“Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. ” Matius 19:5
.
Memasuki pernikahan merupakan idaman bagi hampir semua manusia. Dikatakan hampir semua, karena ada sebagian kecil orang yang memang mempunyai karunia untuk hidup single seperti Rasul Paulus. Setiap orang berusaha mencari pasangannya masing-masing, membina hubungan dan saling mengenal satu sama lain, hingga pada akhirnya masuk ke jenjang pernikahan.
Membina suatu pernikahan yang indah dan harmoni merupakan idaman bagi setiap pasangan yang akan memasuki jenjang pernikahan. Apa yang ada dalam bayangan calon pengantin umumnya adalah semua hal yang indah-indah.
Tetapi ketika pernikahan telah disahkan dan sepasang pengantin baru mulai menjalani pernikahan mereka, maka mulailah timbul hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan.
Masalah demi masalah pasti akan timbul dalam suatu pernikahan, mulai dari masalah yang kecil hingga masalah yang besar. Dan seringkali suatu pertengkaran timbul disebabkan oleh masalah yang sepele, seperti menaruh barang tidak sesuai dengan keinginan sang suami atau isteri, cara menggosok gigi yang berbeda, cara tidur yang mengganggu, dan masih banyak lagi kebiasaan-kebiasaan masing-masing yang bisa memicu pertengkaran.
Tahun-tahun pertama, lima tahun pertama atau bahkan sepuluh tahun pertama dari suatu pernikahan bukanlah masa-masa yang mudah. Belum lagi ditambah omongan dari keluarga pasangan yang tidak menyenangkan, maka akan semakin memperumit keadaan. Kondisi pekerjaan yang kurang baik maupun kondisi keuangan yang juga kurang baik akan semakin memicu pertengkaran dalam suatu rumah tangga.
Cara mendidik anak bisa juga menimbulkan perbedaaan pendapat yang juga mempunyai kemungkinan akan suatu pertengkaran dalam rumah tangga. Dan masih banyak lagi deretan kejadian-kejadian yang mempunyai potensi untuk menimbulkan pertengkaran dalam rumah tangga. Tidak jarang juga pertengkaran demi pertengkaran terus menumpuk tanpa penyelesaian yang berarti, hingga pada akhirnya memicu kata perceraian dalam rumah tangga yang baru dibina. Penyebab dari semuanya itu sebenarnya sangat dipengaruhi oleh satu faktor, yaitu perbedaan latar belakang.
Bukan suatu hal yang mudah untuk menyatukan dua latar belakang yang berbeda dalam satu rumah tangga. Sekian puluh tahun, mungkin 20 tahun, 30 tahun atau 40 tahun, seseorang telah hidup dalam suatu kebiasaan, kemudian harus hidup menyatu dengan pribadi lain yang juga mempunyai kebiasaannya sendiri selama puluhan tahun juga. Karakter yang keras akan lebih sulit untuk beradaptasi dengan kebiasaan pasangan yang berbeda. Bahkan ada yang telah puluhan tahun menjalani pernikahan tetapi mereka masih belum mempunyai cara untuk mencari jalan keluar jika terjadi pertengkaran.
Masalah-masalah yang terjadi dalam rumah tangga tidak dapat diselesaikan jika masing-masing mempertahankan pendapatnya.
Harus ada pihak yang mengalah. Bahkan kedua pihak harus mengalah.
Masalah yang terjadi dalam rumah tangga adalah salah satu cara yang Tuhan ijinkan untuk dapat memproses kehidupan masing-masing pribadi. Karakter masing-masing akan dibentuk dan diubahkan dari yang keras hingga menjadi lemah lembut. Dari yang suka marah diubahkan menjadi suka mengalah. Dari yang suka berteriak diubah menjadi ramah. Dari yang suka memukul diubah menjadi penyayang. Dari yang tidak peduli diubah menjadi peduli dan penuh perhatian. Dari yang suka mengomel diubah menjadi suka memuji.
Perlu diingat bahwa pertengkaran bukanlah suatu alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa kita tidak cocok dengan pasangan kita, sehingga memutuskan untuk bercerai. Tuhan sendiri mengatakan bahwa Dia membenci perceraian (Mal 2:16). Tidak ada kata bercerai dalam “kamus” pengikut Kristus.
“Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Mat 19:5-6
Kunci untuk meraih harmoni dalam pernikahan adalah dengan menjaga komunikasi dan keterbukaan satu sama lain. Ambil waktu untuk mengobrol dengan pasangan kita. Bicarakan apa yang memang perlu dibahas, tentunya dengan kepala dingin dan penuh kesabaran. Ceritakan apa yang telah dialami selama satu hari yang telah dijalani, entah pekerjaan di kantor, atau pekerjaan di rumah bagi isteri yang tidak bekerja. Ceritakan ide-ide yang muncul di pikiran kita dan juga rencana-rencana bagi masa depan keluarga. Bahas rencana keuangan rumah tangga, baik pemasukan maupun pengeluaran.
Perlu diingat bahwa ketika kita memasuki pernikahan, Firman Tuhan mengatakan bahwa suami isteri adalah satu. Dengan demikian, tidak ada yang namanya sebagian harta ini milik suami, sebagian harta ini milik isteri. Uang dan harta kekayaan yang ada adalah milik bersama dan dikelola secara bersama-sama juga. Suami isteri bertanggung jawab secara bersama-sama atas apa yang terjadi dalam rumah tangga mereka, baik keuangan, anak-anak dan lain-lainnya.
Usahakan keterbukaan dalam setiap keadaan. Jangan simpan rahasia di belakang pasangan. Keterbukaan adalah pintu menuju keharmonisan. Tidak perlu takut mengungkapkan sesuatu yang salah karena kejujuran jauh lebih penting dibandingkan segala sesuatu yang ditutup-tutupi. Pada akhirnya, usaha dari kedua belah pihak baik suami maupun isteri sangat diperlukan untuk meraih keharmonisan dalam keluarga. Tidak perlu menunggu pasangan kita yang memulai untuk berbuat baik terlebih dahulu. Tidak perlu menunggu untuk mengatakan maaf jika memang pertengkaran telah terjadi. Dengan usaha yang demikian dari suami maupun isteri, maka keharmonisan keluarga dapat diraih demi kemuliaan nama Tuhan.
“Tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah.” 1 Pet 3:4.
Usaha yang berkesinambungan perlu dijaga agar keharmonisan dapat diraih tidak hanya untuk jangka pendek saja, melainkan untuk jangka panjang, karena pernikahan adalah untuk seumur hidup.
Mari kita lihat apa yang Firman Tuhan katakan bagi suami dan isteri berikut ini. .
1. Untuk para isteri
“Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya, jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup isteri mereka itu. ” 1 Pet 3:1-2
Tuhan telah menetapkan seorang wanita menjadi isteri dari seorang pria untuk menjadi penolong bagi suaminya. Sedangkan suami ditetapkan oleh Tuhan sebagai kepala rumah tangga. Otoritas dari Tuhan turun melalui suami hingga kepada seluruh keluarganya. Oleh karena itu Tuhan menetapkan juga bahwa isteri harus tunduk kepada suami. Hal ini akan menjadi mudah jika karakter dari sang suami sudah terbentuk menjadi pribadi yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Tetapi ada sebagian isteri yang masih menghadapi suami mereka yang masih memiliki karakter yang keras dan bahkan tidak menghargai isterinya.
Bukan hal yang mudah bagi seorang isteri yang selalu dimarahi, mungkin juga hingga mengalami kekerasan fisik; untuk menerima keadaannya dan tetap tunduk kepada suaminya serta tetap setia menjadi penolong bagi suaminya bahkan hingga akhir hidupnya. Tahun-tahun yang dilalui dengan berbagai penderitaan merupakan suatu ujian bagi para isteri.
Firman Tuhan senantiasa mengingatkan kita bahwa tidak ada segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita yang tanpa sepengetahuan Tuhan. Se-negatif apapun sikap suami terhadap isteri, sebagai seorang isteri yang sudah mengenal Tuhan harus memegang teguh apa yang telah diperintahkan Tuhan. Dengan tunduk kepada suami, tetap mengasihi dia dalam segala keadaan, tetap sabar dalam kesesakan, tetap percaya dan berdoa kepada Yesus, maka sang isteri akan melihat karya Tuhan yang bekerja dalam diri sang suami (1 Pet 3:1-2).
Karakter lemah lembut dan penuh penundukkan diri dari seorang isteri akan membuat suami yang sebelumnya memiliki karakter yang keras, akan berubah. Kasih akan mengalir lewat sang isteri dan menjamah hati suami. Suami akan dimenangkan melalui perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan kehendak Tuhan. *courtesy of PelitaHidup.com
Tidak ada hati yang terlalu keras untuk dapat dilembutkan oleh aliran kasih Yesus. .
2. Untuk para suami
“Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang. ” 1 Pet 3:7
Suami memiliki tanggung jawab yang besar atas keluarganya, baik isteri maupun anak-anaknya. Suami merupakan gambaran Kristus dan isteri merupakan gambaran dari umat Tuhan. Suami harus bisa menjadi pribadi yang senantiasa mengasihi, menjaga, melindungi, mencukupi, merawat, menemani, menghibur, dan memotivasi isterinya, kapanpun dan dimanapun diperlukan. Ini merupakan tugas yang sangat berat bagi suami.
Kecenderungan akan mengejar karir dalam pekerjaan maupun harta kekayaan dapat membuat suami tidak dapat sepenuhnya mengasihi isterinya.
“Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.” Ef 5:33.
Mengasihi isteri bukanlah berarti hanya mencukupi segala kebutuhannya dengan materi bahkan memberikan segala kemewahan yang ada di dunia ini, tetapi lebih kepada sikap suami terhadap isteri. Firman Tuhan mengatakan bahwa suami harus mengasihi isterinya seperti dirinya sendiri. Pertanyaan ini perlu diajukan kepada diri para suami: “Apa yang akan Anda lakukan demi kebutuhan, keperluan, keinginan/kemauan diri Anda sendiri?” Jawaban atas pertanyaan tersebut harus juga dilakukan oleh para suami untuk isterinya.
Kunci utama bagi suami untuk dapat mengasihi isteri seperti mengasihi diri sendiri adalah dengan melepaskan harga diri atau yang sering disebut dengan ego. Isteri bukanlah sebagai pelengkap kehidupan, melainkan teman pewaris dari kasih karunia. Jika Firman Tuhan katakan “Teman Pewaris”, artinya adalah bahwa isteri mempunyai hak yang sama dengan hak yang dimiliki oleh suami.
Lepaskan segala keinginan untuk merasa lebih tahu, merasa lebih pintar, merasa selalu benar, merasa tidak pernah salah, merasa lebih hebat dan lain sebagainya. Berikan perhatian khusus bagi isteri sehingga mereka dapat merasa bahwa mereka adalah seorang pribadi yang memiliki arti yang spesial bagi hidup suaminya. Hargai setiap pendapat isteri, dengarkan nasehat yang diberikan isteri dan perhatikan apa yang dikatakan oleh isteri. Dan dengan demikian sikap suami terhadap isterinya tidak akan menjadi penghalang bagi doa yang dinaikkan. . .
Pada akhirnya, kasih Kristus harus menjadi pengikat bagi suami dan isteri. Jangan jadikan hal lain sebagai pengikat atau pemersatu bagi rumah tangga.
Ada beberapa pasangan yang bisa dikatakan terlalu berlebih memberi perhatian kepada anak-anak mereka, sehingga tanpa sadar kasih kepada pasangannya mulai meluntur. Hal ini akan membawa dampak yang negatif ketika anak-anak tumbuh menjadi dewasa hingga menikah dan meninggalkan orang tua mereka.
Banyak pasangan yang retak pada titik ini, oleh karena mereka menjadi anak-anak mereka sebagai pemersatu. Sehingga pada saat anak-anak mulai membangun rumah tangga mereka sendiri, tidak ada lagi yang dapat mengikat rumah tangga mereka.
Kasih Yesus merupakan tali pemersatu yang begitu kuat. Tidak ada satupun yang dapat melepaskan ikatan tali kasihNya dalam rumah tangga. Pasangan suami-isteri yang menjadikan kasih Yesus sebagi pengikat akan merasakan kasih sayang di antara mereka semakin bertambah hari demi hari bahkan terus bertambah hingga pada masa tuanya.
disunting dari pelitahidup.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar