidaknya 2 kali – satu kali dengan smartphone dan komputer menyala dan yang kedua alat tersebut dalam keadaan mati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mematikan smartphones dan laptop memiliki dampak kuat pada interaksi verbal antara orangtua-anak dirumah. Anak dengan orangtua yang meminimalkan penggunaan gadget pada saat berinteraksi dengan anak, memiliki jumlah kata yang diucapkan jauh lebih banyak daripada anak yang berinteraksi dengan orangtua yang selalu “menatap layar” gadget. Penting bagi orangtua untuk mengetahui pada saat mereka berbicara pada anak, mereka sedang mentransfer perasaan sayang dan juga kata-kata.
   Ketika kita bicara pada orang, selalu ada pesan yang bisa dirasakan, “Aku suka berbicara denganmu” atau “aku tidak suka berbicara denganmu.”
   Meredith Sinclair, seorang ibu dan blogger, mengatakan bahwa dia tidak pernah menyangka bagaimana kegiatannya yang ia sebut “kecanduan email dan website sosial media” ternyata mengganggu anaknya sampai ia membuat peraturan “jam tanpa email dan internet” antara jam 4 sore – 8 malam. Anaknya pun merespon dengan perasaan gembira. “Ketika aku mengatakan peraturan itu, anakku yang berusia 12 tahun, langsung berkata “YES!”.
   “Kita tidak bisa melakukan keduanya,” ia menambahkan. “Jika aku selalu terhubung dengan internet, itu sangat menggoda. Aku butuh untuk membuat pilihan yang jelas.”
   Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah membuat pilihan yang jelas?
  
Disadur dari
YOUR BRAIN ON COMPUTERS
Attached to Technology and Paying a Price
dan The Risks of Parenting While Plugged In