Sabtu, 09 Januari 2021

Diutus Untuk Menghasilkan Umat Yang Kudus (Eksposisi Yesaya 6:1-13).

 


DIUTUS UNTUK MENGHASILKAN UMAT YANG KUDUS:  

EKSPOSISI YESAYA 6:1-13

 

   Pengutusan  Yesaya  sebagai  nabi  dimulai  dengan  perjumpaannya  dengan Tuhan.  Dalam  perjumpaannya  dengan  Tuhan,  Yesaya  mengakui  kenajisan  dirinya, dan  ia  pun  dikuduskan  oleh  TUHAN  melalui  pelayanan  para  serafim.    Setelah dikuduskan, ia siap menerima pengutusan yang dinyatakan kepadanya.

   Pengutusan  nabi  Yesaya  bukan  untuk  menghasilkan  pertobatan  seluruh bangsa, tetapi  menghasilkan umat yang mengeraskan hati dan tertutup terhadap hal-hal  rohani, kemerosotan  rohaninya semakin  meningkat, dan  bahkan  sebagian  besar umat  Yehuda  dibinasakan. 

  

   Ia  yang  diutus  oleh  TUHAN  balatentara  yang  kudus, tetapi dalam pelayanannya, ia tidak disenangi oleh umat dan para pemimpin Yehuda. Ini  menunjukkan  bahwa  pengutusan  Yesaya  bukan  untuk  menghasilkan  banyak petobat baru, tetapi sekelompok kecil orang kudus.

   Bercermin kepada  panggilan nabi Yesaya, mungkin  ada di antara para hamba Tuhan  yang  dipanggil oleh  Allah  dengan  memiliki  karakter  pelayanan seperti  yang dimiliki oleh  Yesaya.   

   Hal  yang harus dipercaya  adalah ia  dipanggil dengan jaminan penyertaan.  Pembelanya  adalah  TUHAN  balatentara. 

   Penjaminnya  adalah  Raja yang bertakhta.  Penyedianya adalah Tuhan yang memiliki segalanya.  Keberhasilan pelayanan dalam konteks pengutusan Yesaya bukan dilihat dari berapa  banyak  jumlah  umat  yang  dihasilkan  dan  bukan  pula  pada  besarnya penghasilan  yang diterima,  tetapi menghasilkan  umat yang  kudus.  

   Untuk  itu, yang terpenting  untuk  diperlihara  adalah  hidup  dalam  kekudusan  dan  melayani  untuk menghasilkan  umat  yang  kudus,  sehingga  walaupun  sedikit  jumlah  umat  yang dilayani,  tetapi  mereka  adalah  umat  yang  berkenan  kepada  Allah.  Allah  yang menyatakan diri kepada hamba-Nya dan umat-Nya adalah Allah  yang maha kudus.

   Sebagai Allah  yang kudus, maka  segala sifat  dan apa  pun yang dimiliki-Nya adalah kudus,  termasuk  hamba-Nya  dan  umat-Nya.  Bersekutu  dengan  Tuhan  yang  kudus adalah prioritas utama dalam penyembahan, kekudusan harus menjadi prioritas diri, dan menghasilkan umat yang kudus harus menjadi prioritas dalam pelayanan.    

 

PENDAHULUAN

    Bercermin  pada  pengutusan  nabi  adalah  penting  untuk  disimak sebagai  pembelajaran  pengutusan  dalam  konteks  pelayanan  gereja  saat ini.  Salah satu nabi yang pengutusannya dianggap unik adalah Yesaya.  

- Yesaya  adalah  nabi  yang  mengalami  perjumpaan  secara  pribadi dengan Tuhan, tetapi ia tidak diutus untuk  membawa seluruh umat Yehuda bertemu dengan Tuhan.  

- Yesaya  adalah  nabi  yang  dikuduskan  oleh  Tuhan  untuk melaksanakan  pelayanan  yang  dipercayakan  kepadanya,  tetapi  ia tidak  diutus  untuk  membawa  seluruh  umat  Yehuda  untuk  hidup dalam kekudusan.  

- Yesaya  adalah  nabi  yang  diutus  untuk  melaksanakan  pelayanan rohani, tetapi  umat yang  mendengarnya mengeraskan hati  terhadap hal-hal rohani.  

- Yesaya adalah  nabi yang  diutus kepada  umat yang  hatinya tertutup terhadap hal-hal  rohani dan  hasil pengutusannya  adalah menambah kemorosotan rohani umat Yehuda.  

- Yesaya  adalah  nabi yang  diutus kepada  bangsa yang  memberontak, sedangkan hasilnya  pelayanannya bukanlah  pertobatan umat  secara keseluruhan,  melainkan  sebagian  besar  dari  umat  Yehuda dibinasakan.  

- Yesaya nabi yang diutus oleh TUHAN balatentara yang kudus, tetapi dalam  pelayanannya,  ia  tidak  disenangi  oleh  umat  dan  para pemimpin Yehuda.   

- Yesaya  tidak  dipanggil  untuk  menghasilkan  banyak  petobat  baru, tetapi sedikit orang kudus. Ini  adalah  panggilan  yang  aneh,  tetapi  Yesaya  siap  menjalani cakupan pengutusan yang diterimanya  karena ia tahu  bahwa semuanya bersumber   dari TUHAN dan  hasil pelayanannya  pun telah  ditentukan oleh  Tuhan,  yaitu  sekelompok  kecil  umat  yang  disebut  tunas  yang kudus.

 

   Untuk  itu,  dalam  tulisan  ini  akan  dikaji  secara  biblika  tentang “Diutus  untuk  Menghasilkan  Umat  yang  Kudus”  berdasarkan pengutusan nabi Yesaya yang terdapat dalam Yesaya 6:1-13. 

   Pembahasan eksposisi ini tidak berupaya untuk memecahkan kasus-kasus teks dalam ayat  ini,  tetapi  terfokus  pada  tema  yang  ada  untuk  mengangkat kebenaran  yang  terkandung  di  dalamnya,  yaitu  kajian  teologis-biblis tentang Tuhan sebagai Pengutus, Yesaya sebagai nabi yang diutus, umat yang  menjadi  obyek  pengutusan,  dan  diakhiri  dengan  kajian  teologis-praktis sebagai masukan bagi hamba Tuhan dalam melaksanakan segala tanggung jawab pelayanan yang dipercayakan kepadanya.

 

KAJIAN TEOLOGIS-BIBLIS  

   Kajian Teologis-Biblis tentang Tuhan (ay. 1-4)  

  

   Dengan  memahami  teks  dan  konteks  Yesaya  6:1-13,  maka dirumuskan  kajian  teologis-biblis  tentang  Tuhan  dengan  fokus pembahasan:  Tuhan  adalah  Raja  yang  melayani  umat-Nya  dan  Tuhan adalah TUHAN balatentara yang kudus. 

  

   Tuhan adalah Raja yang Melayani Umat-Nya (ay. 1)

   Yesaya  berkata, “Dalam  tahun  matinya  raja Uzia,  aku  melihat Tuhan  ...” (ay. 1  – LAI TB).  Penglihatan yang  dialami oleh  Yesaya dimulai dengan penyataan dua hal yang berbeda, yaitu matinya raja Uzia dan Tuhan yang menyatakan diri kepada Yesaya. 

   Raja Uzia memerintah atas Yehuda kurang lebih lima puluh dua tahun lamanya.  Awal  kepemimpinannya,  ia  melakukan  yang  benar  di  mata TUHAN (2 Raja 15:3) dan  TUHAN membuatnya berhasil (2 Taw. 26:4-5).  Yehuda  mengalami  keberhasilan  ekonomi  (2  Taw.  26:6-15). 

   Namun setelah ia merasa bahwa kekuasaannya telah kokoh, ia menjadi sombong. Ia  membakar  ukupan  di  atas  mezbah  pembakaran  ukupan  yang seharusnya  dilakukan  oleh  para  imam  (2  Taw.  26:16-18).  Akhirnya, TUHAN menulahi kusta pada tubuhnya (2 Taw. 26:19-20). Ia dikucilkan dari  rumah  TUHAN  dan  tinggal  di  rumah  pengasingan  hingga kematiannya (2 Taw. 26:21).  

   Pada masa inilah Tuhan (Adonay) menyatakan diri kepada Yesaya sebagai  Tuan  atas  segala  tuan  dan  Tuan  yang  memiliki  kekuasaan tertinggi di  bumi dan di surga.

   Ia  juga yang memiliki Yehuda  dan raja-rajanya.  

   Sehingga ketika Yehuda  berada dalam  kemerosotan moral  dan rohani (1:4,  21-23; 3:9;  5:6, 11-12, 18-19,  20, 21,  22-23; 6:3),  serta berduka karena  kematian  raja  Uzia,  Tuhan  menyatakan  diri  bahwa  Ia  hidup, tetap eksis, tetap setia kepada umat-Nya, bahkan Ia sendiri yang datang menghampiri umat-Nya melalui penyataan diri-Nya kepada Yesaya.

   Yesaya  melihat Tuhan  sedang “…duduk  di  atas  takhta  yang  tinggi  dan yang diagungkan” (ay. 1 - terjemahan penulis).

  

   Duduk  di  atas  takhta  menyatakan  sifat  atau  keadaan  diri  Tuhan bahwa Ia  adalah Raja yang  bertakhta.  Takhta-Nya adalah  tempat yang pantas  bagi-Nya  serta  bagian  dari  diri-Nya  yang  menyatakan  kodrat-Nya.  Penyebutan Tuhan adalah Raja sesuai dengan perkataan Yesaya, “... namun  mataku  telah  melihat  sang  Raja,  yakni  TUHAN  balatentara”3  (ay.  5  – terjemahan penulis).

 

   Takhta yang dilihat  oleh Yesaya  adalah takhta “yang tinggi  dan yang diagungkan.”

   Kedua kata  tersebut bukan  menyatakan ukuran, tetapi  sifat, yang  mana, kebesaran  dan  keagungan takhta  Tuhan  bukanlah  sesuatu yang ditambahkan atau dapat menjadi bertambah dan berkurang, tetapi memang demikian adanya.

   Dengan  demikian,  kebesaran  dan  keagungan  Tuhan  tidak  hanya terdapat  pada  diri-Nya,  tetapi  juga  pada  apa  yang  menjadi  bagian  dari diri-Nya,  yaitu  takhta-Nya.  Penyataan  diri  Tuhan  demikian                                                             membedakan-Nya  dari  semua  raja  Yehuda  (seperti  Uzia,  Yotam,  Ahaz, Hizkia), dan raja-raja bangsa-bangsa lain, bahwa tidak seorang pun raja yang  bertakhta  selamanya  dan memiliki  takhta  yang  agung  dan  mulia, selain Tuhan sendiri.

   Tuhan duduk  di takhta  yang tinggi dan  diagungkan, “    dan ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci” (ay. 1 – LAI TB).  

   Dalam Perjanjian Lama, hanya para imam yang mengenakan jubah untuk  melayani  di  Kemah  Suci  (Kel.  28:33-34).   

   Penglihatan  tentang Tuhan yang berada  di Bait Suci  dengan mengenakan jubah  seperti yang biasanya  hanya  dipakai  oleh  para  imam menunjukkan  bahwa Bait-Nya adalah tempat Ia berdiam dan Ia bertindak sebagai Imam bagi umat-Nya. Tuhan  menyatakan  diri  sebagai  Imam  yang  mendamaikan  umat-Nya dengan  diri-Nya  sendiri  (bdg.  Ibr.  10:19-21,  gambaran  Yesus  sebagai Imam Besar).

   Dalam konteks kitab Yesaya, raja Uzia telah mati dan tidak lagi  memimpin  orang-orang Yehuda,  bahkan para  pemimpin dan  imam tidak  melaksanakan  tanggung  jawab  mereka  secara  benar  (1:10-14,  23; 3:12-15),  tetapi  Tuhan  menyatakan  diri  dalam  bait-Nya  sebagai  Imam Besar  yang  siap  melayani  umat-Nya  serta  yang  akan  menguduskan Yesaya dan mengutusnya sebagai nabi. 

  

   Tuhan adalah TUHAN Balatentara yang Kudus (ay. 2-4)   

 

   Penyataan diri  Tuhan kepada  Yesaya menunjukkan  bahwa Tuhan sebenarnya  terpisah  dari  manusia  karena  kekudusan-Nya,  tetapi  Ia beranugerah  untuk  menyatakan  kekudusan-Nya  kepada  manusia. 

   Hal ini dibuktikan dengan seruan yang disampaikan para seraf (ay. 2), “Dan seorang  berseru  kepada  yang  lain  serta  berkata:  Kudus,  kudus,  kudus  TUHAN balatentara, seluruh  bumi penuh kemuliaan-Nya” (ay. 3 – terjemahan penulis).

   Isi  seruan  para  seraf  adalah  tentang  kekudusan,  kepahlawanan, kemuliaan TUHAN. 

   Seruan  para  seraf  tentang  kekudusan  Tuhan  yang  disebut sebanyak tiga kali  secara berturut-turut menyatakan bahwa kekudusan adalah keunggulan dan  kekuatan TUHAN yang  tiada bandingnya (bdg. Yer. 7:4;  22:29; Yeh.  21:32).

   Para  penafsir yang  lain berpendapat  bahwa tiga  kali  penyebutan

   tentang  kekudusan  TUHAN  menyatakan keberadaan  Allah  Tritunggal.  Jika  dilihat  dari  konteks  Yohanes  12:41,                                                    rasul  Yohanes  menyebutkan  bahwa  Yesaya  telah  melihat  kemuliaan Yesus dan telah berkata-kata tentang Dia.  

   Kekudusan  TUHAN  adalah benar-benar  hakikat diri-Nya  bahwa Dia  adalah  Yang  Kudus  di  surga  dan  di  bumi  (bdg.  40:25).

   Hal  ini diperkuat  dengan  penggunaan nama,  TUHAN  (YHWH), yang disebut oleh para seraf,  yaitu nama  yang kudus dan tidak boleh  disebut sembarangan  oleh  manusia  (bdg.  Kel.  20:7).  Dengan  demikian, pernyataan  tentang  kekudusan  TUHAN  yang  disampaikan  oleh  para seraf adalah  deklarasi yang  menyatakan betapa  kudusnya TUHAN  dan kekudusan-Nya  tidak  dimiliki  oleh  siapa  pun  selain  pada  diri-Nya sendiri. 

   Manusia  hanya  dapat  mengalaminya  apabila  TUHAN menyatakannya kepada manusia.  Tuhan  yang  kekudusan-Nya  dinyatakan  oleh  para  seraf  adalah TUHAN  balatentara (-YHWH [Adonay]  tsevaot,  ay. 3  dan 5).  TUHAN  yang  adalah  “tsevaot”  (tentara  atau  balatentara  dalam peperangan, tuan rumah, pelayan),  yang menunjukkan bahwa TUHAN adalah Tuan  di atas  segala tuan  yang memiliki  dan melayani  umat-Nya dengan  segala  yang  dimiliki-Nya. 

   Dalam  menghadapi  musuh  dan tantangan  yang  dialami  umat-Nya,  TUHAN-lah  yang  berperang  bagi umat-Nya  karena  Ia  adalah  TUHAN  segala  tentara  dan  tidak  ada angkatan  perang  apa  pun  yang  dapat  bertahan  melawan-Nya.    Dalam konteks  kitab  Yesaya  mengacu  kepada  tiga  hal:  pertama,  TUHAN berperang melawan umat-Nya karena dosa  dan kejahatan mereka  (1:24, 28;  3:24);  kedua,  TUHAN  berperang  melawan  musuh  umat-Nya  (9:3; 10:5;  13:3;  14:24-25,  29-31;  15:1-9;  17:1-3);  dan  ketiga, TUHAN  berpihak kepada  Yesaya  sebagai  nabi  yang  akan  berperang  melawan  Yehuda untuk menghasilkan tunas yang kudus (6:13). Dalam seruan para seraf tentang kekudusan TUHAN, mereka juga berkata, “... seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya” (LAI-TB).                                                          

 

    Seruan  para  seraf,  pada  satu  sisi,  menyatakan  TUHAN  terpisah dari  manusia  karena  kekudusan-Nya  dan Ia  berperang  melawan  umat-Nya karena  dosa-dosanya; pada  sisi lain, TUHAN  membuka diri  untuk menyatakan  kemuliaan-Nya, bukan  hanya di  Bait Suci  dan bukan  pula hanya bagi orang-orang Yehuda, tetapi seluruh bumi (bdg. Kel. 33:17-23; Yeh. 1:28; bdg. Bil. 14:21; Yes. 11:9; Hab. 2:14).  

   Ada  penafsir  yang  berpendapat  bahwa  sebelum  peristiwa  ini, Yesaya hanya melihat  kemuliaan dan keagungan pemerintahan  kerajaan Uzia,  tetapi  setelah  Yesaya  mengalami  penglihatan  ini,  Yesaya  sadar bahwa  kemuliaan  dunia  adalah  kemuliaan  yang  fana.

   Dalam  konteks kitab  Yesaya, kekuasaan  Uzia  yang menjadi  kebanggaan  Yehuda tidak sebanding dengan kemuliaan dan keagungan yang dimiliki oleh TUHAN, karena  kemuliaan-Nya,  bukan  hanya  dinyatakan  di  Yehuda  dan Yerusalem, tetapi memenuhi seluruh bumi.

   Kemuliaan  TUHAN  menyatakan  manifestasi  diri-Nya  kepada manusia  di  seluruh  bumi.  Kemuliaan  TUHAN  adalah  kuasa  yang dinamis  yang nantinya  akan  membaharui  bumi sehingga  seluruh  bumi penuh  kemuliaan-Nya. 

   Kemuliaan  adalah  milik  TUHAN  yang  hakiki dan hanya ada pada diri-Nya, tetapi kemuliaan yang hanya ada pada diri-Nya dinyatakan secara terbuka di seluruh bumi agar manusia di seluruh bumi dapat mengenal-Nya. Akibat  dari  seruan  yang  disampaikan  para  seraf,  “Maka  bergoyang ambang pintu karena suara yang  berseru dan rumah itu dipenuhi asap” (LAI TB). 

   Ambang pintu Bait Suci yang bergoyang menunjukkan bahwa kemuliaan TUHAN dimanifestasikan dalam bentuk fisik, dan rumah yang dipenuhi dengan  asap  menunjukkan  kehadiran-Nya  dalam  Bait-Nya  yang  suci (bdg.  Kel.  13:21;  14:19; 40:34;  I  Raja  8:10;  Yes.  4:5).15  Ini  berarti  bahwa kemuliaan TUHAN bukanlah sesuatu yang semu, tetapi nyata dan dapat dirasakan  oleh  umat-Nya  sebagai  lawatan-Nya  terhadap  umat-Nya  di seluruh bumi.                                                            

  

Kajian Teologis-Biblis tentang Nabi (ay. 5-8)

   Pengutusan  Yesaya  dimulai  dengan  pengakuannya  tentang kenajisan dirinya dan bangsanya, setelah itu, ia dikuduskan dan ditebus oleh  Tuhan melalui  pelayanan para  seraf,  dan akhirnya  ia  menyatakan diri siap diutus untuk menghasilkan umat yang kudus. 

 

   Yesaya, Nabi Yang Mengakui Kenajisannya (ay. 5)

   “Lalu aku berkata: Celaka aku, aku dibinasakan, sebab aku orang (yang) najis bibir dan hidup di tengah-tengah  bangsa (yang) najis bibir, bahwa  aku telah melihat Raja, TUHAN balatentara” (ay. 5 – terjemahan penulis).

   Akibat dari penglihatan  yang dialami oleh  Yesaya, ia sadar  bahwa ia  berada  dalam  keadaan  nyaris  mati,  celaka,  dan  takut  karena  ia berhadapan  dengan  TUHAN  balatentara  yang  kudus.  Yesaya  sadar bahwa  ketakutan  yang  dialaminya  disebabkan  oleh  ketidak sempurnaannya secara moral di hadapan Allah sehingga ia pun mengakui dosanya  dan  dosa  bangsanya  bahwa  mereka  adalah  orang-orang  yang najis bibir. 

   Walaupun  Yesaya  dan  bangsanya  dapat  memenuhi  segala peraturan  seremonial  untuk  beribadah  dalam  Bait  Allah  di Yerusalem, tetapi mereka masih belum pantas untuk berhadapan dengan Allah yang kudus.

   Karena  itulah,  Yesaya  merasa  tidak  layak  dan  mengalami ketakutan  karena  ia  berhadapan  dengan  TUHAN  balatentara  yang berperang melawan dosa. Kata “celaka”  yang disebutkan Yesaya  adalah salah  satu kata  yang sering  digunakan  oleh  Yesaya  untuk  menegur  Yehuda  yang  berada  di ambang kehancuran (1:4;  3:11; 5:8,  11, 18,  20,  21, 22;  6:5; 10:1;  24:16; 28:1; 29:1, 15; 30:1;  31:1; 33:1;  45:9, 10).

   “Celaka” yang  disebutkan Yesaya  bukan dinyatakan  kepada  orang  lain,  tetapi  kepada  dirinya  sendiri.  Yesaya sadar  bahwa  ajalnya  telah  tiba  karena  ia  telah  melihat  TUHAN balatentara.  Yesaya tidak  membela  diri dan  memohon  kemurahan dari Allah,  tetapi  ia  merasa  bahwa  ia  berada  dalam  keadaan  tanpa pengharapan.

   Perkataan  Yesaya  demikian  menunjukkan  bahwa  ia memahami  perkataan dan  pengalaman Musa  serta bangsa  Israel  ketika mereka  berhadapan  dengan  kemuliaan  Allah,  “Engkau  tidak  tahan memandang  wajah-Ku,  sebab  tidak  ada  orang  yang  mamandang  Aku dapat hidup” (Kel. 33:20).                                                              

 

   Yesaya juga berkata, “...  aku dibinasakan  ....”19  Kata dibinasakan dalam Perjanjian  Lama,  digunakan  hanya  untuk  menjelaskan  hal-hal  yang dihancurkan,  dihilangkan,  atau  dilenyapkan  (bdg.  Hosea  10:7,  15). 

   Kata “dibinasakan” yang disebutkan Yesaya mengibaratkan  keberadaan Yesaya seperti  sebuah  kota  yang  dihancurkan  dan  dilenyapkan,  tetapi  juga sebagai  gambaran tentang  kehancuran  yang akan  dialami  oleh  Yehuda dan Yerusalem (6:11-13a).

    Yesaya  mengakui  bahwa  ia  dan  bangsanya  adalah  orang-orang yang  najis  bibir.  Awal  penggunaan  kata  “najis”  (amej' –  tame)  dalam Perjanjian  Lama  ditujukan  kepada  korban  binatang  yang  tidak  pantas untuk  dipersembahkan  kepada  TUHAN.

   Kata  ini  berarti ketidaklayakan  untuk  diterima  di  hadirat  Allah  karena  keadaan  fisik yang sudah terkontaminasi oleh hal yang najis.

   Yesaya menyadari bahwa TUHAN adalah Pribadi yang kudus yang terpisah  darinya  dan  bangsanya,  bukan  karena  mereka  melalaikan peribadatan,  tetapi  karena  keberadaan  Allah  yang  sempurna  secara moral  yang  menghukum  umat-Nya  yang  najis.

   Kemungkinan  lain Yesaya berkata demikian tentang najis bibir karena ia melihat para seraf yang  sedang  menyerukan  kekudusan  TUHAN,  tetapi  ia  tidak  dapat terlibat di  dalamnya. Mungkin  juga karena  Yesaya  adalah seorang  nabi yang  bentuk  pelayanannya  adalah pelayanan  verbal  sehingga mulutnya harus disucikan untuk pemberitaan firman TUHAN.

   Yehuda  disebut  sebagai  bangsa  yang  najis  bibir.    Hal  ini  sesuai dengan keadaan orang-orang Yehuda. Ada di antara mereka yang bangun pagi-pagi langsung minum mimuman  keras (5:11); terdapat  orang-orang                                                             yang  jago  minum  minuman  keras  (5:22);  dalam  pemutusan  perkara, terdapat  perkataan  yang  membenarkan  orang  fasik  dan  memungkiri orang benar (5:23); dan setiap mulut berbicara bebal (9:16).

   Penyebutan  secara  bersamaan  tentang  dosanya  dan  dosa bangsanya  menunjukkan  kesadaran  Yesaya  bahwa  ia  tidak  lebih  baik dari orang-orang  sebangsanya.

   Sikap  ini juga  menunjukkan kerendahan hatinya untuk mengakui bahwa kekudusan TUHAN adalah mutlak dan Yesaya tidak bertoleransi dengan kenajisan dirinya dan bangsanya.  Yesaya, Nabi yang Dikuduskan (ay. 6-7) Setelah  Yesaya  mengakui kenajisan  dirinya dan  bangsanya, “Maka salah  satu  dari para  seraf  itu  terbang kepadaku  dan  di tangannya  (terdapat)  bara yang diambilnya dengan sepit dari atas mezbah” (ay. 6 – terjemahan penulis).

   Dalam Bait Suci terdapat altar pembakaran ukupan (Kel. 30:1, 6-8; Im.  16:13)  dan  mezbah  korban  bakaran  (Kel.  27:1-8;  38:1-7)  yang menunjukkan  bahwa di  Bait Suci  terdapat  bara  yang digunakan  untuk pembakaran ukupan dan korban.

   Bara dibawa  oleh salah  satu dari  para seraf  dengan menggunakan sepit.  Tidak ada indikasi bahwa seraf dapat membuat bara menjadi najis dan tidak ada indikasi  yang menunjukkan bahwa seraf  menjaga dirinya dari bara agar tidak terbakar sehingga harus menggunakan sepit.26  Juga tidak  ada  indikasi  bahwa  bara  yang  dibawa  oleh  seraf  dapat menyebabkan  kesakitan  apabila  disentuhkan  pada  mulut.   

   Informasi yang  ada  adalah  bahwa  para  seraf  adalah  makhluk  surgawi  yang dipercayakan  TUHAN  untuk  melaksanakan  penyucian  dan pengampunan. 

   Hal  ini  disebut  oleh  salah  satu  dari  para  seraf  yang terbang  mendapatkan  Yesaya,  “Ia  menyentuhkannya  kepada  mulutku  serta berkata: Lihatlah, ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni” (ay. 7 – LAI TB).

   Bibir menjadi  fokus penyucian  yang dilakukan  oleh Allah  melalui para seraf.  Hal ini sesuai dengan pengakuan dosa yang disampaikan oleh Yesaya  setelah ia  mendengar  seruan  tentang kekudusan  TUHAN  yang disampaikan oleh para seraf, “... aku ini seorang yang najis bibir ....”

   Kata  “lihatlah”  menyatakan  bukti  pembenaran  tentang  perlakuan seraf terhadap Yesaya  dan akibat yang  terjadi pada dirinya,  bahwa bara                                                        yang disentuh pada mulut Yesaya menghasilkan penghapusan kesalahan27 dan pengampunan dosa.

    “Menghapuskan” berarti Tuhan mengangkat keluar  atau membuang  segala  kesalahan  dan  membebaskan  Yesaya  dari  hukuman yang seharusnya dialaminya. “Diampuni” (-kaphar) berarti TUHAN-lah yang  menebus  Yesaya  dari  segala  dosanya.  TUHAN-lah  yang  menutupi segala  dosanya  sehingga  dosanya  tidak  diperhitungkan  lagi.

   Dengan demikian,  sentuhan  bara  yang  dilakukan oleh  seraf  pada  mulut  Yesaya bukanlah  api  penghukuman  dan  pemusnahan,  tetapi  api  penyucian untuk menghapuskan kesalahannya dan menebus dari dosanya (bdg. Bil. 31:22, 23; Mal. 3:2; bandingkan pengajaran PB dalam 1 Kor. 3:13-15). 

 

   

   Yesaya, Nabi yang Diutus (ay. 8)

Dalam pengutusan Yesaya,  TUHAN tidak memaksa  Yesaya untuk menerima  secara  langsung  pengutusan  yang  dinyatakan  kepadanya.  Proses  yang  telah  dialaminya,  yaitu  perjumpaan  dengan  TUHAN  dan dikuduskan  oleh  TUHAN,  sebagai  persiapan  yang  dilakukan  TUHAN baginya  sehingga  akhirnya  ia  sendiri  menyatakan  kesediaannya  untuk diutus oleh TUHAN dengan segala konsekuensi yang akan dialaminya. 

   Penawaran Pengutusan (ay. 8a)

   Setelah  Yesaya  dihapuskan  kesalahannya  dan  diampuni  dosanya, Tuhan langsung menyatakan panggilan kepadanya, “Siapa akan Kuutus dan siapa  akan  pergi  untuk  Kami?” -yelek  lanu,  ay.  8a    terjemahan penulis).

   Penyataan diri  “Kami” yang dikatakan  TUHAN menunjuk kepada orang pertama jamak.  Ada yang menafsirkan bahwa “Kami” menyatakan kejamakan diri Allah (Kej. 1:26; 3:22; 11:7).32  Ada juga yang berpendapat bahwa  kejamakan diri  Allah memiliki  kaitan dengan  pengulangan  kata kudus sebanyak tiga kali dalam ayat 3 (bdg. Yoh. 12:41, “Yesaya ... melihat                                                              kemuliaan  Dia  [Yesus]  dan  berkata-kata  tentang  Dia”).   

  

   Berdasarkan konteks Yesaya pasal 6, oknum-oknum yang dihadapi oleh Yesaya adalah TUHAN  yang  duduk  di  takhta  yang  menjulang  tinggi  dan  para  seraf yang  menyerukan  kekudusan  TUHAN  serta  yang  dipakai  TUHAN untuk menguduskan dirinya (bdg. 1 Raja 22:19). Kata  “utus” (xl;v'-salakh)    mengekspresikan  pengesahan  ilahi dan dimampukan  untuk  misi  yang  dipercayakan  kepada  orang  yang menerima pangutusan.  Jika TUHAN tidak mengutus Yesaya, maka tidak ada  kuasa  yang  dimilikinya.

   Dengan  demikian,  otoritas  pelayanan Yesaya bersumber hanya dari TUHAN dan pengutusan yang dinyatakan kepada  Yesaya  bukan  hanya  suatu  penawaran,  tetapi  juga  disertai dengan kuasa yang memampukannya untuk melayani. Pertanyaan  yang  bersifat  penawaran  yang  disampaikan  TUHAN kepada  Yesaya,  “Siapa  akan  Kuutus  dan  siapa  akan  pergi  untuk  Kami?” bukanlah pertanyaan yang disampaikan secara langsung kepada  Yesaya. 

   Pertanyaan  ini  seolah-olah  disampaikan  kepada  banyak  orang  dan kesannya  adalah  memberikan  kesempatan  kepada  siapa  saja  yang menginginkan pengutusan ini, padahal yang dihadapi oleh TUHAN dan para seraf  adalah Yesaya  seorang diri.  Jika pertanyaan ditujukan secara langsung  kepada  Yesaya,  maka  pertanyaannya  bukanlah,  “Siapa  akan Kuutus  dan  siapa  akan  pergi  untuk  Kami?”    tetapi,  “Yesaya,  bolehkah  engkau Kuutus dan bolehkah engkau pergi untuk Kami?”  

   Maksud  pertanyaan,  “Siapa  akan  Kuutus  dan  siapa  akan  pergi  untuk Kami?”  adalah  cara  Tuhan  untuk  menguji  respons,  kesungguhan, kesiapan,  dan  kerelaan  Yesaya  terhadap  pengutusan  yang  dinyatakan kepadanya. 

   Akhirnya,  pengutusan  Yesaya  bukan  karena  kehendaknya sendiri,  tetapi  kehendak  TUHAN.  Namun  kehendak  TUHAN  harus didasarkan  pada  keputusan,  kesiapan,  dan  kerelaan  dirinya  untuk memenuhi  pengutusan  tersebut,  karena  kehadiran  Yesaya  di  antara orang-orang  Yehuda  dalam  pelayanan  yang  dilaksanakannya menyatakan kehadiran TUHAN. 

Respons terhadap Pengutusan (ay. 8b)

   Respons Yesaya,  “Maka jawabku:  Sesungguhnya, utuslah  aku!” (ay. 8b  – terjemahan  penulis).  Jawaban  yang  disampaikan  Yesaya  tidak                                                            menunjukkan tawar-menawar antara Yesaya dengan Tuhan,  dan Yesaya pun  tidak  meminta  penjelasan  dan  keterangan  lebih  lanjut  tentang panggilannya, tetapi ia  secara spontan menyatakan  kesediaannya untuk diutus oleh TUHAN.

   Kata “sesungguhnya” adalah kata yang selalu digunakan dalam kitab nabi-nabi ketika para nabi ingin menyampaikan nubuat dan penglihatan  yang  mereka  alami  kepada  orang-orang  Israel. 

   Kata  ini digunakan untuk menyatakan bahwa apa yang telah mereka terima dari TUHAN  adalah  benar  dan  harus  didengar.

   Dalam  Yesaya  pasal  6,  kata “sesungguhnya”  digunakan  oleh  Yesaya  bukan  untuk  pemberitaan  yang disampaikan  kepada  bangsa  Yehuda,  tetapi  menyatakan  keseriusan, kesungguhan, dan kebenaran dirinya dalam memenuhi pengutusan yang telah  dinyatakan  TUHAN  kepadanya. 

   Dengan  perkataan  lain,  jawaban yang disampaikan  Yesaya sebagai  harga  mati baginya  untuk memenuhi pengutusan tersebut.

   Perkataan  “utus  aku”  yang  disampaikan  Yesaya  kepada  TUHAN adalah  perkataan  yang  menyetujui  pengutusan  yang  ditawarkan kepadanya  dan  disertai  dengan  keyakinan  bahwa  ia  menerima  kuasa untuk melayani  umat Yehuda.  

   Walaupun Yesaya  diberikan tugas  yang berat  dan  sukar  dimengerti,  bahkan  sepertinya  mengalami  kegagalan pemberitaan, tetapi ia siap untuk melaksanakannya.36 

 

  

 

   Umat sebagai Obyek Pengutusan:

Cakupan Pengutusan (ay. 9-13)

   Cakupan  pengutusan  Yesaya  tentang  umat  yang  dilayani mencakup tiga hal, yaitu menghasilkan umat yang tertutup terhadap hal-hal  rohani,  menghasilkan  kebinasaan  sebagian  besar  umat,  dan menghasilkan tunas yang kudus. 

 

   Ketertutupan Umat (ay. 9-10)

   Setelah  Yesaya  menyatakan  kesungguhan  kesiapannya  untuk diutus, firman TUHAN datang kepadanya, “Pergilah!  Engkau berkata kepada umat  ini,  Dengar sungguh-sungguh,  tetapi  tidak  mengerti!   Lihat  sungguh-sungguh, tetapi tidak mengetahui. 

   Buatlah hati  bangsa ini menjadi keras dan telinganya  berat mendengar  dan  matanya  menjadi  buta,  supaya tidak  melihat  dengan  matanya  dan tidak mendengar dengan telinganya dan tidak mengerti dengan hatinya lalu berbalik dan sembuh!” (ay. 9-10 – terjemahan Penulis).

 

   Yesaya  dipanggil untuk  melaksanakan tugas  yang sulit  dan berat bagi bangsanya.   Penglihatan rohani,  pendengaran rohani,  dan perasaan rohani dijauhkan dari Yehuda melalui pelayanan yang dilaksanakan oleh Yesaya. Mata Yehuda menjadi buta, telinga mereka menjadi tuli; dan hati mereka  menjadi  tertutup  tanpa  kesadaran  akan  kebenaran.38    Yehuda yang sebenarnya disebut “umat-Ku” tidak lagi dianggap demikian.  Dalam ayat  9  dan  10,  firman  bukan  lagi  dialamatkan  kepada  umat-Ku,  tetapi kepada  “umat ini”  (bdg. 1:3;  2:6;  3:12,  15;  5:13, 25).   

   Sehingga nampaknya Allah  sedang  membuat  jarak  dengan  umat-Nya  sendiri  dengan memanggilnya  “umat  ini.”39  Yesaya  dipanggil  untuk  melayani  umat  ini tanpa  menghasilkan  buah  karena  mereka  akan  mengeraskan  hati terhadap  pesan-pesan  yang  disampaikan  oleh  Yesaya. 

   Pada  akhirnya, kekerasan hati mereka akan membawa mereka kepada penghakiman.40 Hati  orang-orang  Yehuda  sebagai  pusat  akal  budi  tidak  dapat bekerja  dengan  bebas  dan  benar,  dan  hal  itu  mendatangkan  kegelapan pikiran  dan  kebodohan.

   Telinga  mereka  menjadi  berat mendengar  dan mengakibatkan sikap durhaka. Mata mereka akan melekat tertutup yang menyebabkan  mereka  hidup  dalam  kegelapan,  buta  terhadap  segala pekerjaan  Tuhan,  dan  akhirnya,  mereka  akan  mengalami  hukuman Tuhan.41  Ini  menunjukkan  bahwa  pengutusan  yang  dinyatakan  oleh TUHAN  kepada  Yesaya  bukan  pengutusan  untuk  menghasilkan pertobatan, tetapi pengutusan yang menghasilkan ketertutupan Yehuda terhadap kebenaran. 

   Pengutusan  Yesaya  juga  merupakan  pengutusan  peperangan terhadap  Yehuda,  yang  mana  Yesaya  akan  berhadapan  dengan  orang yang  tidak  mendengar,  tidak  menanggap,  dan  tidak  melihat,  tetapi TUHAN  yang  mengutusnya  adalah  TUHAN  balatentara  yang  akan berperang  baginya  melawan  Yehuda.   

   Bahkan, Yesaya  telah  siap  untuk menanggung segala konsekuensi yang akan dialaminya. 

   Menurut tradisi,                                                                                                                                                   akhir  hidup  Yesaya  adalah  diikat  pada  sebuah  pohon  dan  digergaji bersama pohon itu pada masa Manasye memerintah sebagai raja Yehuda. 

 

   Kebinasaan Umat (ay. 11-13a)

   Yesaya bertanya  kepada TUHAN,  “Sampai berapa  lama ya  TUHAN?”  (ay. 11a – LAI TB).  Pertanyaan ini bukanlah sebuah tangisan/ratapan dan bukan  pula  tentang  isi  berita  yang  akan  disampaikan  Yesaya,  tetapi mengacu pada waktu yang ditentukan oleh TUHAN bagi Yehuda untuk tetap  berkeras  hati.

   Ini  menunjukkan  bahwa  Yesaya  menyadari perkataan  TUHAN  yang  disampaikan  kepadanya  tentang  keadaan orang-orang  yang  akan  dihadapinya  dan  ia  siap  melaksanakan pelayanannya  sesuai  dengan  kondisi  yang  telah  dinyatakan  TUHAN kepadanya. Pertanyaan  Yesaya  dijawab  oleh  TUHAN  dalam  ayat  11b-13a, “Sampai  kota-kota  telah  lengang  sunyi sepi,  tidak  ada  lagi  yang  mendiami, dan  di rumah-rumah  tidak  ada  lagi  manusia dan  tanah  menjadi  sunyi  dan  sepi.

   TUHAN akan menyingkirkan  jauh-jauh, sehingga  hampir seluruh negeri menjadi kosong.  Dan jika di  situ masih tinggal sepersepuluh dari mereka, mereka harus sekali lagi ditimpa kebinasaan ...” (LAI TB).  

   Pengutusan Yesaya  adalah menyatakan  hukuman atas  tanah serta tempat  tinggal dan  atas  orang-orang Yehuda  yang  tidak mau  bertobat dan terus  menerus mengeraskan hatinya.  

   Tidak  ada kemungkinan  lain bagi  bangsa  yang  demikian,  selain  kehancuran,  kematian,  dan pembuangan.

   Dalam ayat 11b-12 menunjukkan bahwa penghancuran akan terjadi secara  total.    Jika masih  ada  sepersepuluh  yang selamat  dari  kematian atau penawanan, maka sisanya akan dihakimi sekali lagi (bdg. Yes. 9:11b, 16b). 

   TUHAN  sedang  berbicara  tentang  penghukuman  yang  akan dialami  oleh  Yehuda berkaitan  dengan kekuasaan  politik yang  dimiliki oleh  Asyur (10:27-34)  dan Babel  (39:5-7) atas  Yehuda.   Hukuman yang akan dialami Yehuda bersifat menyeluruh, yaitu kepada orang-orang dan kota yang didiaminya, sehingga kotanya menjadi kosong. 

 

   Menghasilkan Tunas yang Kudus

   TUHAN berkata, “...  namun keadaannya akan  seperti beringin  atau pohon jawi-jawi  yang  tunggulnya tinggal  berdiri  pada waktu  ditebang.   Dan  dari  tunggul itulah akan keluar tunas yang kudus” (ay. 13b – LAI TB).                                                             42

   Yesaya  tidak  dipanggil  untuk  menghasilkan  sedikit  orang  jahat, tetapi  menghasilkan  sedikit  orang  suci.

   Mereka  yang  tersisa  adalah seperti tunggul pohon beringin atau pohon jawi-jawi yang telah ditebang dan  akan  tumbuh  tunas  baru.45  Kata  “kudus”  digunakan  untuk menggambarkan  sisa-sisa  Yehuda  dalam  6:13,  memiliki  kata  yang  sama dengan  “kudus,  kudus,  kudus TUHAN  balatentara”  dalam  6:3.   

   Ini  berarti bahwa  TUHAN  menginginkan  Yesaya  melayani  Yehuda  untuk menghasilkan umat yang sesuai dengan jati diri-Nya, yaitu kudus.  

   Dalam konteks kitab Yesaya,  tunas yang kudus adalah tunas yang ditumbuhkan  TUHAN,  yaitu  orang-orang  yang  tertinggal  di  Sion  dan yang  tersisa  di  Yerusalem  (4:2). 

   Mereka  adalah  orang-orang  yang disisakan oleh TUHAN dari penghukuman (1:9). Mereka adalah sisa-sisa Israel  yang terluput,  yang tetap  setia, yang  bersandar kepada  TUHAN, Yang Mahakudus (10:20; Roma 9:29). Mereka adalah sisa-sisa Israel yang akan kembali dan yang bertobat di hadapan  Allah yang perkasa (10:20). 

   Mereka adalah orang-orang yang ditebus oleh Tuhan (11:11-16).   Hal  ini  menunjukkan  bahwa  berita  yang  disampaikan  Yesaya memiliki  makna  penghukuman,  tetapi  sikap  TUHAN  adalah menyatakan  keselamatan  bagi  benih  yang  tersisa,  yang  disebut  benih yang  suci. 

   Benih  ini  dihasilkan  melalui  proses  penyaringan,  yaitu penghukuman.    Pengutusan  Yesaya  diakhiri  dengan  keselamatan  yang disiapkan bagi mereka yang tersisa dari penghancuran dan pembuangan. 

   Respons  untuk  dipulihkan  tidak  datang  secara  umum  dari  bangsa Yehuda, tetapi dari individu-individu tertentu.   Firman  Tuhan dalam  ayat  11-13  memiliki  kesejajaran dengan  sifat TUHAN yang dinyatakan dalam  ayat 3.  

   TUHAN adalah TUHAN  yang kudus  yang  terpisah  dari  manusia  yang  berdosa,  tetapi  Ia  juga menyatakan  kemuliaan-Nya  di  seluruh  bumi.  TUHAN  menghukum umat-Nya  karena  kekerasan  hati  dan  kebutaan  rohani  mereka,  tetapi TUHAN  menyelamatkan  yang  tersisa  dari  penghancuran  dan pembuangan.  Merekalah  orang-orang  yang  dipertahankan  TUHAN untuk mengalami keselamatan dan hidup dari-Nya (bdg. 10:20-27a).  

   Dengan demikian, pengutusan Yesaya  mengacu kepada kebenaran dan  keadilan  serta  penghukuman  dan  pengharapan. 

Ini  sebagai gambaran  isi  kitab  Yesaya  secara  keseluruhan  bahwa  TUHAN                                                       menyatakan  keadilan-Nya.  Karena  dosanya,  Yehuda  mengalami penghukuman  (2:6-22;  3:13-15;  5:1-7;  7:1-9,  18-19,  20,  23-25;  8:5-8,  11-22; 10:5-9,  27b-34),    tetapi  oleh  anugerah  TUHAN,  Yehuda  diberikan pengharapan keselamatan  (7:10-17, 21-22; 8:9-10;  9:1-5; 29:18;  35:5; pasal 40:1-5;  42:18-21;  44:28;  45;1;  45:13-66),  yaitu  menghasilkan  tunas  yang kudus (6:13).   

   KAJIAN TEOLOGIS-PRAKTIS  

   Berdasarkan  pemahaman  terhadap  kajian  teologis-biblis  tentang Tuhan,  nabi  Yesaya,  dan  umat  yang  dilayani,  maka  dibangunlah implikasi  teologis-praktis,  yang  dalam  tulisan  ini  difokuskan  kepada keberadaan  hamba  Tuhan sebagai  pribadi  yang  diutus  oleh  Tuhan untuk menghasilkan umat yang kudus.   

   Memahami Prioritas tentang Pengutusan Pengutusan  yang  dialami  oleh  Yesaya  dimulai  dengan perjumpaannya  dengan  Tuhan,  dikuduskan  oleh  TUHAN,  dan  siap untuk  diutus  serta  siap  menerima  segala  resiko  pelayanan  yang  akan dialaminya. Inilah proses yang dijalani oleh Yesaya dalam pengutusannya sebagai nabi.

   Orang  yang  dipanggil  untuk  melayani  adalah  orang  yang seharusnya  telah  mengalami  perjumpaan  dengan  Tuhan.  Dalam perjumpaannya  dengan  Tuhan,  ia  menyadari  akan  kenajisan  diri  dan mengakuinya di hadapan Tuhan. 

   Tindakan Tuhan adalah menguduskan dan  mengutusnya  ke  ladang  pelayanan.  Inilah  caranya  Tuhan mempersiapkan  hamba-Nya sebelum  ia diutus. 

   Urutan  ini  tidak boleh dibolak-balik.  Bukan  diutus  baru  setelah  itu  mengalami  perjumpaan dengan  Tuhan;  atau  bukan  diutus  baru  setelah  itu  dikuduskan  oleh Tuhan, tetapi , tetapi dilawat, dikuduskan, dan diutus oleh Tuhan. 

   Berbangga Hidup sebagai Hamba Tuhan

   Dalam Perjanjian Lama, Allah dapat melakukan apa saja bagi umat manusia  untuk  mendatangkan  pertobatan  dan  keselamatan  pada  diri mereka,  tetapi  Ia  juga  memilih para  nabi dan  mengutus  mereka  untuk melaksanakan program penyelamatan-Nya bagi manusia. Pemilihan nabi                                                            

merupakan  gambaran  keberadaan  hamba  Tuhan  sebagai  orang  yang diutus  Allah,  yang  mana,  sebagai  seorang  utusan  Allah,  hamba  Tuhan adalah unik dan memiliki  nilai serta potensi sehingga Allah  memilihnya dan Allah tidak pernah memilih orang yang salah.  

   Sebagai  utusan  Allah,  hamba  Tuhan  adalah  wakil  Allah  yang dilengkapi  dengan  kuasa  dan  wibawa  ilahi  serta  menjadi  orang kepercayaan  Allah.   

   Namun  dalam  pelayanan  yang  dilaksanakannya,  ia adalah  seorang  yang  mengabdikan  dirinya  dengan  setia  kepada  Raja semesta alam (bdg. Yes. 6:3, 8b).  

   Sebutan-sebutan  tersebut  menunjukkan  tanggung  jawab  besar yang  harus  ditanggungnya,  namun  pada  sisi  lain,  sebutan-sebutan tersebut  adalah  predikat  ilahi  yang  dikenakan  Allah  pada  dirinya. 

   Untuk  itu,  setiap  hamba  Tuhan  harus  bangga  dalam  keberadaannya sebagai  utusan,  wakil,  dan  abdi  Allah,  bukan  merasa  terhina  dengan sebutan-sebutan tersebut.

 

Memiliki Penyembahan yang Benar

   Penglihatan  yang  dialami  oleh  Yesaya  tentang  pertemuannya dengan  TUHAN  menunjukkan  bahwa,  bagi  seorang  hamba  Tuhan, penyembahan bukan  hanya sekadar beribadah,  tetapi berada di  hadirat Tuhan  dan  mengalami  kehadiran-Nya.     

   Penyembahan  seorang  hamba Tuhan  terjadi  bukan  bergantung  pada  sebuah  bentuk  dan  seni  dalam beribadah  yang  dilakukannya,  tetapi  karena  imannya  dan  kedekatan hatinya  dengan  Tuhan.

   Kedekatannya  dengan  Tuhan,  bukan  diukur dari  pelayanan-pelayanan  yang  dilaksanakannya,  tetapi  karena kesetiaannya dalam  bersekutu dengan  Tuhan secara pribadi  (bdg. Luk. 10:38-42). TUHAN  menyatakan  diri  kepada  Yesaya  dalam  Bait  Suci-Nya harus  menjadi  perhatian  hamba  Tuhan  dalam  semua  tata ibadah  yang dilaksanakannya,  bahwa  di  balik  dari    segala  bentuk  ibadah  yang nampak  secara  lahiriah,  ia  berhadapan  dengan  Allah  yang  kudus  dan mulia. 

   Allah-lah  yang  harus  menjadi  subyek  penyembahan,  karena kehidupan,  kekudusan,  keselamatan,  kemuliaan,  dan  kekuasaan  hanya ada  dan bermula  dari Allah  (Wah. 11:17;  19:1); dan  Allah harus  menjadi fokus  dalam  penyembahan  karena  segala  puji,  hormat,  dan  kemuliaan hanya diberikan kepada Allah (Wah. 5:13), bukan pada orang-orang yang terlibat  di dalamnya  dan bukan  pula pada  tata ibadah  yang  digunakan dalam penyembahan (bdg. Wah. 4:23-24).

   Setelah  Yesaya  melihat Tuhan,  ia mengakui  kenajisan dirinya.     

   Ini berarti penyembahan yang benar dari seorang hamba Tuhan tidak hanya                                                             menuntunnya  bertemu  dengan  Tuhan  dalam  hadirat-Nya,  tetapi  juga menyadarkannya akan segala dosa dan mengakuinya di hadapan Tuhan.

   Sikap  ini  menunjukkan  kerendahan  hatinya  untuk  mengharapkan anugerah  Allah  yang  melayakkannya  dalam  pelayanan  dan melengkapinya dengan otoritas dalam pelayanan. 

 

   Memprioritaskan Kekudusan Diri

   Tuhan adalah  TUHAN balatentara  yang kudus.  Pada satu  sisi, Ia berperang  untuk  membela  hamba-Nya  dan  mengokohkannya  dalam pelayanan  untuk  menghadapi  berbagai  tantangan. 

   Pada  sisi  lain,  Ia berperang  melawan  hamba-Nya  ketika  hamba-Nya  tidak  lagi memprioritaskan kekudusan dalam hidupnya. Ini berarti bahwa seorang hamba  Tuhan  yang  tidak  memprioritaskan  kekudusan  adalah  hamba Tuhan yang sedang menghancurkan pelayanannya sendiri karena musuh yang dihadapi adalah Tuhan yang telah mengutusnya (bdg. Hakim 2:10-12, 13-15; Wahyu 2:16).

   Keberadaan  Tuhan  yang kudus  seharusnya menyadarkan  hamba-Nya bahwa ia dipanggil oleh Tuhan bukan hanya untuk melayani, tetapi juga menjaga kekudusan hidupnya. 

   Sikap ini hanya akan muncul apabila ia  selalu  menyadari  kekudusan  Tuhan  yang  tiada  taranya  di  dalam hidupnya dan keberadaan Tuhan yang murka terhadap dosa. 

   Kesadaran ini  jugalah  yang membuat  ia  mengakui  segala  dosanya serta  memohon pengudusan  dan  pengampunan  dari  Tuhan  agar  ia  dilayakkan  untuk melayani  dalam pelayanan  yang  dipercayakan  kepadanya. 

   Jika ia  tidak bersikap  demikian,  maka  ia  berada  dalam  proses  menghancurkan pelayanannya  sendiri  karena  ia  berhadapan  langsung  dengan  TUHAN balatentara  yang  kudus,  bukan  sebagai  Pembelanya  tetapi  sebagai lawannya. 

   Untuk  itu,  kekudusan  diri  harus  menjadi  prioritas  hamba Tuhan untuk menjaga reputasi dirinya dan stabilitas pelayanannya. 

   Meyakini Jaminan Penyertaan

   Pengutusan  yang  ditegaskan  dalam  kalimat,  “Siapakah  yang  akan Kuutus,  dan  siapakah  yang  mau  pergi  untuk  Aku?”  (6:8a),  mengekspresikan pengesahan ilahi yang disertai dengan pemberian kuasa untuk misi yang dipercayakan  kepada  nabi.48  Ini  berarti  bahwa  ketika  seorang  hamba Tuhan  diutus  oleh  Allah,  Allah  telah  mengakuinya,  memeteraikannya, dan menyertainya.                                                               

   Pengesahan ilahi dan otoritas yang dimiliki seorang hamba  Tuhan adalah bersumber dari Tuhan yang adalah Tuan di atas segala tuan, Tuan yang memiliki  segala yang di  bumi dan di  surga, Raja yang agung  yang berkuasa atas seluruh bumi, TUHAN balatentara yang membelanya, dan kemuliaan-Nya  memenuhi  seluruh  bumi.  Inilah  yang  menjadi  jaminan baginya  untuk  melayani  dengan  setia,  hidup  secara  konsisten  pada panggilan  pelayanan  yang  diterimanya,  setia  dalam  melaksanakan tanggung  jawab  yang  dipercayakan  kepadanya,  dan  siap  untuk menerima segala bentuk konsekuensi yang dialami dalam pelayanannya.

   Mengandalkan Kuasa Tuhan

   Yesaya  hanya  merasa  siap  untuk  diutus  oleh  Tuhan  karena  ia meyakini  bahwa  pengutusan  yang  diterimanya  disertai  dengan pemberian  kuasa  yang  memampukannya  untuk  melayani.    Penyertaan kuasa  yang  dialami  oleh  Yesaya  menjaminnya  untuk  tetap  bertahan dalam pelayanan, walaupun hanya menghasilkan tunas yang kudus.

   Bagi  seorang  hamba  Tuhan,  ia  harus  mengalami  lawatan  kuasa Allah  yang memampukannya  untuk  melayani secara  maksimal, efisien, dan efektif.  Apabila hamba Tuhan melayani tanpa mengalami kuasa dari Allah,  maka  ia  akan  mengalami  kekeringan  rohani;  pelayanan  yang dilaksanakannya menjadi  beban yang berat  baginya; dan ia  tidak tahan menghadapi  tantangan  dalam  pelayanan.    Ini  bukan  karena  ia  tidak mampu secara akademik dan intelektual, tetapi karena ia melayani tanpa kuasa dari Allah.  

   Kuasa  pelayanan  seorang  hamba  Tuhan  bukan  karena  ia  pandai berbicara  tentang  firman  Tuhan  dan  mengeksposisinya  dengan  baik sehingga  orang  yang  mendengar  terkagum-kagum.  Walaupun  itu penting dan  harus dilakukan  oleh seorang  hamba Tuhan,  namun dalam pelayanan, itu saja tidak cukup. 

   Hal yang terpenting bagi dirinya adalah ia harus diurapi oleh Allah, sehingga dalam penyampaiannya, orang yang mendengarnya  bersukacita,  merasa  diberkati,  dan  melakukannya  di dalam hidupnya.   Jika  seorang  hamba  Tuhan  menyampaikan  firman  tanpa  kuasa, maka  firman  yang disampaikannya  hanyalah  sebuah  berita  biasa tanpa memiliki  pengaruh  di  dalam  kehidupan  orang  yang  mendengarnya. 

   Khotbah  yang  disampaikan  hanyalah  sebuah  pelajaran  Alkitab  tanpa mengubah  hidup  orang  yang  mendengarnya,  karena  ia  tidak  memiliki urapan  dan  kuasa  dari  Allah  dalam  pemberitaan  firman  yang dilaksanakannya.  

   Untuk itu,  hamba Tuhan  tidak hanya  sibuk untuk melaksanakan semua program pelayanan yang menjadi tanggung jawabnya,  tetapi  juga mengutamakan pengasingan waktu untuk bertemu dengan Allah secara pribadi.  Pengasingan  waktu  untuk  bersekutu  dengan  Allah  secara pribadi adalah momen penting untuk dilawat dan dilengkapi oleh Allah dengan kuasa-Nya. 

 

   Mengabdi Secara Tulus

   Allah yang bertakhta di takhta yang tinggi menjulang dan seluruh bumi  penuh  kemuliaan-Nya,  memberikan  pemahaman  kepada  hamba Tuhan bahwa ia tidak dapat menambah keagungan dan kemuliaan Allah melalui  pelayanannya,  karena  Tuhan  adalah  mulia  dan  agung  adanya. 

   Hamba  Tuhan  pun  tidak  dapat  mentakhtakan  Allah  melalui  segala sesuatu  dalam  pelayanan  yang  dilakukannya,  karena  Allah  adalah bertakhta  adanya.  Ia  hanya  dapat  memuji  dan  memuliakan  Allah  di dalam segala aspek kehidupannya karena ia dilayakkan oleh Allah untuk melayani,  mensyukuri  segala yang  dilakukan Allah  di  dalam  hidupnya, dan  dipakai  untuk  melaksanakan  tanggung  jawab  yang  dipercayakan kepadanya.  

   Dalam  keberadaannya  sebagai  seorang  utusan  Tuhan,  kemuliaan seorang  hamba  Tuhan  bukan  bersumber  pada  kebesaran  namanya, kemampuan  manajerialnya,  besarnya  jumlah  jemaat  yang  dipimpinnya, kemampuannya  berorasi, banyaknya  gelar yang  dimilikinya, banyaknya pelayanan  yang  dilaksanakan,  dan  besarnya  penghasilan  yang dimilikinya.  Jika  orientasi  pelayanan  seorang  hamba  Tuhan  terfokus pada  hal-hal  tersebut,  maka  ia  sendiri  sedang  merancang  dan menjerumuskan  diri  dalam  kejatuhannya.  Kemuliaan  seorang  hamba Tuhan  bersumber  pada Tuhan  berdasarkan pengabdiannya  yang  tulus.  Pengabdiannya yang tulus adalah kebesarannya (bdg. Mark. 10:43-46). 

 

   Menerima Kehendak Allah dalam Pelayanan

   Pelayanan  yang dilaksanakan  oleh  Yesaya  adalah pelayanan  yang tidak  memberikan hasil  yang menyenangkan,  bahkan  bentuk dan  hasil pelayanannya  pun  telah  ditentukan  oleh  Allah  sesuai  dengan  isi panggilan yang dinyatakan kepadanya (6:11-13).  Hasil dari pelayanannya adalah  lebih  banyak  orang yang  mati dari  pada  yang  bertobat,  bahkan menurut tradisi, ia sendiri diikat  di pohon  dan digergaji bersama pohon pada masa Manasye memerintah sebagai raja atas Yehuda.  

   Ini  menunjukkan  bahwa  kehendak  Tuhan  bagi    seorang  hamba Tuhan  dalam  pelayanan  yang  dilaksanakannya  tidak  selamanya memberikan  hasil  yang  menyenangkan  baginya.  Namun  hamba  Tuhan yang  pelayanannya  berpusat  pada  Tuhan  akan  menerimanya  dengan sukacita  sebagai  kehendak  Allah  dalam  pelayanannya,  karena  ia  tahu bahwa  pelayanan  yang  dilaksanakannya  dan  apa  yang  dihasilkan  dari pelayanannya  adalah  kedaulatan  Allah  dalam  panggilan  yang  telah diterimanya.

   Banyak hamba Tuhan yang melayani bukan karena apa yang Allah inginkan untuk mereka laksanakan dan hasilkan, tetapi karena apa yang mereka  ingin  laksanakan  dan  hasilkan.  Apabila  yang  mereka  inginkan tidak terlaksana dengan baik, maka mereka  kecewa terhadap  Allah,  diri sendiri,  orang-orang  yang  mereka  layani,  dan  program-program  yang mereka laksanakan.  Ini pula yang menyebabkan banyak di antara hamba Tuhan  yang meninggalkan  pelayanan  yang  sedang  mereka laksanakan. 

   Pelayanan seperti  ini adalah  pelayanan yang berpusat  pada diri  sendiri, orang-orang yang dilayani, program yang dilaksanakan, dan bukan pada Allah. Pengalaman Yesaya adalah ia telah mendengar panggilan Allah dan melaksanakannya sesuai dengan yang Allah katakan, sehingga walaupun yang  dihasilkan  adalah  sekelompok  kecil  tunas  yang  suci  dan penderitaan yang dialaminya, tetapi ia meyakini bahwa itulah kehendak Allah baginya.   

   Memprioritaskan Penginjilan  

   Respons orang Yehuda terhadap pelayanan Yesaya adalah sebagian besar dibinasakan dan menghasilkan hanya sekelompok kecil tunas yang kudus.  Ini  menunjukkan  bahwa  Allah  murka  terhadap  dosa,  tetapi  Ia tetap  menyatakan  anugerah-Nya  untuk  mempertahankan  Yehuda  yang telah  ditetapkan sebagai  umat-Nya. Ini  menjadi gambaran  pelaksanaan penginjilan pada masa kini, bahwa pemberitaan Injil dapat menghasilkan dua kelompok  orang yang  berbeda, yaitu  yang  menolak dan  menerima. 

   Dan mungkin lebih banyak yang menolak dan menentang daripada yang menerima.  Namun ini bukan  berarti kegagalan dalam pemberitaan Injil dan Injil tidak diberitakan lagi.

   Tanggung  jawab  seorang  hamba  Tuhan  adalah  hanyalah menyatakan  Injil.   Hasilnya  adalah  pekerjaan  Roh  Allah  di  dalam  hati orang-orang yang mendengar Injil.  Hamba Tuhan bukanlah Tuhan yang menentukan  siapa yang  menerima  dan siapa  yang menolak,  serta siapa yang diselamatkan dan siapa yang  tidak diselamatkan.

   Yesaya berbicara bukan  untuk  menobatkan  orang  yang  mendengar,  tetapi  hati  mereka menjadi keras, telinga menjadi tuli, dan mata menjadi buta terhadap hal-hal  rohani  (6:9-10).  Ini  menunjukkan  bahwa  penginjilan  bukan  hanya masalah  menyampaikan  kabar  baik,  tetapi  menjadi  suatu  peperangan rohani  untuk  mengalahkan dosa  yang  membutakan  mata  rohani  orang percaya  dan  yang  belum  percaya.  

   Hamba  Tuhan  juga  akan  menjalani peperangan rohani  dalam berbagai hal  di medan  pelayanannya, baik itu orang-orang  yang  dilayaninya,  maupun  kuasa-kuasa  yang  terlibat  di dalamnya  (bdg.  Ef. 6:12),  tetapi  Allah  yang  menyertai  dia  adalah Allah yang  berada di  medan  pertempuran  yang  akan  berperang  baginya  dan mengokohkan pelayanan yang dilaksanakannya. 

   Memberitakan Pertobatan

   Allah  menyatakan  malapetaka  kepada  orang-orang  Yehuda  yang mengeraskan hatinya  tetapi Ia  juga menyatakan  anugerah kepada  yang tersisa,  yang  disebut  tunas  yang  kudus.  Hal  ini  mengacu  kepada  dua implikasi.

   Pertama, tidak bertoleransi terhadap dosa yang dilakukan oleh orang-orang yang berada di luar Kristus dan hukuman yang akan mereka alami harus menjadi salah satu pendorong bagi para hamba Tuhan untuk menyaksikan  Kristus  dan  keselamatan  di  dalam-Nya.

   Kedua, pertobatan adalah cara untuk menikmati anugerah Allah. Untuk  itu,  berita  tentang  pertobatan  harus  menjadi  salah  satu penekanan penting dalam penginjilan, karena pertobatan adalah respons awal  orang berdosa  terhadap kasih  Allah di  dalam  Yesus Kristus  (bdg. Luk. 15:18, 20)50 dan sebagai tindakan iman yang benar untuk mendapat keselamatan  kekal  dari  Allah.

    Berita  tentang  pertobatan  menjadi penting karena  pertobatan adalah  wujud berbaliknya  seseorang kepada Allah yang menyebabkan ia membenci dosa, dan dengan pertobatannya menunjukkan  bahwa ia  menghargai pengorbanan  Kristus di  kayu  salib untuk  hidup  memuliakan  Allah.   

   Dengan  demikian,  penginjilan  tidak hanya  terfokus  pada  proklamasi  anugerah,  tetapi  juga  penekanan tentang  pertobatan  sebagai  wujud  perpalingan  seseorang  dari  hidup lamanya  untuk  hidup  dalam  hidup  yang  baru  dalam  Kristus  Yesus. 

   Dengan  cara  demikian,  maka  umat  yang  dihasilkan  dan  yang  dilayani adalah umat yang kudus. Dengan demikian,  pemberitaan tentang  dosa dan konsekuensinya seharusnya  bukanlah  hal  yang  tabu  dan  menakutkan,  tetapi  menjadi bagian  penting  dari  pemberitaan  supaya  umat  yang  dilayaninya hidup sesuai dengan  keberadaan Allahnya yang  kudus.   Ini dimaksudkan agar jemaat  tidak  hanya  melakukan  bentuk-bentuk  keagamaan  secara lahiriah,  tetapi  lebih  dari  itu,  yaitu  adanya  kenyataan  rohani  yang terpancar  dalam  kehidupan  sehari-hari.

   Jemaat  yang  dilayani  tidak hanya  hidup  dengan  kemunafikan  rohani  melalui  bentuk-bentuk peribadatan  secara  lahiriah,  tetapi  secara  konsisten  melakukan  firman Allah kapan pun dan di mana pun mereka berada.                                                              

 

PENUTUP 

   Bercermin  kepada  panggilan  nabi,  mungkin  ada  di  antara  para hamba  Tuhan  yang  dipanggil  oleh  Allah  dengan  memiliki  karakter pelayanan  seperti  yang  dimiliki  oleh  Yesaya. 

   Dalam  pelayanan yang  ia laksanakan,  mungkin  bukan  umat  semakin  bertumbuh  secara  rohani, tetapi  semakin  buta  terhadap  hal-hal  rohani. 

   Mungkin  jemaat  tidak bertambah  secara  kuantitas, tetapi  semakin berkurang.  Mungkin tidak disenangi  dan  ditolak  oleh  umat  yang  dilayani  karena  pemberitaan tentang  kekudusan.   

   Mungkin  dipanggil  dengan  mengalami  berbagai pengalaman  sulit.  Hal  ini  membuat  ia  merasa  bahwa  pelayanannya semakin  berat.  Hal  yang  harus  dipercaya  adalah  ia  dipanggil  dengan jaminan  penyertaan. 

    Pembelanya  adalah  TUHAN  balatentara.  Penjaminnya  adalah  Raja  yang  bertakhta.  Penyedianya  adalah  Tuhan yang  memiliki  segalanya.  Ia  ada  bersamanya  untuk  menguatkan, mengokohkan,  dan  menegarkannya  dalam  menghadapi  segala  perkara dalam pelayanan sehingga ia dapat menanggungnya.  

   Keberhasilan pelayanan  dalam konteks  pengutusan Yesaya  bukan dilihat dari berapa banyak jumlah umat yang dihasilkan dan bukan pula pada  besarnya  penghasilan  yang  diterima,  tetapi  menghasilkan  umat yang kudus.  Untuk itu, yang terpenting untuk diperlihara adalah hidup dalam kekudusan  dan melayani untuk  menghasilkan umat  yang kudus, sehingga  walaupun  sedikit  jumlah  umat  yang  dilayani,  tetapi  mereka adalah umat yang berkenan kepada  Allah.

   Di  situlah segala  kepenuhan Allah dinyatakan secara lengkap dalam hidup saudara. Mungkin  sebaliknya,  seorang  hamba  Tuhan  memiliki  jumlah anggota  jemaat  yang  besar,  gedung  gereja  yang  besar,  jemaat  yang memiliki  strata  sosial  dan  tingkat  ekonomi  yang  tinggi,  dan  jemaat dengan keuangan dalam jumlah yang besar, tetapi apakah mereka hidup dalam  kekudusan? 

   Jika  jemaat  yang  dilayani  tidak  hidup  dalam kekudusan,  itu  berarti  bahwa  ada  kesalahan  yang  terjadi  dalam penyembahan, pengajaran, dan pelayanan.

   Mungkin hamba Tuhan belum mengenal  Allah  secara  benar  atau  mungkin  hamba  Tuhan  tidak membawa jemaat untuk mengenal Tuhan secara benar.

   Kenyataan  yang  terjadi  akhir-akhir  ini  adalah  terjadi  pergeseran nilai  dalam  dunia  pelayanan  Kristen,  yang  umumnya  berorientasi  pada manusia.

   - Banyak umat datang ke gereja bukan karena ingin bersekutu dengan Tuhan  secara  berjemaat,  tetapi  mencari  siapa  hamba  Tuhan  yang akan melayaninya.   Inilah  yang menyebabkan  umat lebih mengenal hamba Tuhan  dari pada mengenal  Tuhan yang menyelamatkan  dan memberkatinya.

   Banyak umat yang  mencari gereja yang  mengutamakan entertainment, tidak  ingin  bersekutu  dengan  Tuhan  yang  kudus,  sehingga kekudusan tidak  lagi menjadi  prioritas, tetapi  ibadah menjadi  ajang pemenuhan emosi.

   - Banyak hamba Tuhan lebih banyak mengenal pelayanannya, daripada mengenal  Tuhannya,  lebih  banyak  melayani  pelayanannya  daripada melayani  Tuhannya,  sehingga  segala  orientasinya  terfokus  pada pelayanannya,  tetapi mengabaikan  relasinya  dengan  Tuhan  melalui persekutuan secara pribadi dengan Tuhan.

   - Banyak hamba Tuhan lebih banyak mengandalkan performa pribadi, tetapi tidak memprioritaskan kekudusan.  Kehidupannya dibungkus dengan penampilan dan  pelayanannya, tetapi hatinya  penuh dengan kenajisan. Sebenarnya,  Allah yang  menyatakan  diri  kepada  hamba-Nya dan umat-Nya  adalah  Allah  yang  maha  kudus.  Sebagai  Allah  yang  kudus, maka segala sifat dan apa pun yang dimiliki-Nya adalah kudus, termasuk hamba-Nya dan umat-Nya.

   Untuk itu,  bersekutu dengan Tuhan yang kudus  adalah  prioritas  utama  dalam  penyembahan,    kekudusan  harus menjadi prioritas diri, dan menghasilkan umat yang kudus harus menjadi prioritas dalam pelayanan.

Sumber : Tulisan dari Peniel C.D. Maiaweng.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar