KRISTEN:
KEBERANIAN UNTUK MENGAMBIL KEPUTUSAN
(Pdt.H.M. Siagian,MPTh)
KEBERANIAN UNTUK MENGAMBIL KEPUTUSAN
(Pdt.H.M. Siagian,MPTh)
Ayat
Inti: Matius 7:13-14.
“Masuklah melalui pintu yang sesak itu,
karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak
orang yang masuk melaluinya; Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang
menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya”.
Pendahuluan:
Saudara-saudara yang kekasih dalam Kristus,
Rupanya tidak gampang untuk menjadi atau
hidup sebagai seorang Kristen yang sejati.
Kira-kira 179 tahun yang lalu, di negeri Denmark hiduplah seorang filsuf dan teolog abad ke 19 bernama Soren Kierkegaard.
Didalam hidupnya, ia selalu berada dalam
ketakutan.
Ia takut apakah ia benar-benar telah
berhasil mengambil keputusan di dalam hidupnya. Ia takut, jangan-jangan ia
hanya “ikut arus” saja di dalam kehidupan sebagai orang Kristen. Ia takut,
jangan-jangan ia sebagai pribadi akan tenggelam saja di dalam arus massa. Dan dengan begitu hubungan pribadinya dengan
Allah akan menjadi kabur, dan kemudian hanya larut di dalam kebiasaan-kebiasaan
masaal. Memang kehidupan gereja di
negara Denmark pada zamannya sangat “formil”.
Gereja adalah gereja negara, dan karena itu
semuanya diatur oleh negara. Orang beragama, atau menjadi Kristen, bukan karena
ia secara pribadi merasa terpanggil, tetapi karena kebiasaan, karena TRADISI.
Hal ini menyebabkan sikap kritis gereja
terhadap dunia ini (dalam hal ini terhadap negara, kebudayaan, politik, dll)
menjadi tumpul. Lebih baik jangan “kritis”,
sebab kalau begitu jangan-jangan subsidi ditarik kembali.
Di dalam salah satu bukunya, dia mencoba
meninjau perbuatan Abraham pada waktu ia mengorbankan anaknya yang tunggal
yakni ISHAK. Abraham, telah bersedia
untuk mengorbankan anaknya yang tunggal, walaupun ia tahu bahwa tanpa anak itu,
ia tidak lagi memiliki masa depan bagi keturunannya. Hanyalah kalau kita mencoba mengerti pilihan
yang sulit ini bagi Abraham, maka barulah kita memahami maknanya iman.
Jadi iman seperti itu dipertentangkan oleh
Kierkegaard dengan keadaan sekeliling, KEADAAN DUNIA, keadaan gereja yang
semuanya berjalan dengan TENANG, gampang, tidak ada persoalan, berjalan dengan
sendirinya dan seterusnya.
Pembahasan:
Saudara-saudara yang kekasih didalam Tuhan
Yesus,
Saat ini kita akan mencoba mempelajari apa
yang dikatakan Yesus, menurut catatan Matius.
Ini adalah merupakan bahagian dari “KHOTBAH DI BUKIT” yang terkenal
itu. Mari kita baca Matius
5:13-16...Disini Yesus mencoba untuk menjelaskan kedudukan orang percaya di
dalam dunia ini. Kata Yesus, orang
percaya itu, adalah seumpama GARAM.
Garam itu asin, ia mempunyai sifat untuk mengawetkan makanan. Garam bekerja diam-diam, tetapi daya kerjanya
sangat kuat. Dengan garam segala sesuatu dapat disimpan lama. Karena itu, apabila garam itu menjadi tawar,
maka ia tidak berguna lagi.
Sebenarnya kita tidak dapat membayangkan
garam yang menjadi TAWAR. Karena garam
tanpa rasa asin bukan lagi garam.
Kegaraman dan keasinan adalah satu. Dengan perkataan lain, keasinan
adalah hakekat, adalah sifat asli garam.
Lukisan kedua yang dipakai Yesus adalah
TERANG. Terang memiliki sifat menampakkan diri. Justru karena ia dapat
menampakkan diri, maka ia disebut TERANG.
Terang itu menyebabkan juga benda-benda lain
(disekeliling kita) menjadi TAMPAK.
Kesimpulannya, terang mempunyai sifat mengantarkan gambaran benda-benda
ke dalam mata kita, sehingga dengan begitu kita dapat melihat benda-benda tersebut.
Dengan segala lukisan ini, Yesus mau menjelaskan siapakah sebenarnya orang
percaya (orang Kristen) di dalam dunia ini.
Ada satu istilah yang biasanya digunakan oleh Perjanjian Baru untuk
menunjukkan hal itu. Istilah itu adalah
SAKSI. Orang percaya adalah SAKSI. Orang
Kristen adalah saksi. Kita adalah
saksi. Sama seperti garam tidak dapat
dibayangkan tanpa rasa asin, dan TERANG tanpa sifat menerangi, maka demikian
juga Kekristenan tidak dapat dibayangkan tanpa hal menjadi saksi. Hal menjadi saksi adalah sesuatu yang melekat
pada orang Kristen. Tidak ada orang
Kristen yang hanya orang Kristen saja, tanpa itu (sekali gus) adalah saksi.
Tetapi hal menjadi saksi itu bukan sesuatu
yang mudah. Ia bukanlah sesuatu yang “MULUS” saja.
Dalam kerangka itulah, Yesus memberitahukan
kepada kita, bahwa hal menjadi saksi itu seumpama seorang yang masuk melalui
PINTU YANG SEMPIT. Mari kita baca dalam
Matius 7:13a, 14a : “Masuklah melalui pintu yang sesak itu...karena sesaklah
pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan”. Kata Yunani yang
dipakai di sini untuk jalan sempit: “hodos tethlimmene”, memiliki akar yang
sama dengan kata “thlipsis” yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan
sebagai: KESAKITAN, KESENGSARAAN, CELAKA, TEKANAN.
Tekanan atau kesengsaraan apakah yang
dimaksudkan disini?. Dalam pengertian
Perjanjian Baru, istilah itu menunjuk kepada pengalaman tekanan yang dilakukan
atas seseorang dari luar. Tekanan yang dari luar itu berasal dari LINGKUNGAN
yang kurang bersahabat, yang bersifat bermusuhan. Lingkungan ini dapat berwujud lingkungan sosial-politik, sosial ekonomi, kebudayaan, agama dan atau
apa saja. Orang Kristen harus MENDERITA di bawah TEKANAN itu.
Mengapa HARUS menderita?. Karena
orang Kristen sebagai saksi, harus memberitakan suatu kabar, yang seringkali
tidak dapat diterima oleh dunia, sebab seringkali
dunia memiliki pemikiran yang lain sekali dengan apa yang dipikirkan orang
Kristen.
Keadaan seperti ini dapat menyebabkan
seorang Kristen kehilangan keberanian untuk mengambil suatu SIKAP, yaitu sikap
untuk memutuskan. Kesaksian seorang
percaya dapat menjadi tumpul oleh sikap lingkungan yang bermusuhan itu, di mana
ia tidak dapat mengatasinya. “Sempitlah pintu yang menuju kepada kehidupan...”,
dengan perkataan lain, sempitlah pintu bagi seorang Kristen yang harus
berdiri sebagai seorang saksi Kristus;
dapat juga dikatakan secara lain, kuatlah tekanan yang dialami oleh seorang
Kristen.
Tekanan yang dimaksudkan di sini adalah yang
berasal dari luar sebagai akibat dari kedudukan kita sebagai saksi tadi. Yang menjadi pokok disini adalah hubungan
Allah – dunia, dan dunia – Allah, di mana orang percaya berdiri sebagai saksi.
Memang cukup mudah untuk menjadi orang Kristen, tanpa perlu menjadi saksi.
Kierkegaard mencela orang sezamannya dan
segerejanya, yang cenderung untuk menenggelamkan dirinya dalam suatu
kepercayaan yang bersifat masaal, di mana keputusan pribadi tidak mendapat
perhatian.
Dapat dikatakan, bahwa orang Kristen pada
abad ke 19 di Denmark pada waktu itu lebih senang untuk masuk dari pintu yang
lebar, melewati jalan yang luas, jalan yang gampang/mudah, jalan yang tanpa
persoalan.
Kita sebagai orang Kristen dapat jatuh ke
dalam kecenderungan yang sama. Di negara
kita yang berdasarkan Pancasila kita semua sebagai warganegara memiliki
kebebasan yang besar untuk ber-“agama”.
Hal ini tentu saja sangat baik, dan untuk
itu kita mengucapkan banyak terimakasih.
Tetapi hal itu dapat juga berbahaya, yaitu bahwa kita bisa jatuh ke
dalam sikap yang tidak lagi kritis terhadap segala sesuatu yang dibuat dan yang
terjadi, baik dalam lapangan sosial-politik maupun dalam lapangan
sosial-ekonomi dan kebudayaan. Kita bisa
kehilangan hakekat kita sebagai saksi.
Apabila kita hampir-hampir tidak mempunyai “tantangan”, maka kita tidak
akan pernah dapat “dilatih” untuk mengambil keputusan-keputusan iman. Kita cenderung untuk tidak lagi mempersoalkan
iman kita....
Di dalam kehidupan ber-gereja, kita juga
cenderung untuk jatuh ke dalam sikap “automatisme”, artinya sikap yang berjalan
dengan sendirinya demikian. Mungkin
seseorang secara langsung dibaptis di Advent sejak kecil (karena orang-tua
orang itu adalah Kristen Advent). Dengan
perbuatan yang berjalan hampir-hampir secara automatis itu, kita bisa cenderung
untuk tidak sanggup lagi mengambil keputusan pribadi.
Konklusi:
Saudara-saudara yang kekasih di dalam
Kristus,
Iman kita janganlah menjadi iman masaal.
Iman kita jangan menjadi iman yang automatis yang sudah
dengan sendirinya berjalan demikian, iman yang tanpa pergumulan....
Sebenarnya dewasa ini kita harus belajar
takut dan gelisah. Kalau kita tidak
dapat lagi takut atau gelisah melihat segala sesuatu di dalam kehidupan kita,
kini dan disini, maka pertanyaannya adalah, apakah kita masih layak untuk
dipanggil sebagai saksi Kristus!.
Amin!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar