Selasa, 19 April 2016

Jangan Menghakimi.

JUDUL : "JANGAN MENGHAKIMI"
AMARAN TENTANG MENGHAKIMI
DAN MENGKRITIK ORANG LAIN (MATIUS 7:1-5)Pdt.H.M. Siagian.
Pendahuluan: A. Matius 7:1-5 adalah bahagian dari Khotbah Yesus di atas bukit dalam Matius 5-7). Ada beberapa topik yang dibahas dalam Khotbah di Atas Bukit yang bertujuan :Bagaimanakah kita membangun kehidupan kita sesuai dengan prinsip2 yang berikut ini? Diantaranya: : Hal kekuatiran(Jangan khawatir) ; Hal Menghakimi (Jangan menghakimi); Hal Pengabulan Doa (mencari dan mengetuk); Jalan yang benar(berjalan di jalan yang sempit/sesak) ; Hal pengajaran yang sesat(menghasilkan buah); Dua macam dasar(membangun diatas batu?) (Mat.6:25-7:27) Jadi salah satu topik yang akan kita bahas pada saat ini adalah: “Jangan menghakimi” (Amaran tentang menghakimi dan mengkritik orang lain, yang didasakan pada Matius 7:1-5.
       ILUSTRASI: Istri saya sudah tuli," keluh seorang suami kepada dokter pribadinya. "Saya harus bicara berkali-kali padanya, barulah ia mengerti." Sang dokter lantas memberi usul: "Bicaralah dengannya dari jarak sepuluh meter. Jika tak ada respons, coba dari jarak lima meter, lalu dari jarak satu meter. Dari situ kita akan tahu tingkat ketuliannya." Si suami mencobanya. Dari jarak sepuluh meter, ia bertanya pada istrinya, "Kamu masak apa malam ini?" Tak terdengar jawaban. Ia mencoba dari jarak lima meter, bahkan satu meter, tetap saja tak ada respons. Akhirnya ia bicara di dekat telinga istrinya, "Masak apa kamu malam ini?" Si istri menjawab: "Sudah empat kali aku bilang: sayur asam!" Rupanya, sang suamilah yang tuli. Sdr2ku,…Saat mengkritik orang lain, kita kerap kali tidak sadar bahwa kita pun memiliki kelemahan yang sama, bahkan mungkin lebih parah. Ada kalanya apa yang tidak kita sukai dari orang lain adalah sifat yang tidak kita sukai dari diri sendiri. Kita belum bisa mengatasi satu kebiasaan buruk, kemudian jengkel saat melihat sifat buruk itu muncul dalam diri orang lain, sehingga kita memintanya untuk berubah. Tuhan Yesus tidak melarang kita menilai orang lain secara kritis. Namun, janganlah membesar-besarkan kesalahan orang lain dengan mengabaikan kesalahan diri sendiri. Jika kita memakai standar atau ukuran tinggi dalam menilai orang lain, pastikan kita sendiri sudah memenuhi standar yang kita buat. Yang terbaik adalah introspeksi diri terlebih dulu sebelum memberi kritik kepada orang lain.
Amaran tentang menghakimi dan mengkritik orang lain :
1. Jangan menghakimi; jangan mengkritik (ay.1)
2. Pengkritik akan dihakimi (ay.2).
3. Pengkritik gagal memeriksa dirinya sendiri (ay.3).
4. Pengritik tertipu oleh dirinya sendiri. (ay.4)
5. Pengritik adalah seorang munafik (ay.5)
I.(7:1) PENGHAKIMAN—Jangan menghakimi; jangan mengkritik.”Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi”. Perkataan “menghakimi” artinya: mengkritik, menyalahkan, orang yang suka mencela(menyensor). Itu adalah merupakan kebiasaan mencela dan tukang kritik.
Leo Tolstoy(1828-1910) adalah seorang penulis novel dan filsuf Rusia, pernah berkata: “Banyak orang yang berambisi ingin mengubah dunia. Banyak orang yang berambisi untuk mengubah hidup orang lain, tetapi terlalu sedikit orang yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri.” Saudara-saudara, dunia ini dipenuhi oleh orang-orang yang demikian. Dan ini juga menjadi tantangan dan ujian bagi umat dan hamba Tuhan yang banyak berurusan dengan mengubah hidup orang lain. Pada era tahun 90-an. Pdt. Jesse Jackson dianggap sebagai salah satu kompas spiritual masyarakat Amerika. Beliau bukan hanya dikenal sebagai tokoh agama, tetapi juga seorang politikus, pejuang HAM yang gigih. Tetapi dunia kekristenan di Amerika dikejutkan oleh pengakuannya di depan publik, pada tanggal 18 Januari 2001, dia mengaku, telah berselingkuh sejak tahun 1998 dan telah mempunyai seorang anak di luar nikah, dari hasil perselingkuhannya itu, yang berumur 20 bulan. Ironisnya adalah skandal perselingkuhannya itu terungkap pada saat dia sedang menjadi konselor yang menangani kasus perselingkuhan Presiden Bill Clinton dengan Monica Lewinsky. Bayangkan, orang yang sedang berselingkuh (Jesse Jackson) mencoba menjadi terapis bagi orang yang juga berselingkuh (Bill Clinton). Saudara-saudara, kisah nyata ini saya ungkapkan bukan karena saya merasa lebih rohani dari pada dia, karena saya pun belum teruji; integritas dan konsistensi pelayanan seseorang harus dilihat sampai pada akhir hidupnya. Sebenarnya jika kita membaca biografi tokoh yang saya sebutkan ini, banyak hal positif yang bisa kita pelajari dari pelayanannya. Tetapi saya ingin membukakan area-area fatal dalam hidup nya yang perlu kita waspadai, karena kita pun bisa jatuh kepada hal yang sama. Area apa itu? Yaitu, betapa banyak Hamba Tuhan/umat Tuhan yang berusaha membereskan dosa-dosa orang lain, tetapi jarang membereskan dosa-dosanya sendiri. Menempatkan diri sebagai “penyelamat” bagi orang lain, tetapi sebenarnya dia pun butuh ditolong. Ia ingin mengeluarkan orang dari kubangan dosa tertentu, tetapi ia juga sedang terperangkap pada dosa yang sama, bahkan kadang-kadang lebih parah. Saudara-saudara, dalam perikop yang kita baca tadi, Yesus memberitakan perintah: “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.” “Sikap menghakimi” yang dimaksudkan dalam bagian ini bukan berarti kita tidak boleh mengkritik orang lain, bukan berarti kita tidak boleh menegur kesalahan orang lain, bukan berarti kita meniadakan nalar kritis kita untuk membedakan mana yang benar, mana yang salah, mana yang baik, dan mana yang jahat. “Jangan menghakimi!” Bukan juga maksudnya kita tidak peduli dengan kesalahan orang lain, menutup mata dengan kesalahan orang lain, seolah-olah itu adalah masalah privacy orang lain, bukan urusan kita. Bukan itu poinnya. Tetapi sikap menghakimi yang dimaksudkan disini adalah lebih kepada sikap yang begitu fanatik dan agresif terhadap dosa-dosa orang lain, tetapi begitu toleran dengan dosa-dosa sendiri. Sikap menghakimi disini lebih kepada sikap yang suka mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi dirinya sendiri tidak sadar bahwa dia sebenarnya punya kesalahan yang jauh lebih besar. Sikap menghakimi disini lebih kepada sikap yang begitu kejam, begitu keras mengkritik orang lain, dan menghukum orang lain tanpa belas kasihan; tetapi sebaliknya, begitu lemah mengkritik diri sendiri, begitu toleran dengan kesalahan diri sendiri. Yesus tidak melarang kita untuk menegur kesalahan orang lain. Yang dilarang Yesus adalah mengkritik dengan spirit/jiwa yang salah dengan tujuan dan motif yang salah. Kritik yang sifatnya menghancurkan, merendahkan orang lain. Mengkritik dengan sikap arogan, penuh dengan kesombongan rohani. Poin utama yang ingin ditekankan oleh Yesus dalam perikop ini adalah Yesus mengingatkan kecenderungan (tendensi) manusia pada umumnya untuk lebih berfokus melihat kesalahan-kesalahan orang lain daripada melihat ke dalam diri sendiri. Jika kita menemukan dosa orang lain, kita kecam habis-habisan. Tetapi jika kita menemukan kesalahan diri sendiri, kesalahan itu kita anggap kecil dan remeh. Kita lucuti kesalahan orang lain, sampai akhirnya kita kehilangan belas kasihan terhadap orang lain.
1. Ketika seseorang jatuh/tergelincir—inilah saat atau waktunya untuk menunjukkan kasih sayang, bukan malah mencela/mengritik dia. Itulah saatnya menarik dia, bukan malah mendorongnya lebih jauh. Itulah waktunya berbicara dengan baik dan sopan kepada dia, bukan berbicara yang negatif dan bersifat merusak.
2. Dalam diri orang-orang yang rendah hati dan penuh kasih, tidak pernah ada roh mengkritik. Melainkan hanya ada kasih sayang kepada mereka yang bersalah.
   ADA BEBERAPA ALASAN MENGAPA ORANG CENDRUNG MENGHAKIMI DAN MENGKRITIK:
1. Kritik meningkatkan Citra diri kita sendiri (our self image). Menunjukkan kegagalan orang lain dan menjatuhkan dia sehingga membuat kita tampaknya sedikit lebih baik, setidaknya dimata kita sendiri. Hal itu menambah kesombongan , ego dan citra diri kita sendiri.
2. Kritik hanya untuk kenikmatan. Ada kecendrungan dalam sifat alami manusia senang mendengar dan menyampaikan kabar buruk dan kekurangan-kekurangan orang lain.
3. Kritik membuat kita merasa bahwa kehidupan kita sendiri (secara moral dan prilaku) lebih baik daripada orang yang telah gagal itu.
4. Kritik menolong kita membenarkan keputusan yang telah kita buat dan hal-hal yang telah kita lakukan sepanjang hidup kita. Kita merasionalisasikan semua keputusan dan tindakan kita dengan menunjukkan kegagalan orang-orang lain.
5. Kritik adalah merupakan sebuah jalan keluar (outlet) bagi rasa sakit hati dan balas dendam. Kita merasa dia pantas mendapatkannya. Kita mungkin berfikir: “Ia telah menyakiti saya, sehingga ia pun pantas disakiti juga”.
ADA BEBERAPA ALASAN MENGAPA ORANG TIDAK BOLEH MENGKRITIK:
1. Semua keadaan dan semua fakta tidak pernah dapat diketahui. Apa yang terjadi dan mengapa hal itu terjadi—kita tidak dapat ketahui. Selalu ada banyak fakta diluar pengetahuan kita. Anak-anak dan orang tua, isteri dan suami, majikan dan kariawan, para teman dan sahabat—hal-hal bisa terjadi ketika mereka sendirian dibalik pintu tertutup. Dan sayangnya ada sesuatu yang jarang di ingat : Ketika orang muncul dari pintu tertutup itu dan masuk ketengah umum, seseorang tidak selalu mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Roh suka membicarakan orang lain adalah roh pembenaran diri sendiri. Roh berdiam diri adalah roh peduli dan mengasihi. Roh berdiam diri –selalu memiliki roh yang rindu untuk tidak melukai orang lain.
  2. Semua orang—yang beragama maupun yang tidak beragama—cendrung gagal dan jatuh. Dan kita sering berdosa. (1 Yoh.1:8,10. “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. Jika kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam kita.”) Tidak ada seorang pun yang bebas dari dosa. Ketika kita mengkritik dan menghakimi, kita punya sebuah problem(masalah) : Kita lupa bahwa kita adalah orang-orang berdosa. Mereka gagal sekarang; tapi mungkin kita telah gagal sebelumnya. Saudara-saudara mungkin kita akan gagal kemudian. Tidak ada yang pernah bebas dari dosa. Kejatuhan manusia adalah merupakan sebuah siklus yang berkesinambungan. Kita harus selalu mengingat bahwa satu-satunya kebenaran kita sebagai orang-orang percaya adalah Yesus Kristus, dan kita harus selalu bergantung kepada kebenaran Kristus.
3. Kita tidak pernah mengetahui tentang seseorang. Mari kita pikirkan sejenak tentang masa kanak-kanak. 18 tahun adalah waktu yang cukup lama. Hari demi hari bergerak kedalam seminggu, dan minggu ke minggu membentang ke bulan, dan bulan demi bulan sampai tahun telah tiba. Dan dari tahun ke tahun adalah waktu yang lama. Lama untuk membentuk anak sampai menjadi dewasa. Jenis ibu, ayah, teman-teman yang bagaimanakah yang telah gagal mempengaruhi dan membentuk dia?. Jenis Gen dan temperamen apakah yang telah diwariskan dan dikembangkan?:Sifat yang berapi-api, seorang yang ketat, inferior, kuat, mencintai, pemalu?. Begitu banyak yang masuk mempengaruhi kehidupan manusia, dimana hanya Tuhan yang dapat mengetahui seseorang, yang cukup baik mengenal dia dan bisa menghakimi dia (Only God can know a person, know him well enough to judge him). Tentu saja kita tidak pernah dapat mengenal satu sama lain dengan cukup baik—untuk bisa memberikan penghakiman.
4. MENGHAKIMI ORANG LAIN –berarti merampas otoritas/wewenang Allah. Ketika seseorang mengkritik orang lain, maka ia sedang mengatakan bahwa ia adalah layak dan berhak menjadi HAKIM atas kehidupan orang lain.
 Catatlah apa yang dikatakan dalam Alkitab: Roma 14:4 “Siapakah kamu sehingga kamu menghakimi hamba orang lain?. Entahkah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri (Tuhan). Tetapi ia akan tetap berdiri karena Tuhan berkuasa menjaga dia terus berdiri”.
2(7:2) KRITIKAN—Menghakimi : Pengritik akan dihakimi”Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu”.
 Catatlah 3 hal ini :
i. Pengritik akan dihakimi dengan cara yang sama seperti dia mengkritik. Apapun yang dia kritik—untuk itulah dia disalahkan(dihukum). Dan betapa menakutkan!. Penghakiman datang dari Allah, bukan dari orang lain. Pemikiran seperti itu seharusnya menyebabkan kita PEDULI dan CINTA serta menghidupkan satu kehidupan yang menaruh belas kasihan.
ii. Pengritik akan dihakimi oleh satu hukum saja –yakni hukum dengan bobot(timbangan) yang sama (Pembalasan, kutukan yang sama).
iii. Ayat2 lain dalam Alkitab berkata bahwa Pengritik akan benar-benar menerima hukuman yang lebih besar : Yakobus 3:1-2 “Sdr2ku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat. Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya.”
3.(7:3) KRITIKAN –Menghakimi : Pengritik gagal memeriksa dirinya sendiri “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?”. Dia tidak konsisten dalam penghakimannya. Perkataan “MELIHAT” memiliki ide/gagasan yang terus memeriksa (continuing to look). Terlalu sering kita terus melihat kegagalan orang lain : kita terus gossip, mengritik, dan selamanya senang dengan berita buruk tentang orang lain. Supaya lebih jelas ayat 3 bisa diterjemahkan seperti ini: “Mengapakah engkau melihat serbuk kayu [sangat kecil] di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu “tidak engkau perhatikan sungguh-sungguh?” Dalam ilustrasi ini, diceritakan ada dua orang, yang satu memiliki “selumbar” di matanya (Yunani: karphos = serbuk kayu yang sangat kecil, serbuk kayu yang diperoleh ketika kita menggergaji sebuah kayu, intinya merujuk pada “sesuatu objek yang sangat kecil”). Sedangkan orang yang satu lagi memiliki “balok” dalam matanya (Yunani: dokos = balok yang biasanya digunakan untuk penyangga pada sebuah konstruksi bangunan). Orang yang memiliki balok dalam matanya itu, ingin menolong mengeluarkan selumbar dalam mata saudaranya. Tentu motivasi ini sangat baik kelihatannya. Tetapi masalahnya adalah tidak mungkin orang itu dapat menolong mengeluarkan selumbar dari mata saudaranya karena dalam matanya sendiri ada sebuah balok besar. Pada saat orang ini ingin mengeluarkan selumbar itu, ada balok yang menghalangi dia untuk bisa melihat dengan jelas selumbar itu. Dengan demikian, tak mungkin pertolongan bisa dilakukan. Ketika kita menghakimi dan mengkritik, kita mengungkapkan suatu masalah yang sangat serius kita memiliki sebuah BALOK dalam mata kita. Kita buta terhadap kebenaran alamiah kita sendiri. Kita juga gagal, dan kita sering gagal. Ratapan 3:40 “Marilah kita menyelidiki dan memeriksa hidup kita”. Pengkh.7:20 “di bumi tidak ada orang yang saleh yang tak pernah berbuat dosa.
4(7:4) KRITIKAN –Menghakimi : Pengkritik tertipu oleh dirinya sendiri. “Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu padahal, padahal ada BALOK di dalam matamu”. Orang yang dalam matanya ada balok itu sebenarnya tertipu oleh dirinya sendiri, tertipu oleh penglihatannya sendiri. Jika biasanya kita ditipu oleh orang lain, tapi dalam hal ini, orang itu ditipu oleh dirinya sendiri. Orang ini berpikir dia tidak punya masalah yang perlu dibereskan. Orang lain yang punya masalah, tetapi justru orang ini sebenarnya punya masalah besar, punya dosa besar, tetapi dia tidak menyadari hal itu. Dia buta terhadap dosa dirinya sendiri (the self-blindness), tetapi melek terhadap dosa orang lain. Inilah ironisnya. Kalau kita mau jujur dengan diri kita sendiri, bukankah natur keberdosaan kita membuat kita cenderung seperti ini. Suka atau tidak suka, saudara dan saya mempunyai kecenderungan seperti ini. Seringkali kita lebih mudah melihat selumbar-selumbar di mata orang lain, kita getol mencari selumbar-selumbar di mata orang lain, tetapi balok dalam mata kita sendiri, kita tidak lihat, kita tidak sadar. Kadang-kadang, kita begitu peka, begitu sensitif dengan dosa-dosa orang lain, tetapi tidak peka dan sensitif dengan dosa kita sendiri. Kita begitu cepat dan mudah menemukan kesalahan orang lain, tetapi seringkali sulit menemukan kesalahan diri sendiri. Kita cenderung membesar-besarkan kesalahan orang lain, tetapi mengecilkan kesalahan diri sendiri, bahkan kadang-kadang menutup rapat-rapat supaya orang lain tidak ada yang tahu kesalahan kita itu. Kita seringkali sibuk dengan dosa-dosa orang lain, sampai-sampai lupa atau kurang mencermati kehidupan kerohanian kita sendiri. Seringkali tanpa sadar, kita menerapkan standar ganda dalam relasi dengan orang lain. Kita menerapkan standar dan tuntutan yang sangat tinggi terhadap orang lain, tetapi kita menurunkan standar itu bagi diri kita sendiri. Saudara-saudara, kadang-kadang kita tidak peka terhadap dosa-dosa sendiri, tetapi begitu peka terhadap dosa-dosa orang lain, seperti yang dilakukan oleh Daud ketika membunuh Uria untuk mendapatkan Batsyeba, istri Uria. Pada waktu nabi Natan memberikan sebuah perumpamaan untuk menegur dosa Daud. Daud tidak sadar, tidak peka bahwa Natan sebenarnya sedang menegur dosanya melalui perumpamaan itu. Kita semua sudah tahu ceritanya. Justru, Daud berkata: “Demi Allah yang hidup, orang kaya yang telah mengambil anak domba betina dari si miskin itu, harus dihukum mati, karena ia tidak mengenal belas kasihan.” Tetapi pada saat itu, nabi Natan berkata: “Daud, engkaulah orang itu!” (Baca 2 Samuel 12:1-7). Kadang-kadang kita juga bisa seperti Daud, yang kehilangan kepekaan terhadap dosa-dosa kita sendiri yang sebenarnya menjijikkan di mata Allah. 1. Dia bicara tidak bijaksana. Dia tidak memikirkan apa yang dia lakukan. Jika ia berpikir, ia tidak akan mengkritik atau menghakimi. Seseorang yang berpikir, mengetahui bahwa dia hanyalah sebagai manusia dan berdosa seperti orang lain. Oleh karena itu, ia tidak berhak untuk mengkritik. Orang yang menghakimi adalah membabibuta dan telah tertipu dalam point-point tertentu, yaknI : a. Menghakimi orang-orang lain adalah melupakan/menyangkal dosa-dosa kita sendiri. b. Menghakimi orang2 lain adalah salah satu dosa yang terbesar. c. Menghakimi orang2 lain—meninggikan kita sebagai DEWA. Itu merampok hak Allah. Itu mengatakan bahwa kita layak dan mempunyai hak untuk duduk diatas tahta menghakimi seorang saudara kita. d. Menghakimi orang2 lain –mendorong dia sampai jatuh dan tidak memeluknya dengan kasih sayang atau tidak menarik dia dan membangunkannya. e. Menghakimi orang2 lain membawa penghakiman yang lebih besar (Yakobus 3:1-2) “Sdr2ku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat. Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurnya, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya”.
5(7:5) KRITIKAN ---Menghakimi : Pengritik adalah seorang munafik. “Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu”. Saudara-saudara, selanjutnya dalam ayat 5, Yesus mengatakan orang yang menghakimi sesamanya adalah orang yang “munafik” (Yunani= hupokrites). Richard Foster(seorang theologian & professor di Friend University di USA), mengawali bukunya Celebration of Disciplines dengan sebuah kalimat yang mengingatkan kita semua: “Superfisialitas merupakan kutukan di zaman kita” (Superficiality is the curse of our age). Kita hidup di era superfisial, era yang mementingkan kehidupan lahiriah, hal-hal yang nampak di permukaan, era kosmetik, era hidup yang penuh dengan topeng. Kita mengenakan berbagai topeng untuk menutupi diri kita yang sebenarnya. Kita pura-pura berdoa, pura-pura produktif bekerja, pura-pura aktif melayani, pura-pura peduli dengan orang lain, pura-pura cinta Tuhan. Terus-menerus berpura-pura, padahal kita melakukan semua itu bukan untuk kemuliaan Tuhan, tetapi untuk kemuliaan diri sendiri, untuk memenuhi kebutuhan ego kita. Saudara-saudara, jika seseorang begitu marah melihat dosa-dosa orang lain, tetapi tidak marah terhadap dosa-dosa sendiri, meremehkan dosa-dosa sendiri; ini adalah salah satu bentuk kemunafikan. Melihat ke luar diri, tanpa diimbangi melihat ke dalam diri sendiri adalah sesuatu hal yang sangat membahayakan kehidupan rohani kita. Saudara-saudara, dosa kemunafikan adalah dosa yang paling sulit kita lihat, paling sulit kita sadari, karena dosa ini membutakan diri kita sendiri. Dosa kemunafikan berakar dalam sikap pembenaran diri sendiri (self-righteousness). Orang munafik lebih percaya pada diri sendiri daripada percaya kepada Allah. Orang munafik mengukur dan menilai segala sesuatu menurut ukuran sendiri, standar sendiri, dan menganggap penilaiannya yang paling objektif. Itulah sebabnya, orang munafik dalam perikop ini merasa begitu percaya diri, merasa memiliki kualifikasi untuk berkata kepada saudaranya: “Mari, saya keluarkan selumbar di matamu... Biarkan saya mengatakan apa yang salah dalam hidupmu, dan biarkan saya meluruskan jalanmu.” Padahal orang munafik ini tidak sadar, ada balok yang harus terlebih dahulu dikeluarkan dari matanya sendiri. Dengan menghakimi orang lain, dia sebenarnya sedang menikmati pembenaran atas diri sendiri tanpa rasa bersalah. Dengan menghakimi orang lain, kita ingin mengabsahkan kebenaran diri sendiri: “Sejelek-jeleknya saya, ada orang lain lho yang lebih jelek.” Saudara-saudara, sikap menghakimi secara kejam bukan saja merupakan tanda kemunafikan yang membutakan seseorang terhadap realitas diri sendiri, tetapi juga, pada saat kita melakukan penghakiman yang kejam kepada orang lain, maka kita telah mengambil alih posisi Allah sebagai satu-satunya Hakim yang benar. Kita memiliki konsep yang salah tentang Allah. Perhatikan ayat 1. Dalam 7:1 dikatakan: “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (me krithete = verb subjunctive aorist passive 2nd person plural, divine passive). Kata “dihakimi” , bentuk pasif, dalam bahasa Yunaninya krithete menggunakan bentuk subjunctive aorist passive, atau bentuk divine passive yang merujuk kepada Allahlah sebenarnya sebagai subjek pelaku yang mempunyai hak prerogatif untuk melakukan penghakiman itu. Itulah sebabnya, Alkitab BIS (Bahasa Indonesia Sehari-hari) menerjemahkan demikian: “Janganlah menghakimi orang lain, supaya kalian sendiri juga jangan dihakimi oleh Allah” (ditambahkan: ... oleh Allah). Ini berarti ketika kita menghakimi orang lain, sebenarnya kita telah “merampas” posisi Allah sebagai satu-satunya Hakim yang Agung bagi umat manusia, karena sebenarnya penghakiman adalah hak prerogatif Allah, bukan hak manusia yang berdosa (The final judgment belongs to God alone). Absolute judgment adalah milik Allah, hanya Allah yang berhak melakukannya. Kita tidak boleh menempatkan diri kita seolah-olah sebagai Allah dalam konteks relasi dengan orang lain. Pada saat kita menghakimi orang lain, sebenarnya kita secara tidak sadar telah mengangkat diri kita sendiri sebagai Allah atas orang lain. Kita menempatkan diri sebagai Allah yang seolah-olah maha tahu isi hati orang lain, yang bisa mengenal dengan sempurna motif-motif orang lain. Padahal kita belum tentu memahami semua data yang ada, semua keadaan, dan semua motif yang ada. Karena kita hanya menilai segala sesuatu berdasarkan data-data eksternal. Kita tidak mungkin memahami sepenuhnya kedalaman hati manusia yang tersembunyi. Perspektif kita bisa bias dalam melihat sebuah fakta masalah. Kita tidak maha tahu. Seorang Rabbi Yahudi, Hillel, pernah mengucapkan kalimat yang mirip dengan perkataan Yesus dalam Matius 7:1 ini. Rabbi Hillel pernah berkata: “Janganlah menghakimi sesamamu, kecuali kamu dapat memahami situasinya.” Saudara-saudara, banyak dalam bagian-bagian lain, Alkitab menegaskan supaya kita tidak boleh menghakimi sesama manusia. Misalnya, Yakobus 4:12 dikatakan: “Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan. Tetapi siapakah engkau, sehingga engkau mau menghakimi sesamamu manusia?” Dalam Roma 2:1 juga ditegaskan hal yang sama: “Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama.” Saudara-saudara, pada saat kita terlebih dahulu mengeluarkan balok dalam mata kita, baru kita dapat melihat dengan jelas siapa Allah, siapa sesama kita, dan siapa diri kita sendiri. Pada saat kita terlebih dahulu mengeluarkan balok dalam mata kita, maka kita melihat diri kita sendiri orang berdosa, yang kotor, dan membutuhkan belas kasihan Allah. Sebenarnya banyak dosa yang telah kita lakukan, tetapi orang lain tidak tahu. Ternyata kita tidak sesaleh yang kita duga. Saudara-saudara, saya tidak bisa membayangkan, jika seandainya Allah menampilkan setiap dosa yang paling memalukan yang pernah kita lakukan pada layar ini. Setiap orang, hanya cukup dengan durasi 5 menit ditampilkan dosa-dosanya yang paling memalukan, kita nonton sama-sama di ruangan ini. Dosa-dosa saya yang paling menjijikkan ditayangkan 5 menit. Setiap kita, mulai dari anggota sampai kepada tua-tua Jemaat dan Pendeta, mendapat giliran 5 menit saja. Saya tidak tahu bagaimana reaksi kita. Mungkin saya adalah orang pertama yang keluar dari ruangan ini, karena tidak tahan menanggung malu dosa-dosa saya dipertontonkan oleh Allah di layar ini. Saya tidak sanggup melihat kenajisan saya sendiri. Saudara-saudara, pada saat kita terlebih dahulu mengeluarkan balok dalam mata kita, kita juga akan melihat orang lain sama seperti kita, sama-sama orang berdosa, sama-sama membutuhkan belas kasihan Tuhan. Sehingga pada saat kita menegur kesalahan orang, melakukan konfrontasi terhadap dosa orang lain, kita melakukannya dengan rendah hati, kita melakukannya dengan belas kasihan. Kita melakukannya bukan dengan sikap arogan, atau merasa diri lebih rohani dari orang itu. Pada saat kita mengeluarkan balok dalam mata kita, maka kita dapat melihat bahwa Allah adalah satu-satunya Hakim yang benar, dan penghakiman-Nya tidak pernah salah. Saudara-saudara, engkau dan saya, yang telah mengalami pengampunan dan kemurahan Tuhan, seharusnya kita lebih hati-hati, dan lebih terkontrol dalam memberikan penilaian terhadap hidup orang lain. William Barclay pernah menyatakan: “Salah satu disiplin rohani yang sangat terabaikan pada masa kini adalah evaluasi diri (self-evaluation).” Mengapa kelihatannya pertumbuhan rohani kita sangat lambat? Salah satunya, karena kita belum mau membuka diri kita secara transparan di hadapan Allah, belum menggumuli dengan serius area-area rawan dalam hidup kita, dan mengambil langkah-langkah yang konkret untuk mengatasinya. Saat ini, saya semakin disadarkan bahwa mengetahui isi Alkitab tidak sama dengan mengenal Allah, menyukai isi Alkitab tidak sama dengan mengasihi Allah, membaca Alkitab tidak sama dengan mendengarkan Allah. Kiranya kita jangan jatuh menjadi orang-orang Farisi modern, mereka mengetahui isi Alkitab, menyukai isi Alkitab, membaca Alkitab; tetapi mereka tidak mengenal, tidak mengasihi, dan tidak mendengarkan Allah.
KONKLUSI: Saudara-saudara, perintah Yesus: “Janganlah menghakimi !” Diberikan dalam konteks relasi dengan sesama manusia, relasi dengan orang lain. Saya rindu dalam komunitas kita ini, kita tidak menjadi komunitas yang suka menghukum orang lain secara kejam, bukan komunitas yang suka memojokkan orang lain, tetapi komunitas yang memulihkan dan menyembuhkan. Komunitas yang saling mengampuni. Komunitas yang saling berbagi anugerah satu dengan yang lain. Jika kita mengkritik orang lain, jika kita menegur kesalahan orang lain; biarlah semua itu kita lakukan karena kita sungguh-sungguh mengasihi orang itu. Kita lakukan dengan rendah hati, setelah melihat permasalahan secara utuh, bukan sepotong-sepotong, bukan atas dasar prasangka-prasangka negatif, prejudice yang belum jelas kebenarannya. Kita ingin memulihkan orang lain. Kita ingin berbagi anugerah dengan orang lain. Jangan kita bersukacita di atas kejatuhan orang lain. Marilah kita belajar memperlakukan orang lain sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan. Dalam jemaat ini, kita dipanggil menjadi saudara bagi sesama kita, kita saling menjaga, kita saling memulihkan, kita saling menopang, kita saling belajar satu sama lain. Melalui jemaat ini, kita dibentuk dan dididik oleh Allah. Berbahagialah kita yang mau dididik oleh Allah. Berbahagialah kita yang sedang dipersiapkan oleh Allah menjadi umat-Nya dan menjadi hamba-Nya. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar