Selasa, 03 Maret 2020

Keberanian Untuk Mengambil Keputusan

Hasil gambar untuk Kristen sejati
KRISTEN: 
KEBERANIAN UNTUK MENGAMBIL KEPUTUSAN
(Pdt.H.M. Siagian,MPTh)

Ayat Inti:  Matius 7:13-14.
   “Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya”.

Pendahuluan:
   Saudara-saudara yang kekasih dalam Kristus,
   Rupanya tidak gampang untuk menjadi atau hidup sebagai seorang Kristen yang sejati.  Kira-kira 179 tahun yang lalu, di negeri Denmark hiduplah seorang filsuf dan teolog abad ke 19 bernama Soren Kierkegaard.
   Didalam hidupnya, ia selalu berada dalam ketakutan.
   Ia takut apakah ia benar-benar telah berhasil mengambil keputusan di dalam hidupnya. Ia takut, jangan-jangan ia hanya “ikut arus” saja di dalam kehidupan sebagai orang Kristen. Ia takut, jangan-jangan ia sebagai pribadi akan tenggelam saja di dalam arus massa.  Dan dengan begitu hubungan pribadinya dengan Allah akan menjadi kabur, dan kemudian hanya larut di dalam kebiasaan-kebiasaan masaal.  Memang kehidupan gereja di negara Denmark pada zamannya sangat “formil”.
   Gereja adalah gereja negara, dan karena itu semuanya diatur oleh negara. Orang beragama, atau menjadi Kristen, bukan karena ia secara pribadi merasa terpanggil, tetapi karena kebiasaan, karena TRADISI.
   Hal ini menyebabkan sikap kritis gereja terhadap dunia ini (dalam hal ini terhadap negara, kebudayaan, politik, dll) menjadi tumpul.  Lebih baik jangan “kritis”, sebab kalau begitu jangan-jangan subsidi ditarik kembali.
   Di dalam salah satu bukunya, dia mencoba meninjau perbuatan Abraham pada waktu ia mengorbankan anaknya yang tunggal yakni ISHAK.  Abraham, telah bersedia untuk mengorbankan anaknya yang tunggal, walaupun ia tahu bahwa tanpa anak itu, ia tidak lagi memiliki masa depan bagi keturunannya.  Hanyalah kalau kita mencoba mengerti pilihan yang sulit ini bagi Abraham, maka barulah kita memahami maknanya iman.
   Jadi iman seperti itu dipertentangkan oleh Kierkegaard dengan keadaan sekeliling, KEADAAN DUNIA, keadaan gereja yang semuanya berjalan dengan TENANG, gampang, tidak ada persoalan, berjalan dengan sendirinya dan seterusnya.

Pembahasan:
   Saudara-saudara yang kekasih didalam Tuhan Yesus,
   Saat ini kita akan mencoba mempelajari apa yang dikatakan Yesus, menurut catatan Matius.  Ini adalah merupakan bahagian dari “KHOTBAH DI BUKIT” yang terkenal itu.  Mari kita baca Matius 5:13-16...Disini Yesus mencoba untuk menjelaskan kedudukan orang percaya di dalam dunia ini.  Kata Yesus, orang percaya itu, adalah seumpama GARAM.  Garam itu asin, ia mempunyai sifat untuk mengawetkan makanan.  Garam bekerja diam-diam, tetapi daya kerjanya sangat kuat. Dengan garam segala sesuatu dapat disimpan lama.  Karena itu, apabila garam itu menjadi tawar, maka ia tidak berguna lagi.
   Sebenarnya kita tidak dapat membayangkan garam yang menjadi TAWAR.  Karena garam tanpa rasa asin bukan lagi garam.  Kegaraman dan keasinan adalah satu. Dengan perkataan lain, keasinan adalah hakekat, adalah sifat asli garam.

   Lukisan kedua yang dipakai Yesus adalah TERANG. Terang memiliki sifat menampakkan diri. Justru karena ia dapat menampakkan diri, maka ia disebut TERANG.
   Terang itu menyebabkan juga benda-benda lain (disekeliling kita) menjadi TAMPAK.  Kesimpulannya, terang mempunyai sifat mengantarkan gambaran benda-benda ke dalam mata kita, sehingga dengan begitu kita dapat melihat benda-benda tersebut. Dengan segala lukisan ini, Yesus mau menjelaskan siapakah sebenarnya orang percaya (orang Kristen) di dalam dunia ini.  Ada satu istilah yang biasanya digunakan oleh Perjanjian Baru untuk menunjukkan hal itu.  Istilah itu adalah SAKSI.  Orang percaya adalah SAKSI. Orang Kristen adalah saksi.  Kita adalah saksi.  Sama seperti garam tidak dapat dibayangkan tanpa rasa asin, dan TERANG tanpa sifat menerangi, maka demikian juga Kekristenan tidak dapat dibayangkan tanpa hal menjadi saksi.  Hal menjadi saksi adalah sesuatu yang melekat pada orang Kristen.  Tidak ada orang Kristen yang hanya orang Kristen saja, tanpa itu (sekali gus) adalah saksi.
   Tetapi hal menjadi saksi itu bukan sesuatu yang mudah. Ia bukanlah sesuatu yang “MULUS” saja.
   Dalam kerangka itulah, Yesus memberitahukan kepada kita, bahwa hal menjadi saksi itu seumpama seorang yang masuk melalui PINTU YANG SEMPIT.  Mari kita baca dalam Matius 7:13a, 14a : “Masuklah melalui pintu yang sesak itu...karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan”. Kata Yunani yang dipakai di sini untuk jalan sempit: “hodos tethlimmene”, memiliki akar yang sama dengan kata “thlipsis” yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai: KESAKITAN, KESENGSARAAN, CELAKA, TEKANAN.
   Tekanan atau kesengsaraan apakah yang dimaksudkan disini?.  Dalam pengertian Perjanjian Baru, istilah itu menunjuk kepada pengalaman tekanan yang dilakukan atas seseorang dari luar. Tekanan yang dari luar itu berasal dari LINGKUNGAN yang kurang bersahabat, yang bersifat bermusuhan. Lingkungan ini dapat berwujud lingkungan sosial-politik, sosial ekonomi, kebudayaan, agama dan atau apa saja.  Orang Kristen harus MENDERITA di bawah TEKANAN itu.  Mengapa HARUS menderita?.  Karena orang Kristen sebagai saksi, harus memberitakan suatu kabar, yang seringkali tidak dapat diterima oleh dunia, sebab seringkali dunia memiliki pemikiran yang lain sekali dengan apa yang dipikirkan orang Kristen.
   Keadaan seperti ini dapat menyebabkan seorang Kristen kehilangan keberanian untuk mengambil suatu SIKAP, yaitu sikap untuk memutuskan.  Kesaksian seorang percaya dapat menjadi tumpul oleh sikap lingkungan yang bermusuhan itu, di mana ia tidak dapat mengatasinya. “Sempitlah pintu yang menuju kepada kehidupan...”, dengan perkataan lain, sempitlah pintu bagi seorang Kristen yang harus berdiri  sebagai seorang saksi Kristus; dapat juga dikatakan secara lain, kuatlah tekanan yang dialami oleh seorang Kristen.
   Tekanan yang dimaksudkan di sini adalah yang berasal dari luar sebagai akibat dari kedudukan kita sebagai saksi tadi.  Yang menjadi pokok disini adalah hubungan Allah – dunia, dan dunia – Allah, di mana orang percaya berdiri sebagai saksi. Memang cukup mudah untuk menjadi orang Kristen, tanpa perlu menjadi saksi.
   Kierkegaard mencela orang sezamannya dan segerejanya, yang cenderung untuk menenggelamkan dirinya dalam suatu kepercayaan yang bersifat masaal, di mana keputusan pribadi tidak mendapat perhatian.
   Dapat dikatakan, bahwa orang Kristen pada abad ke 19 di Denmark pada waktu itu lebih senang untuk masuk dari pintu yang lebar, melewati jalan yang luas, jalan yang gampang/mudah, jalan yang tanpa persoalan.
   Kita sebagai orang Kristen dapat jatuh ke dalam kecenderungan yang sama.  Di negara kita yang berdasarkan Pancasila kita semua sebagai warganegara memiliki kebebasan yang besar untuk ber-“agama”.
   Hal ini tentu saja sangat baik, dan untuk itu kita mengucapkan banyak terimakasih.  Tetapi hal itu dapat juga berbahaya, yaitu bahwa kita bisa jatuh ke dalam sikap yang tidak lagi kritis terhadap segala sesuatu yang dibuat dan yang terjadi, baik dalam lapangan sosial-politik maupun dalam lapangan sosial-ekonomi dan kebudayaan.  Kita bisa kehilangan hakekat kita sebagai saksi.  Apabila kita hampir-hampir tidak mempunyai “tantangan”, maka kita tidak akan pernah dapat “dilatih” untuk mengambil keputusan-keputusan iman.  Kita cenderung untuk tidak lagi mempersoalkan iman kita....
   Di dalam kehidupan ber-gereja, kita juga cenderung untuk jatuh ke dalam sikap “automatisme”, artinya sikap yang berjalan dengan sendirinya demikian.  Mungkin seseorang secara langsung dibaptis di Advent sejak kecil (karena orang-tua orang itu adalah Kristen Advent).  Dengan perbuatan yang berjalan hampir-hampir secara automatis itu, kita bisa cenderung untuk tidak sanggup lagi mengambil keputusan pribadi.

Konklusi:
   Saudara-saudara yang kekasih di dalam Kristus,
   Iman kita janganlah menjadi iman masaal. Iman kita jangan menjadi iman yang automatis  yang sudah  dengan sendirinya berjalan demikian, iman yang tanpa pergumulan....
   Sebenarnya dewasa ini kita harus belajar takut dan gelisah.  Kalau kita tidak dapat lagi takut atau gelisah melihat segala sesuatu di dalam kehidupan kita, kini dan disini, maka pertanyaannya adalah, apakah kita masih layak untuk dipanggil sebagai saksi Kristus!.
                                                     Amin!.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar