DIUTUS UNTUK MENGHASILKAN UMAT YANG KUDUS:
EKSPOSISI YESAYA 6:1-13
Pengutusan
Yesaya sebagai nabi
dimulai dengan perjumpaannya
dengan Tuhan. Dalam perjumpaannya
dengan Tuhan, Yesaya
mengakui kenajisan dirinya, dan
ia pun dikuduskan
oleh TUHAN melalui
pelayanan para serafim.
Setelah dikuduskan, ia siap
menerima pengutusan yang dinyatakan kepadanya.
Pengutusan
nabi Yesaya bukan
untuk menghasilkan pertobatan
seluruh bangsa, tetapi
menghasilkan umat yang mengeraskan hati dan tertutup terhadap
hal-hal rohani, kemerosotan rohaninya semakin meningkat, dan bahkan
sebagian besar umat Yehuda
dibinasakan.
Ia
yang diutus oleh
TUHAN balatentara yang
kudus, tetapi dalam pelayanannya, ia tidak disenangi oleh umat dan para
pemimpin Yehuda. Ini menunjukkan bahwa
pengutusan Yesaya bukan untuk
menghasilkan banyak petobat
baru, tetapi sekelompok kecil orang
kudus.
Bercermin kepada panggilan nabi Yesaya, mungkin ada di antara para hamba Tuhan yang
dipanggil oleh Allah dengan
memiliki karakter pelayanan seperti yang dimiliki oleh Yesaya.
Hal
yang harus dipercaya adalah
ia dipanggil dengan jaminan
penyertaan. Pembelanya adalah
TUHAN balatentara.
Penjaminnya
adalah Raja yang bertakhta. Penyedianya adalah Tuhan yang memiliki
segalanya. Keberhasilan pelayanan dalam
konteks pengutusan Yesaya bukan dilihat dari berapa banyak
jumlah umat yang
dihasilkan dan bukan
pula pada besarnya penghasilan yang diterima, tetapi menghasilkan umat yang
kudus.
Untuk
itu, yang terpenting untuk diperlihara
adalah hidup dalam kekudusan
dan melayani untuk menghasilkan umat
yang kudus, sehingga
walaupun sedikit jumlah
umat yang dilayani, tetapi
mereka adalah umat
yang berkenan kepada
Allah. Allah yang menyatakan diri kepada hamba-Nya dan
umat-Nya adalah Allah yang maha kudus.
Sebagai Allah yang kudus, maka segala sifat
dan apa pun yang dimiliki-Nya
adalah kudus, termasuk hamba-Nya
dan umat-Nya. Bersekutu
dengan Tuhan yang
kudus adalah prioritas utama dalam penyembahan, kekudusan harus menjadi
prioritas diri, dan menghasilkan umat yang kudus harus menjadi prioritas dalam
pelayanan.
PENDAHULUAN
Bercermin
pada pengutusan nabi
adalah penting untuk
disimak sebagai pembelajaran pengutusan
dalam konteks pelayanan
gereja saat ini. Salah satu nabi yang pengutusannya dianggap
unik adalah Yesaya.
- Yesaya adalah
nabi yang mengalami
perjumpaan secara pribadi dengan Tuhan, tetapi ia tidak diutus
untuk membawa seluruh umat Yehuda
bertemu dengan Tuhan.
- Yesaya adalah
nabi yang dikuduskan
oleh Tuhan untuk melaksanakan pelayanan
yang dipercayakan kepadanya,
tetapi ia tidak diutus
untuk membawa seluruh
umat Yehuda untuk
hidup dalam kekudusan.
- Yesaya adalah
nabi yang diutus
untuk melaksanakan pelayanan rohani, tetapi umat yang
mendengarnya mengeraskan hati
terhadap hal-hal rohani.
- Yesaya adalah nabi yang
diutus kepada umat yang hatinya tertutup terhadap hal-hal rohani dan
hasil pengutusannya adalah
menambah kemorosotan rohani umat Yehuda.
- Yesaya adalah
nabi yang diutus kepada bangsa yang
memberontak, sedangkan hasilnya
pelayanannya bukanlah pertobatan
umat secara keseluruhan, melainkan
sebagian besar dari
umat Yehuda dibinasakan.
- Yesaya nabi yang diutus oleh TUHAN
balatentara yang kudus, tetapi dalam
pelayanannya, ia
tidak disenangi oleh
umat dan para pemimpin Yehuda.
- Yesaya tidak
dipanggil untuk menghasilkan
banyak petobat baru, tetapi sedikit orang kudus. Ini adalah
panggilan yang aneh,
tetapi Yesaya siap
menjalani cakupan pengutusan yang diterimanya karena ia tahu bahwa semuanya bersumber dari TUHAN dan hasil pelayanannya pun telah
ditentukan oleh Tuhan, yaitu sekelompok kecil
umat yang disebut
tunas yang kudus.
Untuk
itu, dalam tulisan
ini akan dikaji
secara biblika tentang “Diutus untuk
Menghasilkan Umat yang
Kudus” berdasarkan
pengutusan nabi Yesaya yang terdapat dalam Yesaya 6:1-13.
Pembahasan eksposisi ini tidak berupaya
untuk memecahkan kasus-kasus teks dalam ayat
ini, tetapi terfokus
pada tema yang
ada untuk mengangkat kebenaran yang
terkandung di dalamnya,
yaitu kajian teologis-biblis tentang Tuhan sebagai Pengutus, Yesaya sebagai nabi yang diutus, umat yang menjadi
obyek pengutusan, dan
diakhiri dengan kajian
teologis-praktis sebagai masukan bagi hamba Tuhan dalam melaksanakan segala
tanggung jawab pelayanan yang dipercayakan kepadanya.
KAJIAN TEOLOGIS-BIBLIS
Kajian
Teologis-Biblis tentang Tuhan (ay. 1-4)
Dengan
memahami teks dan
konteks Yesaya 6:1-13,
maka dirumuskan kajian teologis-biblis tentang
Tuhan dengan fokus pembahasan: Tuhan adalah
Raja yang melayani
umat-Nya dan Tuhan adalah TUHAN balatentara yang kudus.
Tuhan
adalah Raja yang Melayani Umat-Nya (ay. 1)
Yesaya
berkata, “Dalam tahun matinya
raja Uzia, aku melihat Tuhan
...” (ay. 1 – LAI TB). Penglihatan yang dialami oleh
Yesaya dimulai dengan penyataan dua hal yang berbeda, yaitu matinya raja
Uzia dan Tuhan yang menyatakan diri kepada Yesaya.
Raja Uzia memerintah atas Yehuda kurang
lebih lima puluh dua tahun lamanya.
Awal kepemimpinannya, ia
melakukan yang benar
di mata TUHAN (2 Raja 15:3)
dan TUHAN membuatnya berhasil (2 Taw.
26:4-5). Yehuda mengalami
keberhasilan ekonomi (2
Taw. 26:6-15).
Namun setelah ia merasa bahwa kekuasaannya
telah kokoh, ia menjadi sombong. Ia membakar
ukupan di atas
mezbah pembakaran ukupan
yang seharusnya dilakukan oleh
para imam (2
Taw. 26:16-18). Akhirnya, TUHAN menulahi kusta pada tubuhnya
(2 Taw. 26:19-20). Ia dikucilkan dari
rumah TUHAN dan
tinggal di rumah
pengasingan hingga kematiannya (2
Taw. 26:21).
Pada masa inilah Tuhan (Adonay) menyatakan
diri kepada Yesaya sebagai Tuan atas
segala tuan dan
Tuan yang memiliki
kekuasaan tertinggi di bumi dan
di surga.
Ia
juga yang memiliki Yehuda dan
raja-rajanya.
Sehingga
ketika Yehuda berada dalam kemerosotan moral dan rohani (1:4, 21-23; 3:9;
5:6, 11-12, 18-19, 20, 21, 22-23; 6:3),
serta berduka karena
kematian raja Uzia,
Tuhan menyatakan diri bahwa
Ia hidup, tetap eksis, tetap
setia kepada umat-Nya, bahkan Ia sendiri yang datang menghampiri umat-Nya
melalui penyataan diri-Nya kepada Yesaya.
Yesaya melihat Tuhan
sedang “…duduk di atas
takhta yang tinggi
dan yang diagungkan” (ay. 1 - terjemahan penulis).
Duduk
di atas takhta
menyatakan sifat atau
keadaan diri Tuhan bahwa Ia adalah Raja yang bertakhta.
Takhta-Nya adalah tempat yang
pantas bagi-Nya serta
bagian dari diri-Nya
yang menyatakan kodrat-Nya.
Penyebutan Tuhan adalah Raja sesuai dengan perkataan Yesaya, “...
namun mataku telah
melihat sang Raja,
yakni TUHAN balatentara”3
(ay. 5 – terjemahan penulis).
Takhta yang dilihat oleh Yesaya
adalah takhta “yang tinggi dan
yang diagungkan.”
Kedua
kata tersebut bukan menyatakan ukuran, tetapi sifat, yang
mana, kebesaran dan keagungan takhta Tuhan
bukanlah sesuatu yang ditambahkan
atau dapat menjadi bertambah dan berkurang, tetapi memang demikian adanya.
Dengan
demikian, kebesaran dan
keagungan Tuhan tidak
hanya terdapat pada diri-Nya,
tetapi juga pada
apa yang menjadi
bagian dari diri-Nya, yaitu
takhta-Nya. Penyataan diri
Tuhan demikian
membedakan-Nya dari semua
raja Yehuda (seperti
Uzia, Yotam, Ahaz, Hizkia), dan raja-raja bangsa-bangsa
lain, bahwa tidak seorang pun raja yang
bertakhta selamanya dan memiliki
takhta yang agung
dan mulia, selain Tuhan sendiri.
Tuhan duduk
di takhta yang tinggi dan diagungkan, “
… dan ujung jubah-Nya memenuhi
Bait Suci” (ay. 1 – LAI TB).
Dalam Perjanjian Lama, hanya para imam yang
mengenakan jubah untuk melayani di
Kemah Suci (Kel.
28:33-34).
Penglihatan
tentang Tuhan yang berada di Bait
Suci dengan mengenakan jubah seperti yang biasanya hanya
dipakai oleh para
imam menunjukkan bahwa Bait-Nya
adalah tempat Ia berdiam dan Ia bertindak sebagai Imam bagi umat-Nya.
Tuhan menyatakan diri
sebagai Imam yang
mendamaikan umat-Nya dengan diri-Nya
sendiri (bdg. Ibr.
10:19-21, gambaran Yesus
sebagai Imam Besar).
Dalam konteks kitab Yesaya, raja Uzia telah
mati dan tidak lagi memimpin orang-orang Yehuda, bahkan para
pemimpin dan imam tidak melaksanakan
tanggung jawab mereka
secara benar (1:10-14,
23; 3:12-15), tetapi Tuhan menyatakan
diri dalam bait-Nya
sebagai Imam Besar yang
siap melayani umat-Nya
serta yang akan
menguduskan Yesaya dan mengutusnya sebagai nabi.
Tuhan
adalah TUHAN Balatentara yang Kudus (ay. 2-4)
Penyataan diri Tuhan kepada
Yesaya menunjukkan bahwa Tuhan
sebenarnya terpisah dari
manusia karena kekudusan-Nya, tetapi
Ia beranugerah untuk menyatakan
kekudusan-Nya kepada manusia.
Hal ini dibuktikan dengan seruan yang
disampaikan para seraf (ay. 2), “Dan seorang
berseru kepada yang
lain serta berkata:
Kudus, kudus, kudus
TUHAN balatentara, seluruh bumi
penuh kemuliaan-Nya” (ay. 3 – terjemahan penulis).
Isi
seruan para seraf
adalah tentang kekudusan,
kepahlawanan, kemuliaan TUHAN.
Seruan
para seraf tentang
kekudusan Tuhan yang
disebut sebanyak tiga kali secara
berturut-turut menyatakan bahwa kekudusan adalah keunggulan dan kekuatan TUHAN yang tiada bandingnya (bdg. Yer. 7:4; 22:29; Yeh.
21:32).
Para
penafsir yang lain
berpendapat bahwa tiga kali
penyebutan
tentang kekudusan
TUHAN menyatakan keberadaan Allah
Tritunggal. Jika dilihat
dari konteks Yohanes
12:41,
rasul Yohanes
menyebutkan bahwa Yesaya
telah melihat kemuliaan Yesus dan telah berkata-kata
tentang Dia.
Kekudusan
TUHAN adalah benar-benar hakikat diri-Nya bahwa Dia
adalah Yang Kudus
di surga dan
di bumi (bdg.
40:25).
Hal
ini diperkuat dengan penggunaan nama, TUHAN (YHWH), yang disebut oleh para seraf, yaitu nama
yang kudus dan tidak boleh
disebut sembarangan oleh manusia
(bdg. Kel. 20:7).
Dengan demikian, pernyataan tentang
kekudusan TUHAN yang
disampaikan oleh para seraf adalah deklarasi yang menyatakan betapa kudusnya TUHAN dan kekudusan-Nya tidak
dimiliki oleh siapa
pun selain pada
diri-Nya sendiri.
Manusia
hanya dapat mengalaminya
apabila TUHAN menyatakannya
kepada manusia. Tuhan yang
kekudusan-Nya dinyatakan oleh
para seraf adalah TUHAN
balatentara (-YHWH [Adonay]
tsevaot, ay. 3 dan 5).
TUHAN yang adalah
“tsevaot” (tentara atau
balatentara dalam peperangan,
tuan rumah, pelayan), yang menunjukkan
bahwa TUHAN adalah Tuan di atas segala tuan
yang memiliki dan melayani umat-Nya dengan segala
yang dimiliki-Nya.
Dalam
menghadapi musuh dan tantangan
yang dialami umat-Nya,
TUHAN-lah yang berperang
bagi umat-Nya karena Ia
adalah TUHAN segala
tentara dan tidak
ada angkatan perang apa
pun yang dapat
bertahan melawan-Nya. Dalam konteks kitab
Yesaya mengacu kepada
tiga hal: pertama,
TUHAN berperang melawan umat-Nya karena dosa dan kejahatan mereka (1:24, 28;
3:24); kedua, TUHAN
berperang melawan musuh
umat-Nya (9:3; 10:5; 13:3;
14:24-25, 29-31; 15:1-9;
17:1-3); dan ketiga, TUHAN
berpihak kepada Yesaya sebagai
nabi yang akan
berperang melawan Yehuda untuk menghasilkan tunas yang kudus
(6:13). Dalam seruan para seraf tentang kekudusan TUHAN, mereka juga berkata,
“... seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya” (LAI-TB).
Seruan para
seraf, pada satu
sisi, menyatakan TUHAN
terpisah dari manusia karena
kekudusan-Nya dan Ia berperang
melawan umat-Nya karena dosa-dosanya; pada sisi lain, TUHAN membuka diri
untuk menyatakan kemuliaan-Nya,
bukan hanya di Bait Suci
dan bukan pula hanya bagi
orang-orang Yehuda, tetapi seluruh bumi (bdg. Kel. 33:17-23; Yeh. 1:28; bdg.
Bil. 14:21; Yes. 11:9; Hab. 2:14).
Ada
penafsir yang berpendapat
bahwa sebelum peristiwa
ini, Yesaya hanya melihat
kemuliaan dan keagungan pemerintahan
kerajaan Uzia, tetapi setelah
Yesaya mengalami penglihatan
ini, Yesaya sadar bahwa
kemuliaan dunia adalah
kemuliaan yang fana.
Dalam
konteks kitab Yesaya,
kekuasaan Uzia yang menjadi
kebanggaan Yehuda tidak sebanding
dengan kemuliaan dan keagungan yang dimiliki oleh TUHAN, karena kemuliaan-Nya, bukan
hanya dinyatakan di
Yehuda dan Yerusalem, tetapi
memenuhi seluruh bumi.
Kemuliaan
TUHAN menyatakan manifestasi
diri-Nya kepada manusia di
seluruh bumi. Kemuliaan
TUHAN adalah kuasa
yang dinamis yang nantinya akan
membaharui bumi sehingga seluruh
bumi penuh kemuliaan-Nya.
Kemuliaan
adalah milik TUHAN
yang hakiki dan hanya ada pada
diri-Nya, tetapi kemuliaan yang hanya ada pada diri-Nya dinyatakan secara
terbuka di seluruh bumi agar manusia di seluruh bumi dapat mengenal-Nya.
Akibat dari seruan
yang disampaikan para
seraf, “Maka bergoyang ambang pintu karena suara yang berseru dan rumah itu dipenuhi asap” (LAI
TB).
Ambang pintu Bait Suci yang bergoyang
menunjukkan bahwa kemuliaan TUHAN dimanifestasikan dalam bentuk fisik, dan
rumah yang dipenuhi dengan asap menunjukkan
kehadiran-Nya dalam Bait-Nya
yang suci (bdg. Kel.
13:21; 14:19; 40:34; I
Raja 8:10; Yes.
4:5).15 Ini berarti
bahwa kemuliaan TUHAN bukanlah sesuatu yang semu, tetapi nyata dan dapat
dirasakan oleh umat-Nya
sebagai lawatan-Nya terhadap
umat-Nya di seluruh bumi.
Kajian Teologis-Biblis tentang Nabi
(ay. 5-8)
Pengutusan
Yesaya dimulai dengan
pengakuannya tentang kenajisan dirinya
dan bangsanya, setelah itu, ia dikuduskan dan ditebus oleh Tuhan melalui
pelayanan para seraf, dan akhirnya
ia menyatakan diri siap diutus
untuk menghasilkan umat yang kudus.
Yesaya, Nabi Yang Mengakui Kenajisannya
(ay. 5)
“Lalu aku berkata: Celaka aku, aku
dibinasakan, sebab aku orang (yang) najis bibir dan hidup di tengah-tengah bangsa (yang) najis bibir, bahwa aku telah melihat Raja, TUHAN balatentara”
(ay. 5 – terjemahan penulis).
Akibat dari penglihatan yang dialami oleh Yesaya, ia sadar bahwa ia
berada dalam keadaan
nyaris mati, celaka,
dan takut karena
ia berhadapan dengan TUHAN
balatentara yang kudus.
Yesaya sadar bahwa ketakutan
yang dialaminya disebabkan
oleh ketidak sempurnaannya secara
moral di hadapan Allah sehingga ia pun mengakui dosanya dan
dosa bangsanya bahwa
mereka adalah orang-orang
yang najis bibir.
Walaupun
Yesaya dan bangsanya
dapat memenuhi segala peraturan seremonial
untuk beribadah dalam
Bait Allah di Yerusalem, tetapi mereka masih belum
pantas untuk berhadapan dengan Allah yang kudus.
Karena
itulah, Yesaya merasa
tidak layak dan
mengalami ketakutan karena ia
berhadapan dengan TUHAN balatentara
yang berperang melawan dosa. Kata “celaka” yang disebutkan Yesaya adalah salah
satu kata yang sering digunakan
oleh Yesaya untuk
menegur Yehuda yang
berada di ambang kehancuran
(1:4; 3:11; 5:8, 11, 18,
20, 21, 22; 6:5; 10:1;
24:16; 28:1; 29:1, 15; 30:1;
31:1; 33:1; 45:9, 10).
“Celaka” yang disebutkan Yesaya bukan dinyatakan kepada
orang lain, tetapi
kepada dirinya sendiri.
Yesaya sadar bahwa ajalnya
telah tiba karena
ia telah melihat
TUHAN balatentara. Yesaya
tidak membela diri dan
memohon kemurahan dari
Allah, tetapi ia
merasa bahwa ia
berada dalam keadaan
tanpa pengharapan.
Perkataan
Yesaya demikian menunjukkan
bahwa ia memahami perkataan dan
pengalaman Musa serta bangsa Israel
ketika mereka berhadapan dengan
kemuliaan Allah, “Engkau
tidak tahan memandang wajah-Ku,
sebab tidak ada
orang yang mamandang
Aku dapat hidup” (Kel. 33:20).
Yesaya juga berkata, “... aku dibinasakan ....”19
Kata dibinasakan dalam Perjanjian
Lama, digunakan hanya
untuk menjelaskan hal-hal
yang dihancurkan,
dihilangkan, atau dilenyapkan
(bdg. Hosea 10:7,
15).
Kata “dibinasakan” yang disebutkan Yesaya
mengibaratkan keberadaan Yesaya
seperti sebuah kota
yang dihancurkan dan
dilenyapkan, tetapi juga sebagai
gambaran tentang kehancuran yang akan
dialami oleh Yehuda dan Yerusalem (6:11-13a).
Yesaya
mengakui bahwa ia
dan bangsanya adalah
orang-orang yang najis bibir.
Awal penggunaan kata
“najis” (amej' – tame)
dalam Perjanjian Lama ditujukan
kepada korban binatang
yang tidak pantas untuk
dipersembahkan kepada TUHAN.
Kata
ini berarti ketidaklayakan untuk
diterima di hadirat
Allah karena keadaan
fisik yang sudah terkontaminasi oleh hal yang najis.
Yesaya menyadari bahwa TUHAN adalah Pribadi
yang kudus yang terpisah darinya dan
bangsanya, bukan karena
mereka melalaikan
peribadatan, tetapi karena
keberadaan Allah yang
sempurna secara moral yang
menghukum umat-Nya yang
najis.
Kemungkinan
lain Yesaya berkata demikian tentang najis bibir karena ia melihat para
seraf yang sedang menyerukan
kekudusan TUHAN, tetapi
ia tidak dapat terlibat di dalamnya. Mungkin juga karena
Yesaya adalah seorang nabi yang
bentuk pelayanannya adalah pelayanan verbal
sehingga mulutnya harus disucikan untuk pemberitaan firman TUHAN.
Yehuda
disebut sebagai bangsa
yang najis bibir.
Hal ini sesuai dengan keadaan orang-orang Yehuda. Ada
di antara mereka yang bangun pagi-pagi langsung minum mimuman keras (5:11); terdapat orang-orang yang jago
minum minuman keras
(5:22); dalam pemutusan
perkara, terdapat perkataan yang
membenarkan orang fasik
dan memungkiri orang benar
(5:23); dan setiap mulut berbicara bebal (9:16).
Penyebutan
secara bersamaan tentang
dosanya dan dosa bangsanya menunjukkan
kesadaran Yesaya bahwa
ia tidak lebih
baik dari orang-orang
sebangsanya.
Sikap ini juga
menunjukkan kerendahan hatinya untuk mengakui bahwa kekudusan TUHAN
adalah mutlak dan Yesaya tidak bertoleransi dengan kenajisan dirinya dan
bangsanya. Yesaya, Nabi yang Dikuduskan
(ay. 6-7) Setelah Yesaya mengakui kenajisan dirinya dan
bangsanya, “Maka salah satu dari para
seraf itu terbang kepadaku dan di
tangannya (terdapat) bara yang diambilnya dengan sepit dari atas
mezbah” (ay. 6 – terjemahan penulis).
Dalam Bait Suci terdapat altar pembakaran
ukupan (Kel. 30:1, 6-8; Im. 16:13) dan
mezbah korban bakaran
(Kel. 27:1-8; 38:1-7)
yang menunjukkan bahwa di Bait Suci
terdapat bara yang digunakan untuk pembakaran ukupan dan korban.
Bara dibawa
oleh salah satu dari para seraf
dengan menggunakan sepit. Tidak
ada indikasi bahwa seraf dapat membuat bara menjadi najis dan tidak ada
indikasi yang menunjukkan bahwa
seraf menjaga dirinya dari bara agar
tidak terbakar sehingga harus menggunakan sepit.26 Juga tidak
ada indikasi bahwa
bara yang dibawa
oleh seraf dapat menyebabkan kesakitan
apabila disentuhkan pada
mulut.
Informasi yang ada
adalah bahwa para
seraf adalah makhluk
surgawi yang dipercayakan TUHAN
untuk melaksanakan penyucian
dan pengampunan.
Hal
ini disebut oleh
salah satu dari
para seraf yang terbang
mendapatkan Yesaya, “Ia
menyentuhkannya kepada mulutku
serta berkata: Lihatlah, ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu
telah dihapus dan dosamu telah diampuni” (ay. 7 – LAI TB).
Bibir menjadi fokus penyucian yang dilakukan oleh Allah
melalui para seraf. Hal ini
sesuai dengan pengakuan dosa yang disampaikan oleh Yesaya setelah ia
mendengar seruan tentang kekudusan TUHAN
yang disampaikan oleh para seraf, “... aku ini seorang yang najis bibir
....”
Kata
“lihatlah” menyatakan bukti
pembenaran tentang perlakuan seraf terhadap Yesaya dan akibat yang terjadi pada dirinya, bahwa bara
yang disentuh pada mulut
Yesaya menghasilkan penghapusan kesalahan27 dan pengampunan dosa.
“Menghapuskan” berarti Tuhan mengangkat
keluar atau membuang segala
kesalahan dan membebaskan
Yesaya dari hukuman yang seharusnya dialaminya. “Diampuni”
(-kaphar) berarti TUHAN-lah yang
menebus Yesaya dari
segala dosanya. TUHAN-lah
yang menutupi segala dosanya
sehingga dosanya tidak
diperhitungkan lagi.
Dengan demikian, sentuhan
bara yang dilakukan oleh seraf
pada mulut Yesaya bukanlah api
penghukuman dan pemusnahan,
tetapi api penyucian untuk menghapuskan kesalahannya dan
menebus dari dosanya (bdg. Bil. 31:22, 23; Mal. 3:2; bandingkan pengajaran PB
dalam 1 Kor. 3:13-15).
Yesaya,
Nabi yang Diutus (ay. 8)
Dalam
pengutusan Yesaya, TUHAN tidak
memaksa Yesaya untuk menerima secara
langsung pengutusan yang
dinyatakan kepadanya. Proses
yang telah dialaminya,
yaitu perjumpaan dengan
TUHAN dan dikuduskan oleh
TUHAN, sebagai persiapan
yang dilakukan TUHAN baginya
sehingga akhirnya ia
sendiri menyatakan kesediaannya
untuk diutus oleh TUHAN dengan segala konsekuensi yang akan
dialaminya.
Penawaran
Pengutusan (ay. 8a)
Setelah
Yesaya dihapuskan kesalahannya
dan diampuni dosanya, Tuhan langsung menyatakan panggilan
kepadanya, “Siapa akan Kuutus dan siapa
akan pergi untuk
Kami?” -yelek lanu, ay.
8a – terjemahan penulis).
Penyataan diri “Kami” yang dikatakan TUHAN menunjuk kepada orang pertama
jamak. Ada yang menafsirkan bahwa “Kami”
menyatakan kejamakan diri Allah (Kej. 1:26; 3:22; 11:7).32 Ada juga yang berpendapat bahwa kejamakan diri Allah memiliki kaitan dengan
pengulangan kata kudus sebanyak
tiga kali dalam ayat 3 (bdg. Yoh. 12:41, “Yesaya ... melihat
kemuliaan Dia
[Yesus] dan berkata-kata
tentang Dia”).
Berdasarkan konteks Yesaya pasal 6,
oknum-oknum yang dihadapi oleh Yesaya adalah TUHAN yang
duduk di takhta
yang menjulang tinggi
dan para seraf yang
menyerukan kekudusan TUHAN
serta yang dipakai
TUHAN untuk menguduskan dirinya (bdg. 1 Raja 22:19). Kata “utus” (xl;v'-salakh) mengekspresikan pengesahan
ilahi dan dimampukan untuk misi
yang dipercayakan kepada
orang yang menerima
pangutusan. Jika TUHAN tidak mengutus
Yesaya, maka tidak ada kuasa yang
dimilikinya.
Dengan
demikian, otoritas pelayanan Yesaya bersumber hanya dari TUHAN
dan pengutusan yang dinyatakan kepada
Yesaya bukan hanya
suatu penawaran, tetapi
juga disertai dengan kuasa yang
memampukannya untuk melayani. Pertanyaan
yang bersifat penawaran
yang disampaikan TUHAN kepada
Yesaya, “Siapa akan Kuutus
dan siapa akan
pergi untuk Kami?” bukanlah pertanyaan yang disampaikan
secara langsung kepada Yesaya.
Pertanyaan
ini seolah-olah disampaikan
kepada banyak orang
dan kesannya adalah memberikan
kesempatan kepada siapa
saja yang menginginkan pengutusan
ini, padahal yang dihadapi oleh TUHAN dan para seraf adalah Yesaya
seorang diri. Jika pertanyaan
ditujukan secara langsung kepada Yesaya,
maka pertanyaannya bukanlah,
“Siapa akan Kuutus dan
siapa akan pergi
untuk Kami?” tetapi,
“Yesaya, bolehkah engkau Kuutus dan bolehkah engkau pergi untuk
Kami?”
Maksud
pertanyaan, “Siapa akan
Kuutus dan siapa
akan pergi untuk Kami?”
adalah cara Tuhan
untuk menguji respons,
kesungguhan, kesiapan, dan kerelaan
Yesaya terhadap pengutusan
yang dinyatakan kepadanya.
Akhirnya,
pengutusan Yesaya bukan
karena kehendaknya sendiri, tetapi
kehendak TUHAN. Namun
kehendak TUHAN harus didasarkan pada
keputusan, kesiapan, dan
kerelaan dirinya untuk memenuhi pengutusan
tersebut, karena kehadiran
Yesaya di antara orang-orang Yehuda
dalam pelayanan yang
dilaksanakannya menyatakan kehadiran TUHAN.
Respons terhadap Pengutusan (ay. 8b)
Respons Yesaya, “Maka jawabku: Sesungguhnya, utuslah aku!” (ay. 8b
– terjemahan penulis). Jawaban
yang disampaikan Yesaya
tidak
menunjukkan
tawar-menawar antara Yesaya dengan Tuhan,
dan Yesaya pun tidak meminta
penjelasan dan keterangan
lebih lanjut tentang panggilannya, tetapi ia secara spontan menyatakan kesediaannya untuk diutus oleh TUHAN.
Kata “sesungguhnya” adalah kata yang selalu
digunakan dalam kitab nabi-nabi ketika para nabi ingin menyampaikan nubuat dan
penglihatan yang mereka
alami kepada orang-orang
Israel.
Kata
ini digunakan untuk menyatakan bahwa apa yang telah mereka terima dari
TUHAN adalah benar
dan harus didengar.
Dalam
Yesaya pasal 6,
kata “sesungguhnya”
digunakan oleh Yesaya
bukan untuk pemberitaan
yang disampaikan kepada bangsa
Yehuda, tetapi menyatakan
keseriusan, kesungguhan, dan kebenaran dirinya dalam memenuhi pengutusan
yang telah dinyatakan TUHAN
kepadanya.
Dengan
perkataan lain, jawaban yang disampaikan Yesaya sebagai harga
mati baginya untuk memenuhi
pengutusan tersebut.
Perkataan
“utus aku” yang
disampaikan Yesaya kepada
TUHAN adalah perkataan yang
menyetujui pengutusan yang
ditawarkan kepadanya dan disertai
dengan keyakinan bahwa
ia menerima kuasa untuk melayani umat Yehuda.
Walaupun Yesaya diberikan tugas yang berat
dan sukar dimengerti,
bahkan sepertinya mengalami
kegagalan pemberitaan, tetapi ia siap untuk melaksanakannya.36
Umat sebagai Obyek Pengutusan:
Cakupan
Pengutusan (ay. 9-13)
Cakupan
pengutusan Yesaya tentang
umat yang dilayani mencakup tiga hal, yaitu
menghasilkan umat yang tertutup terhadap hal-hal rohani,
menghasilkan kebinasaan sebagian
besar umat, dan menghasilkan tunas yang kudus.
Ketertutupan
Umat (ay. 9-10)
Setelah
Yesaya menyatakan kesungguhan
kesiapannya untuk diutus, firman
TUHAN datang kepadanya, “Pergilah!
Engkau berkata kepada umat
ini, Dengar sungguh-sungguh, tetapi
tidak mengerti! Lihat
sungguh-sungguh, tetapi tidak mengetahui.
Buatlah hati
bangsa ini menjadi keras dan telinganya
berat mendengar dan matanya
menjadi buta, supaya tidak
melihat dengan matanya
dan tidak mendengar dengan telinganya dan tidak mengerti dengan hatinya
lalu berbalik dan sembuh!” (ay. 9-10 – terjemahan Penulis).
Yesaya
dipanggil untuk melaksanakan
tugas yang sulit dan berat bagi bangsanya. Penglihatan rohani, pendengaran rohani, dan perasaan rohani dijauhkan dari Yehuda
melalui pelayanan yang dilaksanakan oleh Yesaya. Mata Yehuda menjadi buta,
telinga mereka menjadi tuli; dan hati mereka
menjadi tertutup tanpa
kesadaran akan kebenaran.38 Yehuda yang sebenarnya disebut “umat-Ku”
tidak lagi dianggap demikian. Dalam ayat 9
dan 10, firman
bukan lagi dialamatkan
kepada umat-Ku, tetapi kepada
“umat ini” (bdg. 1:3; 2:6;
3:12, 15; 5:13, 25).
Sehingga nampaknya Allah sedang
membuat jarak dengan
umat-Nya sendiri dengan memanggilnya “umat
ini.”39 Yesaya dipanggil
untuk melayani umat
ini tanpa menghasilkan buah
karena mereka akan
mengeraskan hati terhadap pesan-pesan
yang disampaikan oleh
Yesaya.
Pada
akhirnya, kekerasan hati mereka akan membawa mereka kepada
penghakiman.40 Hati orang-orang Yehuda
sebagai pusat akal
budi tidak dapat bekerja
dengan bebas dan
benar, dan hal
itu mendatangkan kegelapan pikiran dan
kebodohan.
Telinga
mereka menjadi berat mendengar dan mengakibatkan sikap durhaka. Mata mereka
akan melekat tertutup yang menyebabkan
mereka hidup dalam
kegelapan, buta terhadap
segala pekerjaan Tuhan, dan
akhirnya, mereka akan
mengalami hukuman Tuhan.41 Ini
menunjukkan bahwa pengutusan
yang dinyatakan oleh TUHAN
kepada Yesaya bukan
pengutusan untuk menghasilkan pertobatan, tetapi pengutusan
yang menghasilkan ketertutupan Yehuda terhadap kebenaran.
Pengutusan
Yesaya juga merupakan
pengutusan peperangan terhadap Yehuda,
yang mana Yesaya
akan berhadapan dengan
orang yang tidak mendengar,
tidak menanggap, dan
tidak melihat, tetapi TUHAN
yang mengutusnya adalah
TUHAN balatentara yang
akan berperang baginya melawan
Yehuda.
Bahkan, Yesaya telah
siap untuk menanggung segala
konsekuensi yang akan dialaminya.
Menurut tradisi,
akhir
hidup Yesaya adalah
diikat pada sebuah
pohon dan digergaji bersama pohon itu pada masa Manasye
memerintah sebagai raja Yehuda.
Kebinasaan
Umat (ay. 11-13a)
Yesaya bertanya kepada TUHAN,
“Sampai berapa lama ya TUHAN?”
(ay. 11a – LAI TB). Pertanyaan
ini bukanlah sebuah tangisan/ratapan dan bukan
pula tentang isi
berita yang akan
disampaikan Yesaya, tetapi mengacu pada waktu yang ditentukan
oleh TUHAN bagi Yehuda untuk tetap
berkeras hati.
Ini
menunjukkan bahwa Yesaya
menyadari perkataan TUHAN yang
disampaikan kepadanya tentang
keadaan orang-orang yang akan
dihadapinya dan ia
siap melaksanakan
pelayanannya sesuai dengan
kondisi yang telah
dinyatakan TUHAN kepadanya.
Pertanyaan Yesaya dijawab
oleh TUHAN dalam
ayat 11b-13a, “Sampai kota-kota
telah lengang sunyi sepi,
tidak ada lagi
yang mendiami, dan di rumah-rumah tidak
ada lagi manusia dan
tanah menjadi sunyi
dan sepi.
TUHAN akan menyingkirkan jauh-jauh, sehingga hampir seluruh negeri menjadi kosong. Dan jika di
situ masih tinggal sepersepuluh dari mereka, mereka harus sekali lagi
ditimpa kebinasaan ...” (LAI TB).
Pengutusan Yesaya adalah menyatakan hukuman atas
tanah serta tempat tinggal dan atas
orang-orang Yehuda yang tidak mau
bertobat dan terus menerus
mengeraskan hatinya.
Tidak
ada kemungkinan lain bagi bangsa
yang demikian, selain
kehancuran, kematian, dan pembuangan.
Dalam ayat 11b-12 menunjukkan bahwa
penghancuran akan terjadi secara
total. Jika masih ada
sepersepuluh yang selamat dari
kematian atau penawanan, maka sisanya akan dihakimi sekali lagi (bdg.
Yes. 9:11b, 16b).
TUHAN
sedang berbicara tentang
penghukuman yang akan dialami
oleh Yehuda berkaitan dengan kekuasaan politik yang
dimiliki oleh Asyur
(10:27-34) dan Babel (39:5-7) atas
Yehuda. Hukuman yang akan
dialami Yehuda bersifat menyeluruh, yaitu kepada orang-orang dan kota yang
didiaminya, sehingga kotanya menjadi kosong.
Menghasilkan
Tunas yang Kudus
TUHAN berkata, “... namun keadaannya akan seperti beringin atau pohon jawi-jawi yang
tunggulnya tinggal berdiri pada waktu
ditebang. Dan dari
tunggul itulah akan keluar tunas yang kudus” (ay. 13b – LAI TB).
42
Yesaya
tidak dipanggil untuk
menghasilkan sedikit orang
jahat, tetapi menghasilkan sedikit
orang suci.
Mereka
yang tersisa adalah seperti tunggul pohon beringin atau
pohon jawi-jawi yang telah ditebang dan
akan tumbuh tunas
baru.45 Kata “kudus”
digunakan untuk menggambarkan sisa-sisa
Yehuda dalam 6:13,
memiliki kata yang
sama dengan “kudus, kudus,
kudus TUHAN balatentara” dalam
6:3.
Ini
berarti bahwa TUHAN menginginkan
Yesaya melayani Yehuda
untuk menghasilkan umat yang sesuai dengan jati diri-Nya, yaitu
kudus.
Dalam konteks kitab Yesaya, tunas yang kudus adalah tunas yang
ditumbuhkan TUHAN, yaitu
orang-orang yang tertinggal
di Sion dan yang
tersisa di Yerusalem
(4:2).
Mereka
adalah orang-orang yang disisakan oleh TUHAN dari penghukuman
(1:9). Mereka adalah sisa-sisa Israel
yang terluput, yang tetap setia, yang
bersandar kepada TUHAN, Yang
Mahakudus (10:20; Roma 9:29). Mereka adalah sisa-sisa Israel yang akan kembali
dan yang bertobat di hadapan Allah yang
perkasa (10:20).
Mereka adalah orang-orang yang ditebus oleh
Tuhan (11:11-16). Hal ini
menunjukkan bahwa berita
yang disampaikan Yesaya memiliki makna
penghukuman, tetapi sikap
TUHAN adalah menyatakan keselamatan
bagi benih yang
tersisa, yang disebut benih yang
suci.
Benih
ini dihasilkan melalui
proses penyaringan, yaitu penghukuman. Pengutusan
Yesaya diakhiri dengan
keselamatan yang disiapkan bagi
mereka yang tersisa dari penghancuran dan pembuangan.
Respons
untuk dipulihkan tidak
datang secara umum
dari bangsa Yehuda, tetapi dari
individu-individu tertentu. Firman Tuhan dalam
ayat 11-13 memiliki
kesejajaran dengan sifat TUHAN
yang dinyatakan dalam ayat 3.
TUHAN adalah TUHAN yang kudus
yang terpisah dari
manusia yang berdosa,
tetapi Ia juga menyatakan kemuliaan-Nya
di seluruh bumi.
TUHAN menghukum umat-Nya karena
kekerasan hati dan
kebutaan rohani mereka,
tetapi TUHAN menyelamatkan yang
tersisa dari penghancuran
dan pembuangan. Merekalah orang-orang
yang dipertahankan TUHAN untuk mengalami keselamatan dan hidup
dari-Nya (bdg. 10:20-27a).
Dengan demikian, pengutusan Yesaya mengacu kepada kebenaran dan keadilan
serta penghukuman dan
pengharapan.
Ini sebagai gambaran isi kitab Yesaya
secara keseluruhan bahwa
TUHAN
menyatakan
keadilan-Nya. Karena dosanya,
Yehuda mengalami penghukuman (2:6-22;
3:13-15; 5:1-7; 7:1-9,
18-19, 20, 23-25;
8:5-8, 11-22; 10:5-9, 27b-34),
tetapi oleh anugerah
TUHAN, Yehuda diberikan pengharapan keselamatan (7:10-17, 21-22; 8:9-10; 9:1-5; 29:18;
35:5; pasal 40:1-5;
42:18-21; 44:28; 45;1;
45:13-66), yaitu menghasilkan
tunas yang kudus (6:13).
KAJIAN
TEOLOGIS-PRAKTIS
Berdasarkan
pemahaman terhadap kajian
teologis-biblis tentang
Tuhan, nabi Yesaya,
dan umat yang
dilayani, maka dibangunlah implikasi teologis-praktis, yang
dalam tulisan ini
difokuskan kepada keberadaan hamba
Tuhan sebagai pribadi yang
diutus oleh Tuhan untuk menghasilkan umat yang
kudus.
Memahami Prioritas tentang Pengutusan
Pengutusan yang dialami
oleh Yesaya dimulai
dengan perjumpaannya dengan Tuhan,
dikuduskan oleh TUHAN,
dan siap untuk diutus
serta siap menerima
segala resiko pelayanan
yang akan dialaminya. Inilah
proses yang dijalani oleh Yesaya dalam pengutusannya sebagai nabi.
Orang
yang dipanggil untuk
melayani adalah orang
yang seharusnya telah mengalami
perjumpaan dengan Tuhan.
Dalam perjumpaannya dengan Tuhan,
ia menyadari akan
kenajisan diri dan mengakuinya di hadapan Tuhan.
Tindakan Tuhan adalah menguduskan dan mengutusnya
ke ladang pelayanan.
Inilah caranya Tuhan mempersiapkan hamba-Nya sebelum ia diutus.
Urutan
ini tidak boleh
dibolak-balik. Bukan diutus
baru setelah itu
mengalami perjumpaan dengan Tuhan;
atau bukan diutus
baru setelah itu
dikuduskan oleh Tuhan, tetapi ,
tetapi dilawat, dikuduskan, dan diutus oleh Tuhan.
Berbangga
Hidup sebagai Hamba Tuhan
Dalam Perjanjian Lama, Allah dapat melakukan
apa saja bagi umat manusia untuk mendatangkan
pertobatan dan keselamatan
pada diri mereka, tetapi
Ia juga memilih para
nabi dan mengutus mereka
untuk melaksanakan program penyelamatan-Nya bagi manusia. Pemilihan
nabi
merupakan gambaran
keberadaan hamba Tuhan
sebagai orang yang diutus
Allah, yang mana,
sebagai seorang utusan
Allah, hamba Tuhan adalah unik dan memiliki nilai serta potensi sehingga Allah memilihnya dan Allah tidak pernah memilih
orang yang salah.
Sebagai
utusan Allah, hamba
Tuhan adalah wakil
Allah yang dilengkapi dengan
kuasa dan wibawa
ilahi serta menjadi
orang kepercayaan Allah.
Namun
dalam pelayanan yang
dilaksanakannya, ia adalah seorang
yang mengabdikan dirinya
dengan setia kepada
Raja semesta alam (bdg. Yes. 6:3, 8b).
Sebutan-sebutan tersebut
menunjukkan tanggung jawab
besar yang harus ditanggungnya, namun
pada sisi lain,
sebutan-sebutan tersebut
adalah predikat ilahi
yang dikenakan Allah
pada dirinya.
Untuk
itu, setiap hamba
Tuhan harus bangga
dalam keberadaannya sebagai utusan,
wakil, dan abdi
Allah, bukan merasa
terhina dengan sebutan-sebutan
tersebut.
Memiliki
Penyembahan yang Benar
Penglihatan
yang dialami oleh
Yesaya tentang pertemuannya dengan TUHAN
menunjukkan bahwa, bagi
seorang hamba Tuhan, penyembahan bukan hanya sekadar beribadah, tetapi berada di hadirat Tuhan
dan mengalami kehadiran-Nya.
Penyembahan
seorang hamba Tuhan terjadi
bukan bergantung pada
sebuah bentuk dan
seni dalam beribadah yang
dilakukannya, tetapi karena
imannya dan kedekatan hatinya dengan
Tuhan.
Kedekatannya
dengan Tuhan, bukan
diukur dari pelayanan-pelayanan yang
dilaksanakannya, tetapi karena kesetiaannya dalam bersekutu dengan Tuhan secara pribadi (bdg. Luk. 10:38-42). TUHAN menyatakan
diri kepada Yesaya
dalam Bait Suci-Nya harus menjadi
perhatian hamba Tuhan
dalam semua tata ibadah
yang dilaksanakannya, bahwa di
balik dari segala
bentuk ibadah yang nampak
secara lahiriah, ia
berhadapan dengan Allah
yang kudus dan mulia.
Allah-lah
yang harus menjadi
subyek penyembahan, karena kehidupan, kekudusan,
keselamatan, kemuliaan, dan
kekuasaan hanya ada dan bermula
dari Allah (Wah. 11:17; 19:1); dan
Allah harus menjadi fokus dalam
penyembahan karena segala
puji, hormat, dan
kemuliaan hanya diberikan kepada Allah (Wah. 5:13), bukan pada
orang-orang yang terlibat di dalamnya dan bukan
pula pada tata ibadah yang
digunakan dalam penyembahan (bdg. Wah. 4:23-24).
Setelah
Yesaya melihat Tuhan, ia mengakui kenajisan dirinya.
Ini berarti penyembahan yang benar dari
seorang hamba Tuhan tidak hanya menuntunnya bertemu
dengan Tuhan dalam
hadirat-Nya, tetapi juga menyadarkannya akan segala dosa dan
mengakuinya di hadapan Tuhan.
Sikap
ini menunjukkan kerendahan
hatinya untuk mengharapkan anugerah Allah
yang melayakkannya dalam
pelayanan dan melengkapinya
dengan otoritas dalam pelayanan.
Memprioritaskan
Kekudusan Diri
Tuhan adalah
TUHAN balatentara yang
kudus. Pada satu sisi, Ia berperang untuk
membela hamba-Nya dan
mengokohkannya dalam
pelayanan untuk menghadapi
berbagai tantangan.
Pada
sisi lain, Ia berperang
melawan hamba-Nya ketika
hamba-Nya tidak lagi memprioritaskan kekudusan dalam
hidupnya. Ini berarti bahwa seorang hamba
Tuhan yang tidak
memprioritaskan kekudusan adalah
hamba Tuhan yang sedang menghancurkan pelayanannya sendiri karena musuh
yang dihadapi adalah Tuhan yang telah mengutusnya (bdg. Hakim 2:10-12, 13-15;
Wahyu 2:16).
Keberadaan
Tuhan yang kudus seharusnya menyadarkan hamba-Nya bahwa ia dipanggil oleh Tuhan bukan
hanya untuk melayani, tetapi juga menjaga kekudusan hidupnya.
Sikap ini hanya akan muncul apabila ia selalu menyadari
kekudusan Tuhan yang
tiada taranya di
dalam hidupnya dan keberadaan Tuhan yang murka terhadap dosa.
Kesadaran ini jugalah
yang membuat ia mengakui
segala dosanya serta memohon pengudusan dan
pengampunan dari Tuhan
agar ia dilayakkan
untuk melayani dalam
pelayanan yang dipercayakan
kepadanya.
Jika ia
tidak bersikap demikian, maka
ia berada dalam
proses menghancurkan
pelayanannya sendiri karena
ia berhadapan langsung
dengan TUHAN balatentara yang
kudus, bukan sebagai
Pembelanya tetapi sebagai lawannya.
Untuk
itu, kekudusan diri
harus menjadi prioritas
hamba Tuhan untuk menjaga reputasi dirinya dan stabilitas
pelayanannya.
Meyakini
Jaminan Penyertaan
Pengutusan
yang ditegaskan dalam
kalimat, “Siapakah yang
akan Kuutus, dan siapakah
yang mau pergi
untuk Aku?” (6:8a),
mengekspresikan pengesahan ilahi yang disertai dengan pemberian kuasa
untuk misi yang dipercayakan kepada nabi.48
Ini berarti bahwa
ketika seorang hamba Tuhan
diutus oleh Allah,
Allah telah mengakuinya,
memeteraikannya, dan menyertainya.
Pengesahan ilahi dan otoritas yang dimiliki
seorang hamba Tuhan adalah bersumber
dari Tuhan yang adalah Tuan di atas segala tuan, Tuan yang memiliki segala yang di bumi dan di
surga, Raja yang agung yang
berkuasa atas seluruh bumi, TUHAN balatentara yang membelanya, dan
kemuliaan-Nya memenuhi seluruh
bumi. Inilah yang
menjadi jaminan baginya untuk
melayani dengan setia,
hidup secara konsisten
pada panggilan pelayanan yang
diterimanya, setia dalam
melaksanakan tanggung jawab yang
dipercayakan kepadanya, dan
siap untuk menerima segala bentuk
konsekuensi yang dialami dalam pelayanannya.
Mengandalkan Kuasa Tuhan
Yesaya
hanya merasa siap
untuk diutus oleh
Tuhan karena ia meyakini
bahwa pengutusan yang
diterimanya disertai dengan pemberian kuasa
yang memampukannya untuk
melayani. Penyertaan kuasa yang
dialami oleh Yesaya
menjaminnya untuk tetap
bertahan dalam pelayanan, walaupun hanya menghasilkan tunas yang kudus.
Bagi
seorang hamba Tuhan,
ia harus mengalami
lawatan kuasa Allah yang memampukannya untuk
melayani secara maksimal,
efisien, dan efektif. Apabila hamba
Tuhan melayani tanpa mengalami kuasa dari Allah, maka
ia akan mengalami
kekeringan rohani; pelayanan
yang dilaksanakannya menjadi
beban yang berat baginya; dan
ia tidak tahan menghadapi tantangan
dalam pelayanan. Ini
bukan karena ia
tidak mampu secara akademik dan intelektual, tetapi karena ia melayani
tanpa kuasa dari Allah.
Kuasa
pelayanan seorang hamba
Tuhan bukan karena
ia pandai berbicara tentang
firman Tuhan dan
mengeksposisinya dengan baik sehingga
orang yang mendengar
terkagum-kagum. Walaupun itu penting dan harus dilakukan oleh seorang
hamba Tuhan, namun dalam
pelayanan, itu saja tidak cukup.
Hal yang terpenting bagi dirinya adalah ia
harus diurapi oleh Allah, sehingga dalam penyampaiannya, orang yang mendengarnya bersukacita,
merasa diberkati, dan
melakukannya di dalam
hidupnya. Jika seorang
hamba Tuhan menyampaikan
firman tanpa kuasa, maka
firman yang disampaikannya hanyalah
sebuah berita biasa tanpa memiliki pengaruh
di dalam kehidupan
orang yang mendengarnya.
Khotbah
yang disampaikan hanyalah
sebuah pelajaran Alkitab
tanpa mengubah hidup orang
yang mendengarnya, karena
ia tidak memiliki urapan dan
kuasa dari Allah
dalam pemberitaan firman
yang dilaksanakannya.
Untuk itu,
hamba Tuhan tidak hanya sibuk untuk melaksanakan semua program
pelayanan yang menjadi tanggung jawabnya,
tetapi juga mengutamakan
pengasingan waktu untuk bertemu dengan Allah secara pribadi. Pengasingan
waktu untuk bersekutu dengan
Allah secara pribadi adalah momen
penting untuk dilawat dan dilengkapi oleh Allah dengan kuasa-Nya.
Mengabdi
Secara Tulus
Allah yang bertakhta di takhta yang tinggi
menjulang dan seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya, memberikan
pemahaman kepada hamba Tuhan bahwa ia tidak dapat menambah
keagungan dan kemuliaan Allah melalui
pelayanannya, karena Tuhan
adalah mulia dan
agung adanya.
Hamba
Tuhan pun tidak
dapat mentakhtakan Allah
melalui segala sesuatu dalam
pelayanan yang dilakukannya,
karena Allah adalah bertakhta adanya.
Ia hanya dapat
memuji dan memuliakan
Allah di dalam segala aspek
kehidupannya karena ia dilayakkan oleh Allah untuk melayani, mensyukuri
segala yang dilakukan Allah di
dalam hidupnya, dan dipakai
untuk melaksanakan tanggung
jawab yang dipercayakan kepadanya.
Dalam
keberadaannya sebagai seorang
utusan Tuhan, kemuliaan seorang hamba
Tuhan bukan bersumber
pada kebesaran namanya, kemampuan manajerialnya, besarnya
jumlah jemaat yang
dipimpinnya, kemampuannya
berorasi, banyaknya gelar
yang dimilikinya, banyaknya
pelayanan yang dilaksanakan,
dan besarnya penghasilan
yang dimilikinya. Jika orientasi
pelayanan seorang hamba
Tuhan terfokus pada hal-hal
tersebut, maka ia
sendiri sedang merancang
dan menjerumuskan diri dalam
kejatuhannya. Kemuliaan seorang
hamba Tuhan bersumber pada Tuhan
berdasarkan pengabdiannya
yang tulus. Pengabdiannya yang tulus adalah kebesarannya
(bdg. Mark. 10:43-46).
Menerima
Kehendak Allah dalam Pelayanan
Pelayanan
yang dilaksanakan oleh Yesaya
adalah pelayanan yang tidak memberikan hasil yang menyenangkan, bahkan
bentuk dan hasil
pelayanannya pun telah
ditentukan oleh Allah
sesuai dengan isi panggilan yang dinyatakan kepadanya
(6:11-13). Hasil dari pelayanannya
adalah lebih banyak
orang yang mati dari pada
yang bertobat, bahkan menurut tradisi, ia sendiri
diikat di pohon dan digergaji bersama pohon pada masa Manasye
memerintah sebagai raja atas Yehuda.
Ini
menunjukkan bahwa kehendak
Tuhan bagi seorang
hamba Tuhan dalam pelayanan
yang dilaksanakannya tidak
selamanya memberikan hasil yang
menyenangkan baginya. Namun
hamba Tuhan yang pelayanannya
berpusat pada Tuhan
akan menerimanya dengan sukacita sebagai
kehendak Allah dalam
pelayanannya, karena ia
tahu bahwa pelayanan yang
dilaksanakannya dan apa
yang dihasilkan dari pelayanannya adalah
kedaulatan Allah dalam
panggilan yang telah diterimanya.
Banyak hamba Tuhan yang melayani bukan
karena apa yang Allah inginkan untuk mereka laksanakan dan hasilkan, tetapi
karena apa yang mereka ingin laksanakan
dan hasilkan. Apabila
yang mereka inginkan tidak terlaksana dengan baik, maka
mereka kecewa terhadap Allah,
diri sendiri, orang-orang yang
mereka layani, dan
program-program yang mereka
laksanakan. Ini pula yang menyebabkan
banyak di antara hamba Tuhan yang
meninggalkan pelayanan yang
sedang mereka laksanakan.
Pelayanan seperti ini adalah
pelayanan yang berpusat pada
diri sendiri, orang-orang yang dilayani,
program yang dilaksanakan, dan bukan pada Allah. Pengalaman Yesaya adalah ia
telah mendengar panggilan Allah dan melaksanakannya sesuai dengan yang Allah
katakan, sehingga walaupun yang
dihasilkan adalah sekelompok
kecil tunas yang
suci dan penderitaan yang
dialaminya, tetapi ia meyakini bahwa itulah kehendak Allah baginya.
Memprioritaskan
Penginjilan
Respons orang Yehuda terhadap pelayanan
Yesaya adalah sebagian besar dibinasakan dan menghasilkan hanya sekelompok
kecil tunas yang kudus. Ini menunjukkan
bahwa Allah murka
terhadap dosa, tetapi
Ia tetap menyatakan anugerah-Nya
untuk mempertahankan Yehuda
yang telah ditetapkan
sebagai umat-Nya. Ini menjadi gambaran pelaksanaan penginjilan pada masa kini, bahwa
pemberitaan Injil dapat menghasilkan dua kelompok orang yang
berbeda, yaitu yang menolak dan
menerima.
Dan mungkin lebih banyak yang menolak dan
menentang daripada yang menerima. Namun
ini bukan berarti kegagalan dalam
pemberitaan Injil dan Injil tidak diberitakan lagi.
Tanggung
jawab seorang hamba
Tuhan adalah hanyalah menyatakan Injil.
Hasilnya adalah pekerjaan
Roh Allah di
dalam hati orang-orang yang
mendengar Injil. Hamba Tuhan bukanlah
Tuhan yang menentukan siapa yang menerima
dan siapa yang menolak, serta siapa yang diselamatkan dan siapa
yang tidak diselamatkan.
Yesaya berbicara bukan untuk
menobatkan orang yang
mendengar, tetapi hati
mereka menjadi keras, telinga menjadi tuli, dan mata menjadi buta
terhadap hal-hal rohani (6:9-10).
Ini menunjukkan bahwa
penginjilan bukan hanya masalah
menyampaikan kabar baik,
tetapi menjadi suatu
peperangan rohani untuk mengalahkan dosa yang
membutakan mata rohani
orang percaya dan yang
belum percaya.
Hamba
Tuhan juga akan
menjalani peperangan rohani dalam
berbagai hal di medan pelayanannya, baik itu orang-orang yang
dilayaninya, maupun kuasa-kuasa
yang terlibat di dalamnya
(bdg. Ef. 6:12), tetapi
Allah yang menyertai
dia adalah Allah yang berada di
medan pertempuran yang
akan berperang baginya
dan mengokohkan pelayanan yang dilaksanakannya.
Memberitakan
Pertobatan
Allah
menyatakan malapetaka kepada
orang-orang Yehuda yang mengeraskan hatinya tetapi Ia
juga menyatakan anugerah kepada yang tersisa,
yang disebut tunas
yang kudus. Hal
ini mengacu kepada
dua implikasi.
Pertama, tidak bertoleransi terhadap dosa
yang dilakukan oleh orang-orang yang berada di luar Kristus dan hukuman yang
akan mereka alami harus menjadi salah satu pendorong bagi para hamba Tuhan
untuk menyaksikan Kristus dan keselamatan
di dalam-Nya.
Kedua, pertobatan adalah cara untuk
menikmati anugerah Allah. Untuk
itu, berita tentang
pertobatan harus menjadi
salah satu penekanan penting
dalam penginjilan, karena pertobatan adalah respons awal orang berdosa
terhadap kasih Allah di dalam
Yesus Kristus (bdg. Luk. 15:18,
20)50 dan sebagai tindakan iman yang benar untuk mendapat keselamatan kekal
dari Allah.
Berita
tentang pertobatan menjadi penting karena pertobatan adalah wujud berbaliknya seseorang kepada Allah yang menyebabkan ia
membenci dosa, dan dengan pertobatannya menunjukkan bahwa ia
menghargai pengorbanan Kristus
di kayu
salib untuk hidup memuliakan
Allah.
Dengan
demikian, penginjilan tidak hanya
terfokus pada proklamasi
anugerah, tetapi juga
penekanan tentang pertobatan sebagai
wujud perpalingan seseorang
dari hidup lamanya untuk
hidup dalam hidup
yang baru dalam
Kristus Yesus.
Dengan
cara demikian, maka
umat yang dihasilkan
dan yang dilayani adalah umat yang kudus. Dengan
demikian, pemberitaan tentang dosa dan konsekuensinya seharusnya bukanlah
hal yang tabu
dan menakutkan, tetapi
menjadi bagian penting dari
pemberitaan supaya umat
yang dilayaninya hidup sesuai
dengan keberadaan Allahnya yang kudus.
Ini dimaksudkan agar jemaat tidak hanya
melakukan bentuk-bentuk keagamaan
secara lahiriah, tetapi lebih
dari itu, yaitu
adanya kenyataan rohani
yang terpancar dalam kehidupan
sehari-hari.
Jemaat
yang dilayani tidak hanya
hidup dengan kemunafikan
rohani melalui bentuk-bentuk peribadatan secara
lahiriah, tetapi secara
konsisten melakukan firman Allah kapan pun dan di mana pun mereka
berada.
PENUTUP
Bercermin
kepada panggilan nabi,
mungkin ada di
antara para hamba Tuhan
yang dipanggil oleh
Allah dengan memiliki
karakter pelayanan seperti yang
dimiliki oleh Yesaya.
Dalam
pelayanan yang ia
laksanakan, mungkin bukan
umat semakin bertumbuh
secara rohani, tetapi semakin
buta terhadap hal-hal
rohani.
Mungkin
jemaat tidak bertambah secara
kuantitas, tetapi semakin
berkurang. Mungkin tidak disenangi dan
ditolak oleh umat
yang dilayani karena
pemberitaan tentang kekudusan.
Mungkin
dipanggil dengan mengalami
berbagai pengalaman sulit. Hal
ini membuat ia
merasa bahwa pelayanannya semakin berat.
Hal yang harus
dipercaya adalah ia
dipanggil dengan jaminan penyertaan.
Pembelanya
adalah TUHAN balatentara.
Penjaminnya adalah Raja
yang bertakhta. Penyedianya
adalah Tuhan yang memiliki
segalanya. Ia ada
bersamanya untuk menguatkan, mengokohkan, dan
menegarkannya dalam menghadapi
segala perkara dalam pelayanan
sehingga ia dapat menanggungnya.
Keberhasilan pelayanan dalam konteks
pengutusan Yesaya bukan dilihat
dari berapa banyak jumlah umat yang dihasilkan dan bukan pula pada besarnya
penghasilan yang diterima,
tetapi menghasilkan umat yang kudus. Untuk itu, yang terpenting untuk diperlihara
adalah hidup dalam kekudusan dan
melayani untuk menghasilkan umat yang kudus, sehingga walaupun
sedikit jumlah umat
yang dilayani, tetapi
mereka adalah umat yang berkenan kepada
Allah.
Di
situlah segala kepenuhan Allah
dinyatakan secara lengkap dalam hidup saudara. Mungkin sebaliknya,
seorang hamba Tuhan
memiliki jumlah anggota jemaat
yang besar, gedung
gereja yang besar,
jemaat yang memiliki strata
sosial dan tingkat
ekonomi yang tinggi,
dan jemaat dengan keuangan dalam
jumlah yang besar, tetapi apakah mereka hidup dalam kekudusan?
Jika
jemaat yang dilayani
tidak hidup dalam kekudusan, itu
berarti bahwa ada
kesalahan yang terjadi
dalam penyembahan, pengajaran, dan pelayanan.
Mungkin hamba Tuhan belum mengenal Allah
secara benar atau
mungkin hamba Tuhan
tidak membawa jemaat untuk mengenal Tuhan secara benar.
Kenyataan
yang terjadi akhir-akhir
ini adalah terjadi
pergeseran nilai dalam dunia
pelayanan Kristen, yang
umumnya berorientasi pada manusia.
- Banyak umat
datang ke gereja bukan karena ingin bersekutu dengan Tuhan secara
berjemaat, tetapi mencari
siapa hamba Tuhan
yang akan melayaninya. Inilah yang menyebabkan umat lebih mengenal hamba Tuhan dari pada mengenal Tuhan yang menyelamatkan dan memberkatinya.
Banyak umat yang mencari gereja yang mengutamakan entertainment, tidak ingin
bersekutu dengan Tuhan
yang kudus, sehingga kekudusan tidak lagi menjadi
prioritas, tetapi ibadah
menjadi ajang pemenuhan emosi.
- Banyak hamba
Tuhan lebih banyak mengenal pelayanannya, daripada mengenal Tuhannya,
lebih banyak melayani
pelayanannya daripada
melayani Tuhannya, sehingga
segala orientasinya terfokus
pada pelayanannya, tetapi
mengabaikan relasinya dengan
Tuhan melalui persekutuan secara
pribadi dengan Tuhan.
- Banyak hamba
Tuhan lebih banyak mengandalkan performa pribadi, tetapi tidak memprioritaskan
kekudusan. Kehidupannya dibungkus dengan
penampilan dan pelayanannya, tetapi
hatinya penuh dengan kenajisan.
Sebenarnya, Allah yang menyatakan
diri kepada hamba-Nya dan umat-Nya adalah
Allah yang maha
kudus. Sebagai Allah
yang kudus, maka segala sifat dan
apa pun yang dimiliki-Nya adalah kudus, termasuk hamba-Nya dan umat-Nya.
Untuk itu,
bersekutu dengan Tuhan yang kudus
adalah prioritas utama dalam penyembahan, kekudusan
harus menjadi prioritas diri, dan menghasilkan umat yang kudus harus
menjadi prioritas dalam pelayanan.
Sumber : Tulisan dari Peniel C.D. Maiaweng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar