PERJAMUAN KUDUS menurut Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh.
Di Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh perjamuan kudus biasanya dirayakan satu kali dalam satu triwulan. Upacara ini terdiri dari upacara pembasuhan kaki dan perjamuan. Ini haruslah menjadi peristiwa paling suci penuh kegembiraan bagi jemaat, demikian juga bagi pendeta atau ketua jemaat. Memimpin Perjamuan kudus merupakan salah satu panggilang paling suci bagi pendeta atau ketua jemaat. Yesus penebus Agung dunia ini adalah kudus. Para malaikat berseru:"Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah Yang Mahakuasa yang sudah ada, yang sekarang ada dan yang akan datang". Jadi karena Yesus itu kudus, maka simbol yang melambangkan tubuh dan darah-Nya juga adalah kudus.
Karena Tuhan sendiri telah memilih lambang yang memilih lambang yang memiliki arti sangat dalam pada anggur dan roti yang tak beragi dan menggunakan peralatan paling sederhana untuk mencuci kaki para murid, maka harus ada keengganan besar untuk mengganti lambang dan alat yang digunakan(kecuali dalam keadaan yang sangat darurat) karena dengan demikian makna sesungguhnya dari acara itu dapat hilang. Demikian juga susunan acara dan peran pendeta, ketua jemaat, diaken dan diakeness dalam cara Perjamuan Kudus harus dilakukan dengan hati-hati karena penggantian dan inovasi dapat menyebabkan hal yang suci menjadi hal biasa. Individualisme dan kebebasan bertindak dapat menjadi pernyataan tidak peduli terhadap persatuan dan persekutuan jemaat dalam peristiwa yang paling kudus dan diberkati ini. Keinginan akan perubahan dapat menghilangkan elemen peringatan dari acara yang ditetapkan oleh Tuhan sendiri pada waktu Ia memasuki penderitaan-Nya.
Acara Perjamuan Kudus sekarang ini sama sucinya seperti waktu ditetapkan oleh Kristus. Yesus masih hadir waktu upacara kudus ini dirayakan. Kita membaca, "Pada saat inilah, pada upacara-Nya sendiri, Kristus bertemu dengan umat-Nya, dan menguatkan mereka oleh hadirat-Nya." Alfa dan Omega, Jld.6,hlm.299.
Upacara Pembasuhan Kaki- "Setelah mencuci kaki murid-murid, Ia berkata, "Sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu". Dalam perkataan ini Kristus bukan saja memerintahkan kebiasaan suka menerima tamu. Lebih banyak yang dimaksudkan daripada hanya sekadar membasuh kaki para tamu untuk mengeluarkan debu karena perjalanan. Di sini Kristus sedang menetapkan suatu upacara agama. Oleh perbuatan Tuhan kita upacara ini...dijadikan suatu upacara yang disucikan. Upacara itu harus diadakan oleh murid-murid, agar mereka senantiasa mengingat pelajaran-pelajaran-Nya tengang kerendahan hati dan pelayanan. "Upacara ini merupakan persiapan yang ditentukan oleh Kristus untuk upacara agama. Sementara kesombongan, perbedaan paham, dan perselisihan untuk mencapai keunggulan disimpan dalam hati, sudah tentu hati tidak dapat memasuki persekutuan dengan Kristus. Kita tidak bersedia menerima perjamuan suci dari tubuh-Nya dan darah-Nya. Itulah sebabnya Yesus menentukan diadakannya peringatan kerendahan hati itu lebih dahulu." Alfa dan Omega,jld.6,hlm.289,290.
"Dalam tindakan membasuh kaki murid-murid, Kristus membuat suatu pembersihan yang lebih mendalam, yaitu membasuh debu-debu dosa dari hati. Para peserta merasakan suatu ketidaklayakan untuk menerima lambang kudus itu sebelum mengalami pembasuhan yang menjadikan seseorang itu "bersih seluruhnya" (Yoh.13:10). Yesus rindu membasuh kerenggangan, kecemburuan, dan kesombongan dari hati mereka...Kesombongan dan sifat memikirkan diri sendiri saja menciptakan perselisihan dan kebencian, tetapi segala perkara ini dibersihkan oleh Yesus.. Sambil memandang mereka, Yesus dapat berkata, "Kamu ini pun suci"--Alfa dan Omega, Jld.6,hlm.287. Pengalaman rohani yang terdapat pada inti acara pembasuhan kaki ini meninggikannya dari sekadar kebiasaan umum, menjadi upacara kudus. Ini memberikan pekabaran pengampunan, penerimaan, jaminan, dan solidaritas, terutama dari Kristus kepada orang percaya, juga di antara sesama orang percaya itu sendiri. Pekabaran ini dinyatakan dalam suasana rendah hati.
Roti Tidak Beragi dan Anggur Yang Tidak Meragi.
"Kristus masih di meja yang di atasnya perjamuan Paskah sudah disajikan. Roti tidak beragi yang digunakan pada perayaan Paskah terdapat dihadapan-Nya. Anggur Paskah, yang tidak mengalami peragian, terdapat di atas meja. Lambang ini digunakan Kristus untuk menggambarkan pengorbanan-Nya sendiri yang tidak bercacat cela. Tidak ada sesuatu yang dinajiskan dengan peragian, lambang dosa dan kematian, dapat menggambarkan "anak domba yang tak bernoda dan bercacat".(1 Petr.1:19)"-Alfa dan Omega,jld.6,hlm.294,295.
Baik anggur maupun roti tidak boleh mengandung ragi, sebagaimana pada malam hari pertama Paskah Ibrani semua ragi, atau fermentasi, harus dibuang dari tempat tinggal mereka (Kej.12:15,19; 13:7). Oleh sebab itu, hanya jus-anggur yang belum beragi dan roti yang tidak beragi yang cocok untuk digunakan dalam perjamuan kudus; menyediakan hal-hal ini harus dilakukan dengan sangat teliti. Di bagian dunia yang terpencil di mana anggur atau sari kismis tidak tersedia maka kantor konferens/daerah/wilayah akan memberikan saran atau bantuan untuk menyediakannya bagi jemaat-jemaat.
Peringatan Penyaliban--
"Dengan mengambil bagian dalam perjamuan Tuhan oleh memakan roti yang dipecah-pecahkan dan buah anggur, kita memperingati kematian Tuhan hingga Ia datang. Dengan demikian adegan penderitaan dan kematian-Nya menyegarkan pikiran kita"-Tulisan-tulisan Permulaan, hlm.377.
"Bila kita menerima roti dan anggur yang melambangkan tubuh Kristus yang sudah dihancurkan dan darah yang sudah dicurahkan, maka dalam angan-angan kita menggabungkan diri dalam peristiwa Perjamuan Kudus di ruangan atas. Kita tampaknya sedang melalui taman yang disucikan oleh sengsara-Nya yang menanggung dosa dunia. Kita menyaksikan pergumulan yang olehnya perdamaian kita dengan Allah diperoleh. Kristus dinyatakan tersalib di antara kita." Alfa dan Omega,jld.6,hlm.302,303.
Pengumuman tentang Kedatangan Kedua Kali--
"Upacara perjamuan kudus menunjuk kepada kedatangan Kristus yang keduakalinya. Upacara ini direncanakan dengan maksud agar harapan ini diingat baik-baik oleh murid-murid. Bila saja mereka berkumpul bersama-sama untuk memperingati kematian-Nya, mereka menceritakan kembali bagaimana "Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: Minumlah kamu semua dari cawan ini; sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa. Akan tetapi Aku berkata kepadamu: mulai dari sekarang Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur ini sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru bersama-sama dengan kamu dalam kerajaan Bapa-Ku". Dengan kesukaran mereka mendapat penghiburan dalam harapan kedatangan Tuhan. Tidak terperikan nilainya bagi mereka bila memikirkan: "Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang(1 Kor.11:26),"--Alfa dan Omega, jld.6,hlm.300,301.
Mengumumkan Perjamuan Kudus--
Perjamuan Kudus dapat menjadi bagian dari pelayanan ibadah Kristen mana pun. Namun, untuk memberi penekanan yang sesuai dan agar perjamuan itu dapat dihadiri banyak orang, maka biasanya upacara ini dilakukan pada pelayanan ibadah Sabat, dan sebaiknya sebelum Sabat terakhir tiap triwulan. Pada hari Sabat sebelumnya harus dibuat pengumuman tentang acara itu, dengan menekankan pentingnya Perjamuan Kudus yang akan datang itu, agar semua anggota dapat menyediakan hati mereka dan memastikan agar perselisihan-perselisihan yang belum diselesaikan dapat diselesaikan satu sama lain. Sewaktu mereka datang menghadap meja Tuhan pada hari Sabat berikutnya, maka acara itu dapat membawa berkat yang diharapkan. Mereka yang tidak hadir pada pengumuman itu harus diberitahu dan diundang untuk hadir.
Melaksanakan Perjamuan Kudus-- Penjangnya Acara--
Waktu bukanlah faktor paling penting dalam merencanakan upaca Perjamuan Kudus. Namun kehadiran dapat diperbanyak dan dampak rohani dapat ditingkatkan dengan:
1. Mengurangi hal-hal tambahan pada pelayanan ibadah di hari besar itu. 2. Menghindari keterlambatan sebelum dan sesudah pembasuhan kaki. 3.Agar para diakenes mengatur roti dan anggur di meja perjamuan sebelum acara dimulai.
Pendahuluan--Bagian pendahuluan dari acara itu harus mencakup hanya : Pengumuman singkat, lagu pujian, doa, persembahan, dan khotbah pendek sebelum berpisah untuk pembasuhan kaki. Lebih banyak orang yang akan terdorong untuk tinggal selama seluruh acara itu jika bagian pendahuluan itu singkat.
Pembasuhan kaki--Setiap jemaat harus memiliki rencana untuk memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya untuk acara pembasuhan kaki.
Roti dan Anggur--Setelah pembasuhan kaki, jemaat datang berkumpul sekali lagi untuk mengambil bagian dari roti dan anggur.
Perayaan--Acara ini dapat ditutup dengan musik atau nyanyian jemaat diikuti dengan iringan keluar. Bagaimanapun caranya, ini harus diakhiri dengan suasana senang. Perjamuan Kudus harus selalu merupakan pengalaman yang kudus tetapi tidak boleh menjadi pengalaman yang menyedihkan. Kesalahan telah diluruskan, dosa telah diampuni, dan iman telah dikuatkan kembali; ini adalah waktu untuk perayaan. Biarlah musiknya gembira dan bersemangat. Persembahan bagi orang miskin seringkali dipungut sementara jemaat keluar. Setelah acara itu pada diaken dan diakenes membersihkan meja, mengumpulkan gelas, dan membuang roti atau anggur yang sisa dengan cara membakar atau menguburkan roti dan menuangkan anggur di tanah atau cara lain sehingga itu tidak akan digunakan lagi.
Siapa yang Boleh Ikut--
Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh mempraktikkan Perjamuan Kudus terbuka. Semua yang telah menyerahkan hidup mereka pada Juruselamat dapat berpartisipasi. Anak-anak belajar akan arti acara itu dengan mengamati orang lain yang berpartisipasi. Setelah menerima instruksi formal dalam kelas baptisan dan membuat komitmen mereka sendiri pada Yesus melalui baptisan, maka mereka telah siap ikut serta dalam acara itu. Teladan Kristus melarang sifat eksklusif pada perjamuan kudus. Memang benar bahwa dosa terang-terangan mengasingkan orang orang yang bersalah. Inilah yang diajarkan dengan jelas oleh Roh Kudus.(1 Kor.5:11). Tetapi lebih dari ini tidak seorang pun harus dihakimkan. Allah tidak menyerahkan hak kepada manusia untuk mengatakan siapa-siapa harus hadir pada peristiwa seperti ini. Karena siapakah yang dapat membaca hati?. Siapakah dapat membedakan lalang dari gandum?. "Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari caran itu". "Karena barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan". "Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya" (1 Kor.11:28,27.29). "Bila orang-orang percaya berhimpun untuk memperingati upacara itu, hadirlah juga pesuruh-pesuruh yang tidak dapat dilihat dengan mata manusia. Mungkin juga ada Yudas dalam rombongan itu, dan jika demikian, pesuruh-pesuruh dari putra kegelapan pun ada di situ, karena mereka melayani semua orang yang enggan dikendalikan oleh Roh Kudus. Malaikat-malaikat surga juga hadir. Tamu-tamu yang tidak kelihatan ini hadir pada setiap kesempatan seperti itu. Mungkin kedalam rombongan itu datang juga orang-orang yang dalam hatinya bukannya hamba kebenaran dan kecucian, tetapi yang ingin mengambil bagian dalam upacara itu. Mereka tidak boleh dilarang. Ada saksi-saksi yang hadir pula ketika Yesus membasuh kaki murid-murid dan Yudas. Lebih dari mata manusia melihat peristiwa itu".--Alfa dan Omega,jld.6, hlm.299.
Tiap Anggota Harus hadir--
"Jangan hendaknya seorangpun mengasingkan dirinya dari Perjamuan Kudus karena ada orang yang tidak layak mungkin hadir. Setiap murid diundang untuk mengambil bagian di hadapan umum, dan dengan demikian menyaksikan bahwa ia menerima Kristus sebagai Juruselamat pribadi. Pada saat inilah, pada upacara-Nya sendiri, Kristus bertemu dengan umat-Nya, dan menguatkan mereka oleh hadirat-Nya. Hati dan tangan yang tidak layak mungkin mengurus upacara itu, namun Kristus ada di situ untuk melayani anak-anak-Nya. Semua orang yang datang dengan iman pada-Nya akan mendapat berkat besar. Semua orang yang melalaikan upacara Ilahi ini akan menderita kerugian. Tentang mereka boleh dikatakan dengan tepat, "Tidak semua kamu bersih."--Alfa dan Omega,jld.6,hlm.299.
Siapa Boleh Memimpin Upacara Perjamuan--
Perjamuan Kudus harus dipimpin oleh seorang pendeta yang tealh diurapi atau seorang ketua jemaat. Para diaken, walaupun diurapi, tidak dapat memimpin upacara tersebut, tetapi mereka dapat membantu membagikan roti dan anggur kepada anggota-anggota.
Perjamuan Kudus Bagi Orang Sakit--
Jika ada anggota yang sakit atau karena alasan lain tidak dapat meninggalkan rumah untuk menghadiri acara Perjamuan Kudus di rumah kebaktian, maka upacara khusus di rumah dapat dilakukan untuk mereka. Acara ini hanya dapat dipimpin oleh seorang pendeta atau ketua jemaat yang telah diurapi, dengan ditemani dan dibantu oleh para diaken atau diakenes yang biasa membantu dalam acara ini.
Sumber:Peraturan Jemaat GMAHK, Revisi 2005,Edisi ke-17.hlmn.81-86.
Apakah baptisan dan perjamuan kudus dapat dilakukan secara online?
Dalam
situasi yang kita tidak tahu kapan berakhirnya ini, gereja-gereja di pelbagai
belahan dunia tidak lagi dapat berkumpul bersama. Banyak gembala memeras otak
untuk mencari solusi. Tidak ada buku panduan baku untuk masalah ini. Ketika
gereja tidak dapat berkumpul seperti biasa secara ragawi maka apa yang dapat
kita lakukan untuk menguatkan dan menumbuhkan umat Allah?
Kebanyakan gereja-gereja Injili
memanfaatkan live streaming atau hal yang serupa untuk menghadirkan
ibadah Minggu. Meskipun ada yang menentang tetapi saya sendiri tidak menemukan
Alkitab melarangnya. Akan tetapi, bagaimana dengan baptisan dan perjamuan
kudus? Dapatkah kedua sakramen tersebut dilakukan secara jarak jauh? Untuk
baptisan, mungkin masih bisa. Namun, untuk perjamuan kudus, tidak bisa.
Mari saya
garisbawahi tujuan dari artikel ini bukanlah untuk menyalah-nyalahkan para
gembala, tetapi sesederhana memperlihatkan panduan Alkitab. Ketika kita tidak
punya contoh-contoh praktis yang dapat menjadi tuntunan maka menjadi sangat
penting untuk berpaling kepada firman Tuhan yang pasti memimpin setiap langkah
kita.
Pertama kita akan membicarakan tentang baptisan. Setelah itu, barulah perjamuan
kudus.
BAPTISAN
Dalam Matius 28:19, Yesus memberikan perintah,
“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka
dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” Pertanyaan paling mendasar adalah,
apakah hal ini dapat dilakukan tanpa pertemuan muka dengan muka antara yang
membaptiskan dan dibaptiskan? Kata Yunani untuk “baptis” bermakna masuk ke
dalam air. Poin utama dari baptisan adalah tindakan lahiriah menenggelamkan
diri ke air untuk mencerminkan realitas rohani akan kesatuan kita dengan
Kristus dalam kematian, penguburan dan kebangkitan-Nya (Roma 6:1-4). Dalam
perintah Yesus ini, tanggung jawab untuk membaptiskan terletak di pundak mereka
yang bertugas untuk memuridkan orang lain. Tanggung jawab untuk dibaptiskan ada
pada mereka yang mau menjadi murid.
Yang memuridkan menenggelamkan/mencelupkan Yang dimuridkan
ditenggelamkan/dicelupkan.
Jadi menurut saya, tidaklah mungkin untuk
baptisan secara virtual. Perintahnya bukanlah “beri tahu mereka untuk
membaptiskan diri sendiri,” melainkan “baptislah mereka.”
Sekalipun kita berada di masa yang
sangat tidak normal, saya tetap percaya bahwa gereja tidak bisa kompromi
tentang bagaimana seseorang dibaptiskan (patut dipertimbangkan untuk menunda
baptisan sampai kita benar-benar bisa berkumpul kembali). Sebagai contoh,
sangatlah tepat bila baptisan diadakan di tengah pertemuan seluruh jemaat
karena baptisan bukan perkara pengakuan iman seseorang secara individual tetapi
seluruh gereja juga akan mengakui iman orang tersebut dan selanjutnya menerima
dia ke dalam komunitas gereja (Kisah Para Rasul 2:38-41).
Baptisan mengikat seseorang kepada
seluruh jemaat. Itu sebabnya, kehadiran jemaat sebagai saksi adalah perwujudan
yang indah akan kebenaran ini. Namun, ketika jemaat dilarang datang ke gereja
maka masih bisa dimaklumi bila seorang gembala, sebagai perwakilan yang
diberikan wewenang oleh jemaat, untuk membaptiskan seseorang meskipun tidak
disaksikan jemaat lainnya. Bukankah baptisan Filipus atas sida-sida dari
Etiopia juga terjadi tanpa saksi sama sekali (Kisah Para Rasul 8:38)? Baptisan
yang diadakan di sebuah bathtub memang kurang ideal. Namun, ini tetaplah
sebuah baptisan yang sah.
PERJAMUAN KUDUS
Hal yang sama tidak berlaku bagi perjamuan
kudus yang dilakukan oleh gereja yang terpisah-pisah karena kegiatan fisik
berkumpul sangatlah esensial dalam perjamuan kudus. Dalam 1 Korintus 11, Paulus
menyebutkan sebanyak lima kali bagaimana jemaat Korintus menyelenggarakan
perjamuan kudus saat mereka berkumpul bersama sebagai sebuah gereja di
satu tempat dan di satu waktu yang sama (ayat 17-18, 20, 33-34).
Namun, apakah ini hanya kebetulan saja bahwa
mereka melakukan demikian atau memang kita harus seperti itu juga? Apakah
kehadiran fisik dari jemaat dalam perjamuan kudus tidak bisa ditawar-tawar
lagi? Paulus akan menjawab, “Ya!” Mari pertimbangkan 1 Korintus 10:17, “Karena
roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita
semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu.” Perjamuan kudus menyatakan
kesatuan gereja. Orang-orang berhimpun untuk memakan roti yang sama di tempat
yang sama sehingga menyatukan mereka (bila baptisan mengikat satu orang ke
semua orang maka perjamuan kudus membuat semua orang menjadi satu). Bila kita
melakukan perjamuan kudus yang bukan duduk bersama dalam satu ruangan maka ini
bukan lagi perjamuan kudus.
Jadi, saya berpendapat bahwa perjamuan kudus
yang dimediasi secara virtual tetapi terpencar secara fisik bukanlah perjamuan
kudus yang kurang optimal. Bagi saya, ini bukanlah perjamuan kudus sama sekali.
PERJAMUAN INI DAN PERJAMUAN ITU
Semua penderitaan melibatkan kehilangan dan
setiap kehilangan adalah bentuk penderitaan. Saat sekarang, di tengah begitu
banyak kehilangan dan penderitaan yang ada, orang Kristen di seluruh penjuru
dunia sedang menderita kehilangan persekutuan ragawi setiap Minggu. Belas kasihan
mendorong kita untuk mengatasi rasa kehilangan ini dengan cara yang kita bisa.
Namun, kita tidak bisa benar-benar menghilangkan rasa kehilangan ini. Itu
sebabnya, kita harus belajar dari apa yang sudah diajarkan oleh Allah melalui
kehilangan sementara akan perjamuan kudus yang ragawi. Perjamuan bersama
Kristus harus dihentikan untuk saat ini. Apa yang kita dapat pelajari dalam
masa “berkabung” ini (Pengkhotbah 7:2, 4)?
Perjamuan kudus itu sendiri tidak
semata-mata untuk memuaskan hati kita dengan kebaikan Kristus tetapi juga
mempertajam hasrat kita untuk melihat wajah-Nya kelak, “Akan tetapi Aku berkata
kepadamu: mulai dari sekarang Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur ini
sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, bersama-sama dengan kamu
dalam Kerajaan Bapa-Ku.” (Matius 26:29)
Kiranya
penundaan perjamuan kudus ini memperdalam rasa lapar kita akan perjamuan di
masa depan.
Bobby Jamieson.
Sumber:
thegospelcoalition.org
Diterjemahkan
oleh: Jimmy Setiawan.
Perjamuan kudus misalnya, apakah tidak
memungkinkan sama sekali untuk dilakukan sakramen tersebut di
masa pandemi seperti saat ini? Mengingat himbauan (bahkan larangan) dari
pemerintah untuk meniadakan perkumpulan (apalagi dalam jumlah besar) sudah
ditaati oleh banyak gereja. Hanya beberapa gereja yang masih bersikeras
mengadakan ibadah konvensional dan melibatkan Jemaat besar.
I.
Prinsip Dasar Perjamuan Kudus
Sebagian besar gereja-gereja di Indonesia
menyepakati bahwa tujuan dari Perjamuan
Kudus adalah untuk memperingati atau pengenangan terhadap perjamuan
terakhir yang dilakukan Yesus Kristus dan para murid. Dimana peristiwa itu juga
menyiratkan tentang pengorbanan Yesus
yang akan datang setelah perjamuan terakhir tersebut. Pengenangan yang
dimaksud adalah tindakan anamnesis: mengingat yang menghadirkan kembali, bukan
hanya mengingat masa lampau.
Perjamuan kudus dilaksanakan secara masal
dalam sebuah gereja melibatkan pelayan ibadah, pemimpin jemaat/Pendeta dan para
Jemaat. Dalam perjamuan kudus kita diminta untuk mengingat kembali pengorbanan Kristus di kayu salib untuk menebus
dosa-dosa kita. Roti menjadi lambang daging Kristus, sedangkan anggur
menjadi lambang darah Kristus (Mrk. 14:22, 24; Mat. 26:26, 28).
Dimana ketika kita meminum dan memakannya
berarti kita menerima pengorbanan Kristus di kayu salib untuk menebus dosa-dosa
kita. Iman Kristen secara dasariah
meyakini bahwa sakramen Perjamuan Kudus pada dirinya tidak memberikan
keselamatan, namun menunjuk pada keselamatan yang dianugerahkan oleh Allah
melalui Yesus Kristus yang mati dan bangkit, yang kita terima melalui iman
percaya kita.
II.
Bagaimana Pelaksanaan Perjamuan Kudus di Masa Pandemi
Kita melihat bahwa di masa ini berkumpul
menjadi salah satu hal yang dilarang oleh pemerintah dan berbahaya pula bagi
para jemaat. Resiko penyebaran Covid-19 akan lebih tinggi bila banyak orang
berkumpul. Lantas, bagaimana Perjamuan Kudus ini dapat dilaksanakan?
Kita
perlu melihat terlebih dahulu arti
kata sakramen itu. Istilah "sakramen"
(Latin: sacramentum) berasal dari Bahasa Yunani mysterion,
yang berarti "sesuatu yang tersembunyi kini dibukakan". Yang terpenting bukanlah apa yang terlihat,
tetapi makna di dalamnya. Dalam hal ini saya juga mengambil pandangan
Calvin tentang sakramen karena Calvin memposisikan dirinya pada jalan tengah
diantara pandangan Luther dan Zwingli saat itu.
Calvin menjelaskan dua definisi dari sakramen yaitu sebagai
"simbol eksternal yaitu bahwa Tuhan memeteraikan pada hati nurani kita
janji-janji-Nya akan kehendak-Nya yang baik kepada kita demi menopang kelemahan
kita" dan sebagai "tanda yang kelihatan dari perkara yang suci atau
bentuk yang kelihatan dari anugerah yang tidak kelihatan". Calvin menyatakan bahwa sakramen adalah
simbol dan tanda. Walaupun demikian, menurut John Calvin, sakramen bukan
hanya sekadar simbol.
Ada koneksi spiritual dalam taraf tertentu,
walaupun itu tidak berarti bahwa tubuh dan darah Kristus hadir di atas, di
dalam dan di bawah elemen roti dan anggur (kontra Martin Luther) atau roti dan
anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus secara riil (kontra Roma
Katholik). Jadi, Calvin lebih
menekankan elemen roti dan anggur dibandingkan dengan Zwingli. Dia juga lebih
menekankan aspek spiritual dari roti dan anggur melalui karya Roh Kudus
dibandingkan dengan Luther dan Katholik.
Dengan melihat pertimbangan diatas, bukan menjadi masalah apabila Perjamuan kudus dilaksanakan
secara online atau melalui ibadah-ibadah keluarga dengan kelompok yang
sangat kecil. Seperti beberapa alternatif yang disampaikan oleh PGI mengenai
pelaksanaan Perjamuan Kudus, diantaranya adalah : 1) Menunda pelaksanaan
Perjamuan Kudus; 2) Melaksankan Perjamuan
Kudus di Rumah Masing-masing; atau 3) Perjamuan Kudus secara Spiritual (Spiritual
Communion). Penjelasan dalam tiap poinnya telah dijelaskan secara runtut
dan mendetail dalam Pesan Paskah yang
disusun dan dikaji oleh Komisi Teologi dan Liturgi PGI Maret lalu.
Maka, bila ada gereja lokal yang tetap
mengadakan ibadah bersama di gereja untuk merayakan sakramen, hal itu malah
mungkin bertolak belakang dengan esensi sakramen perjamuan kudus yang telah
kita bahas di atas. Penilaian bahwa Gereja kurang peduli dengan umat perjanjian
mungkin akan timbul, karena telah menempatkan para jemaat ke dalam bahaya.
Wabah dengan cepat akan menyebar dan membunuh beberapa orang.
Kesimpulan
Sebagai
gereja Tuhan yang peduli dengan sesama umat Allah seharusnya kita dapat melihat
mana yang lebih baik dan bijak untuk dilaksanakan. Di masa Pandemi ini
gereja perlu melihat dengan sudut pandang yang lebih terbuka dan justru tidak bersikap kaku. Perjamuan Kudus masih
bisa dilaksanakan meskipun tidak dengan berkumpul bersama digereja.
Kebutuhan untuk tetap saling menjaga lebih
penting saat ini, agar Pandemi Covid-19 segera berakhir. Bila gereja mendasari
kehidupannya pada kasih, maka seharusnya
gereja juga harus mengerti bahwa dengan tidak mengadakan kegiatan masal adalah
bagian dari mengasihi sesama. Gereja seharusnya bisa mengambil alternatif
lain yang lebih bijaksana, seperti himbauan yang disampaikan oleh PGI
contohnya.
Seseorang pernah bertanya: “Apa sih beda
Marthin Luther, Johanes Calvin, dan Zwingli? Sebelum menjawab pertanyaan ini,
ada baiknya kita mengingat dengan jelas bahwa ada banyak persamaan di antara
ketiganya. Persamaan-persamaan tersebut, antara lain: pembenaran hanya oleh
iman (sola fide), keselamatan hanya oleh anugerah (sola gratia),
Alkitab sebagai sumber kebenaran, predestinasi, menolak apokrifa (sola
scriptura), pemahaman bahwa roti dan anggur bukanlah merupakan tubuh dan
darah Kristus sebagai korban dalam perjamuan kudus, dan
sebagainya.
Dalam kesempatan ini saya ingin menjelaskan
perbedaan ketiga Bapak Reformasi tersebut dalam hal perjamuan kudus dan juga
tentang persiapannya yang biasanya dikenal dengan istilah censura morum.
Perbedaan pandangan mereka tentang
perjamuan kudus berhubungan dengan dua pertanyaan. Pertama, apakah
roti yang kita makan itu mengandung tubuh Kristus dan anggur yang diminum
mengandung darah Kristus? Dan kedua, bagaimana sebenarnya kehadiran
Allah dalam roti dan anggur itu?
Sejak awal, Gereja sudah masuk dalam
perdebatan ini. Inti persoalannya: ketika imam atau pendeta sudah melaksanakan
doa syukur dan berkat atas roti dan anggur tersebut, apakah roti dan anggur
kemudian benar-benar berubah unsur-unsurnya menjadi daging dan darah Kristus,
atau roti dan anggur itu hanya sebagai simbol? Pandangan Gereja (Barat) yang
kuat pada waktu itu memang mengakui terjadi perubahan unsur dan
hakikat dari roti dan anggur tersebut. Roti berubah menjadi tubuh Kristus dan
anggur menjadi darah Kristus. Pendapat ini disahkan dalam Konsili (Gereja
Katolik) di Lateran tahun 1225. Konsep perubahan wujud roti dan anggur ini yang
kemudian disebut dengan transsubstansiasi, dalam
arti terjadi penyatuan dan perubahan (trans) substansinya.
Pandangan ini menekankan bahwa meski
sifat-sifat roti dan anggur terlihat (accidentia), tetapi itu menjadi
kenyataan yang semu, sebab sudah terjadi perubahan. Pandangan ini juga yang –
salah satunya – membuat Gereja Katolik hanya mengizinkan umat memakan roti pada
saat perjamuan kudus, sementara hanya imam yang boleh meminum anggur. Mereka
khawatir kalau “darah Kristus” itu tertumpah. Demikian juga pernah ada
pandangan bahwa sebelum makan roti, umat tidak boleh makan sesuatu dahulu agar
roti “tubuh Kristus” itu tidak tercampur dengan makanan harian umat.
Pandangan Reformasi
Perlu kita sadari bahwa Marthin Luther
sebagai penggagas awal Reformasi (1517), masih dipengaruhi oleh pandangan
Gereja Katolik pada masa itu. Ia hidup di Jerman dan bahkan tetap sebagai
Katolik sampai akhir hidupnya. Oleh karena itu, menurut pandangan Luther, dalam
perjamuan kudus, Kristus sungguh-sungguh hadir di dalam unsur roti dan anggur
tersebut, meski unsur-unsur roti dan anggur itu tidak berubah. Pandangan ini
kemudian dikenal dengan istilah consubstansiasi (yang
berasal dari kata con dan berarti “di dalam, bersama,
dan di bawah”), yang sedikit berbeda dengan pandangan transsubstansiasi.
Jadi Luther berpegang pada kesungguhan kehadiran tubuh dan darah Kristus meski
tanpa perubahan dalam unsur-unsur roti dan anggur.
Zwingli, yang hidup di Swiss (1484-1531) dan
dipengaruhi oleh pandangan Agustinus dan Bapak-bapak Gereja Timur, mencoba
berpikir lain. Zwingli menyatakan bahwa roti dan anggur hanyalah simbol dari
tubuh dan darah Kristus. Tidak ada perubahan substansi: roti tetap roti dan
anggur tetap anggur. Unsur-unsur itu hanya simbolis saja. Dalam pandangan
Zwingli, Kristus tidak mungkin hadir secara fisik dalam perjamuan Tuhan itu,
sebab tubuh Kristus hanya ada di dalam tubuh jasmani-Nya (ketika Ia dahulu di
dunia), kemudian tubuh yang dibangkitkan, dan tubuh mistik-Nya saat
ini yakni Gereja. Untuk itu, ia mengutip
Yohanes 6:63, “daging sama sekali tidak berguna”. Pandangan Zwingli ini
kemudian dikenal sebagai “simbolis” atau peringatan saja.
Pertentangan
pandangan ini menjadi cukup hebat dan konsili pertama Gereja Protestan kala itu
berakhir tanpa kesepakatan. Perpecahan tidak dapat dihindari lagi. Dalam
perbedaan tersebut muncullah Yohanes Calvin (1509-1564) yang memang lebih muda 26
tahun dari Luther (1483-1546). Ia kemudian mencuatkan sebuah “jalan tengah” di
antara keduanya dengan mengatakan bahwa kehadiran Kristus dalam roti dan anggur
adalah “kehadiran rohani”. Ia tidak setuju dengan perubahan
substansi dan juga tidak setuju dengan simbolisme saja. Bagi Calvin, Kristus
tidak hadir secara harfiah dalam wujud tubuh dan darah-Nya, tetapi roti serta
anggur itu juga bukan sekadar simbol melainkan mengandung realitas
rohani. Dengan kehadiran-Nya secara rohani itu di dalam roti dan anggur,
kita diberi makanan dan minuman rohani (bnd. 1Kor. 10: 3-4). Proses makan roti dan minum anggur itu kemudian memateraikan
dan meneguhkan janji Kristus yang diberikan-Nya kepada kita. Dalam pengertian ini, maka Calvin benar-benar berbeda
dengan Luther dan Zwingli. Pandangan ini yang diikuti oleh Gereja-Gereja
Calvinis saat ini.
Pertanyaan yang
kemudian mengusik adalah: bagaimana kehadiran secara rohani itu terjadi? Calvin
menjawab bahwa kehadiran secara rohani berarti Roh Kudus yang berperan di dalam
peristiwa itu. Kristus di dalam Roh Kudus sungguh-sungguh hadir pada perjamuan
itu, yakni Allah kita yang hidup, tetapi tidak lagi menurut ukuran manusia
(bnd. 2Kor. 5: 6-7; 3: 17). Dalam memahami kehadiran itu, sangat
penting peranan IMAN, sebab tanpa iman maka realitas rohani kehadiran Kristus
dalam perjamuan roti dan anggur itu tidak terjadi. Bagi yang memiliki
iman, peristiwa perjamuan itu merupakan anugerah sebagai tanda penebusan dan
keselamatan yang diberikan Tuhan melalui penyalibanNya di bukit Golgota. Dengan
demikian, peristiwa kehadiran Kristus di dalam perjamuan Tuhan ini merupakan
persekutuan rohani dengan tubuh dan darah Kritus. Calvin menggambarkan
peristiwa itu dengan menyatakan, ”Saya lebih mengalaminya daripada memahaminya.
Gereja Calvinis
juga meyakini bahwa perjamuan kudus yang suci itu merupakan undangan Tuhan
kepada kita untuk menghayati kembali dan merayakan keselamatan yang sudah
diperjuangkan dan dihasilkan Kristus, serta untuk memperbarui dan memperkuat
persekutuan kita dengan Allah dan sesama anggota gereja lainnya.
Censura Morum: Latar Belakang dan Tujuannya
Setiap kali
menjelang perjamuan kudus, biasanya gereja-gereja Calvin selama 3 x hari minggu
dibacakan formulir liturgis tentang pemeriksaan
diri sebelum mengikuti perjamuan undangan Tuhan itu. Dalam tradisi
beberapa gereja, peristiwa yang bersifat serimonial ini disebut dengan ”Censura
Morum”. Istilah ini berasal dari kata bahasa Latin yang berarti
”pemeriksaan diri”. Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal istilah ”sensor” yang
dekat pengertiannya dengan ”censura”. Selanjutnya, kata ”morum” tampaknya
berhubungan dekat dengan kata ”moral”. Jadi, censura morum dapat
diartikan sebagai pemeriksaan moral, pemeriksaan tingkah laku, atau
dalam bahasa Inggris lazimnya diartikan sebagai censure of one’s
conduct or life.
Tradisi censura
morum berlangsung di Gereja Calvinisme sebagaimana dianjurkan Calvin.
Meskipun begitu, perlu diketahui bahwa ritual ini pada awalnya tidak
berhubungan dengan perjamuan kudus. Praktik ini lebih kepada pemeriksaan
tingkah laku para pelayan Firman, penatua, dan diaken, yang dilaksanakan sekali
dalam 3 bulan atau 4 kali dalam setahun. Dalam pertemuan para pelayan
tersebut, dilakukan pemeriksaan dengan ditanya satu per satu, apakah mereka
dalam tingkah lakunya telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan firman
Tuhan dan layak melayani, termasuk
apabila ada keraguan dalam iman dan pengajaran. Oleh karena itu, censura
morum pada awalnya mengandung konotasi negatif dalam arti kata
seolah-olah “menghakimi atau memeriksa” orang lain atas perbuatannya. Namun,
kemudian praktik ini dilakukan dengan kasih dan pengabdian diri (1Pet. 5: 2),
sekaligus untuk mendorong dan meneguhkan atas apa yang telah dilakukannya itu
adalah baik untuk jemaat.
Pentingnya dilaksanakan
pemeriksaan diri para pengerja Gereja ini karena dianggap sebagai representasi
Gereja dan diharapkan menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
perlu dilakukan pemeriksaan khusus satu per satu. Tujuannya,
sebagaimana tertulis dalam situs www.prca.org /standard_bearer/ volume74, “ministers
of the Word, elders and deacons shall exercise Christian censure among
themselves before the celebration of the Lord's Supper and inquire into
doctrine as well as into life."
Praktik ini
kemudian diterapkan juga kepada seluruh anggota jemaat, sebagai bagian
persiapan sebelum Perjamuan Kudus. Akan tetapi berbeda dengan para pengerja,
pemeriksaan kepada anggota jemaat hanya dilakukan dengan meminta mengisi
formulir dan hal ini dianggap cukup efektif, dan tidak perlu ditanya langsung
satu-per-satu. Semua ini bertujuan untuk menjamin bahwa perjamuan kudus yang
akan dilakukan itu diikuti oleh orang-orang yang layak dalam persekutuan dengan
“tubuh dan darah Kristus”.
Pelaksanaan
pemeriksaan diri memiliki dasar dalam Alkitab, yakni pentingnya kehidupan yang
suci dan berkenan kepada Tuhan. Kehidupan jemaat yang bertentangan dengan
firman Tuhan tentu dapat mengancam keselamatan mereka (Mat.7: 21-23; 1Kor. 6:
9b-10; 1Tes. 2: 11-12). Penilik jemaat dan diaken pada jemaat mula-mula
memiliki tugas tersebut dan mereka harus memenuhi persyaratan yang ketat untuk
itu (1Tim 3: 1-13; Tit. 1: 7). Oleh karena itu, para penilik jemaat dan diaken
pada saat itu perlu melakukan pengawasan disiplin gerejawi terhadap anggota jemaat.
Apabila diketahui mereka melakukan sesuatu yang bertentangan dengan firman
Tuhan, maka tugas Gereja melalui para pengerjanya memberikan nasihat atau
teguran.
Calvin menegaskan
bahwa Gereja memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut. Dalam Kisah Para
Rasul 20: 28 disebutkan, “Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh
kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk
menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri.”
Dan kalau pelanggaran itu membahayakan kehidupan jemaat secara keseluruhan
dengan tidak adanya tanda-tanda penyesalan dan pertobatan, maka Gereja dapat
mengucilkannya (Mat. 18: 15-18; 1Kor. 5: 1-8).
Dalam praktik censura morum di beberapa
gereja, pemimpin ibadah (biasanya Pendeta) memberikan pertanyaan kepada para
Penatua dan Pengerja gereja yang hadir: “Apakah siap dilayani dan melayani?”
Pengertian ini, tentu bernada evaluatif, artinya apakah kita sudah membereskan
segala sesuatu dengan Tuhan dan dengan sesama manusia. Apakah kita sudah
mengasihi semua orang, mengampuni semua orang yang menurut kita melakukan
kesalahan terhadap kita, mengasihi orang yang lemah dan tidak
memperbincangkannya. Dan secara umum, apakah kita mempunyai masalah dengan yang
kita imani dan pengajaran yang diterima dalam penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Oleh karena itu,
baik pengerja maupun anggota jemaat, perlu memahami makna perjamuan kudus itu
dan merenungkan serta melakukan pemeriksaan diri sebelum kita mengikuti
perjamuan Tuhan itu. Kalau masih ada masalah, mari kita bereskan. Datang
kepada-Nya, mohon ampun dan memohon kekuatan untuk diperbarui terus-menerus.
Datang kepada Tuhan biasanya mudah dilakukan. Namun untuk persoalan dengan
sesama manusia, ini biasanya lebih sulit. Kita juga harus berani merendahkan
diri dan memohon maaf apabila ada perbuatan kita yang kurang pantas, atau di
lain pihak melupakan dan mengampuni perbuatan orang lain kepada kita yang
menurut kita tidak pantas juga. Dengan jalan itulah kita layak masuk dalam
perjamuan suci yang menguatkan meneguhkan iman kita itu. Tidak ada satu pun
di dunia ini yang lebih berharga dari kasih Allah untuk menerima anugerah-Nya
yang sangat berharga itu dan dilayakkan hadir dalam persekutuan
dengan-Nya. Tuhan memberkati.
(Pdt. (Em) Ir. Ramles M. Silalahi, D.Min – Gereja Kristen
Setia Indonesia)