Tuhan adalah Oknum pembentuk sebuah keluarga. Tentu Dia memberikan pemahaman kepada kita tentang bagaimana seharusnya fungsi sebuah keluarga dan Dia sanggup mengingatkan kita akan bahaya-bahaya yang dapat menghancurkan keutuhan keluarga. Memang, Tuhan telah memberikan banyak prinsip dalam Firman-Nya mengenai struktur keluarga dan peranan yang harus dipikul oleh tiap anggota. Ketika perintah-perintah dalam Alkitab ditaati, maka keluarga-keluarga akan menikmati semua berkat yang Allah mau mereka dapatkan. Ketika perintah dilanggar, muncullah kekacauan dan sakit-hati.
Peranan Suami dan Istri (The Role of
Husband and Wife)
Allah
telah merancang keluarga Kristen agar mengikuti struktur tertentu. Karena
kerangka ini memberikan stabilitas bagi kehidupan keluarga, Setan bekeja keras
untuk mengacaukan rancangan maksud Allah.
Pertama,
Allah telah menetapkan bahwa suami menjadi kepala keluarga. Hal ini tidak
memberikan hak kepada suami untuk secara egois mendominasi istri dan
anak-anaknya. Allah memanggil suami untuk mengasihi, melindungi, mencukupi
kebutuhan, dan memimpin keluarganya sebagai kepala keluarga. Allah juga
menghendaki agar istri menyerah kepada pimpinan suaminya. Hal itu jelas
dinyatakan dalam Alkitab:
Hai
isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah
kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang
menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian
jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. (Efesus 5:22-24).
Suami
bukanlah kepala rohani dari istrinya —Yesus adalah Pribadi yang memenuhi
peran itu. Yesus adalah kepala rohani dari gerejanya, dan istri Kristen
adalah anggota gereja, sama halnya dengan suami Kristen. Tetapi, di dalam
keluarga, suami Kristen adalah kepala dari istri dan anak-anaknya, dan ia harus
berserah kepada otoritas yang diberikan oleh Allah.
Sampai
sejauh mana istri menyerah kepada suaminya? Ia harus tunduk kepada suami dalam segala
sesuatu, seperti kata Paulus. Kecuali jika suaminya mengharapkannya untuk
tidak menaati Firman Tuhan atau melakukan sesuatu yang melanggar kata-hatinya.
Sudah tentu, tidak ada suami Kristen pernah berharap istrinya untuk melakukan
sesuatu yang melanggar Firman Tuhan atau kata-hati istrinya. Suami bukanlah
tuhan bagi istrinya —hanya Yesus yang memiliki tempat itu dalam kehidupan sang
istri. Jika harus memilih siapa yang akan ditaati, sang istri harus memilih
Yesus.
Suami
harus ingat bahwa Allah tidak secara langsung selalu “berpihak kepada suami.”
Allah pernah berkata kepada Abraham untuk melakukan apa kata istrinya Sarah
kepadanya (lihat Kejadian 21:10-12). Alkitab juga mencatat bahwa Abigail tidak
menaati suaminya yang bodoh, Nabal, dan menimbulkan bencana (lihat 1 Samuel
25:2-38).
Firman Tuhan kepada Para Suami (God’s
Word to Husbands)
Kepada
setiap suami, Allah berkata:
Hai
suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah
menyerahkan diriNya baginya ….. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya
sama seperti tubuhnya sendiri : Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi
dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi
mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, 30 karena
kita adalah anggota tubuh-Nya. ….Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing
berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah
menghormati suaminya. (Efesus 5:25, 28-30, 33).
Suami
diperintahkan untuk mengasihi istrinya seperti Kristus mengasihi gereja. Itu
bukanlah tanggung-jawab kecil! Dengan senang hati, setiap istri tunduk kepada
orang yang mencintainya persis seperti yang Yesus lakukan —yang memberikan
kehidupanNya dalam kasihNya yang penuh pengorbanan. Seperti Kristus mengasihi
gerejaNya, demikian juga suami harus mengasihi istri yang olehnya ia menjadi
“satu daging” (Efesus5:31). Jika suami Kristen mengasihi istrinya sebagaimana
seharusnya, maka ia akan menyediakan kebutuhan, mempedulikan, menghormati,
menolong, memberi dorongan, dan meluangkan waktu untuk istrinya. Jika tak
sanggup bertanggung-jawab mengasihi istrinya, suami itu berada dalam bahaya
karena akan menghambat jawaban atas doa-doanya:
Demikian
juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai [kaum]
yang lebih lemah! Hormatilah mereka
sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan
terhalang. (1 Petrus 3:7, tambahkan penekanan).
Tentu,
belum pernah ada pernikahan yang tak pernah mengalami konflik dan pertengkaran.
Tetapi, melalui komitmen dan perkembangan buah-buah roh dalam kehidupan, suami
dan istri dapat belajar hidup secara harmoni dan mengalami keberkatan yang
terus-menerus dalam pernikahan Kristen. Melalui permasalahan yang tak dapat
dihindarkan yang muncul dalam tiap pernikahan, setiap pasangan dapat belajar
bertumbuh makin dewasa menjadi serupa dengan Kristus.
Untuk
menyelidiki lebih lanjut tentang kewajiban suami dan istri, lihat Kejadian
2:15-25; Amsal 19:13;21:9, 19; 27:15-16; 31:10-31; 1 Korintus 11:3; 13:1-8;
Kolose 3:18-19; 1 Timotius 3:4-5; Titus 2:3-5; 1 Petrus 3:17.
Seks dalam Pernikahan (Sex in Marriage)
Allah
adalah oknum yang menemukan seks, dan Ia menciptakan seks demi kesenangan juga
untuk menghasilkan keturunan. Tetapi, Alkitab tegas-tegas berkata bahwa
hubungan seks harus dinikmati hanya oleh mereka yang telah menyatukan diri
mereka dalam ikatan pernikahan seumur-hidup.
Hubungan
seks tanpa ikatan pernikahan digolongkan sebagai perzinahan atau perselingkuhan.
Rasul Paulus menyatakan bahwa mereka yang melakukan hal-hal itu tidak akan
mewarisi Kerajaan Allah (lihat 1 Korintus 6:9-11). Walaupun orang Kristen dapat
dicobai dan berzinah atau berselingkuh, ia akan merasakan hukuman dalam rohnya
yang akan membawanya pada pertobatan.
Paulus
juga memberikan beberapa petunjuk khusus tentang tanggung-jawab seks kepada
suami dan istri:
Tetapi
mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya
sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri. Hendaklah suami
memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap
suaminya. Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya,
demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya. Janganlah
kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu,
supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu
kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu
tidak tahan bertarak. (1 Korintus 7:2-5).
Ayat-ayat
di atas memperjelas bahwa seks tidak boleh digunakan sebagai “hadiah” oleh
suami atau istri karena baik suami atau istri tak berkuasa atas tubuhnya
sendiri.
Lagipula,
seks adalah karunia pemberian Allah, dan seks adalah hal yang suci atau bukan
dosa selama dalam batas-batas pernikahan. Paulus mendorong para pasangan nikah
Kristen untuk tetap terlibat dalam hubungan seks. Lagipula, kita bisa temukan
saran tersebut bagi para suami Kristen dalam kitab Amsal:
Diberkatilah
kiranya sendangmu, bersukacitalah dengan isteri masa mudamu: rusa yang manis,
kijang yang jelita; biarlah buah dadanya selalu memuaskan engkau, dan engkau
senantiasa berahi karena cintanya. (Amsal 5:18-19). [1]
Bila
pasangan suami-istri Kristen ingin menikmati hubungan seks yang saling memberi
kepuasan, maka keduanya harus memahami bahwa ada perbedaan besar karakter
seksual antara pria dan wanita. Bila diperbandingkan, kualitas seksual pria
lebih bersifat fisik, sedangkan kualitas seksual wanita terkait dengan
emosinya. Secara seksual, pria mudah terangsang oleh stimulasi visual (lihat
Matius 5:28), sedangkan secara seksual wanita cenderung terangsang melalui
sentuhan (lihat 1 Korintus 7:1). Pria tertarik kepada wanita yang menarik di
matanya; sedangkan wanita cenderung tertarik kepada pria yang mereka sanjung
karena berbagai alasan, dibandingkan hanya daya-tarik fisik. Jadi, istri yang
bijak selalu memperhatikan hal terbaik yang bisa dilakukannya untuk
menyenangkan suaminya sepanjang waktu. Suami yang bijak menunjukkan
perhatiannya kepada istrinya setiap waktu dengan memberi pelukan dan perhatian
penuh, bukannya mengharapkan istrinya untuk tetap “siap setiap saat” dalam
sekejap di penghujung hari.
Tingkat
dorongan seks pria cenderung meningkat dengan bertambahnya air mani dalam
tubuhnya, sedangkan dorongan seks wanita meningkat atau menurun, tergantung
pada siklus menstruasinya. Pria punya kapasitas rangsangan seks dan pengalaman
klimaks seks dalam hitungan detik atau menit; wanita butuh waktu lebih lama.
Walaupun pria biasanya siap secara fisik untuk berhubungan seks dalam beberapa
detik, tubuh wanita bisa saja tak siap secara fisik selama setengah jam. Jadi,
suami yang bijak menggunakan waktu untuk melakukan permainan seks pendahuluan
dengan melakukan pelukan mesra, ciuman dan rangsangan dengan tangan ke
bagian-bagian tubuh istri yang akan membuat istri menjadi siap melakukan
persetubuhan. Jika tak tahu bagian-bagian tubuh istri, suami perlu bertanya
kepada istrinya. Juga, ia harus tahu bahwa walaupun ia mampu mencapai hanya
sekali klimaks seks, istrinya mampu mencapai lebih dari sekali klimaks. Suami
harus paham agar istri mendapatkan apa yang diinginkannya.
Sangatlah
penting agar suami dan istri Kristen saling mendiskusikan kebutuhan mereka
dengan jujur dan belajar sebanyak mungkin tentang bagaimana perbedaan
masing-masing. Selama berbulan-bulan dan tahunan komunikasi, penemuan dan
praktek, hubungan seks antara suami dan istri dapat menghasilkan keberkatan
yang semakin meningkat.
Anak-anak Keluarga Kristen (Children of
a Christian Family)
Anak-anak
harus diajarkan agar tunduk dan taat pada orang-tua Kristen mereka. Dan jika
mereka tunduk dan taat, ada janji umur panjang dan berkat-berkat lain bagi
mereka:
Hai
anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian.
“Hormatilah ayahmu dan ibumu”—(ini adalah suatu perintah yang penting, seperti
yang nyata dari janji ini), “supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi”.
(Efesus 6:1-3).
Sebagai
kepala keluarga, bapak-bapak Kristen bertanggung-jawab utama untuk mendidik
anak-anak mereka:
Dan
kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi
didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. (Efesus 6:4).
Perlu
dicatat bahwa ada dua tanggung-jawab bapak: mendidik anak-anaknya dalam disiplin
dan pengajaran Tuhan. Mulanya, perhatikanlah pendisiplinan bagi
anak-anak.
Pendisiplinan
Anak (Child Discipline)
Anak
yang tak pernah didisiplinkan akan tumbuh menjadi egois dan suka memberontak
terhadap perintah. Anak harus didisiplinkan kapanpun ia dengan keras kepala tidak
menaati aturan yang wajar yang telah ditetapkan sebelumnya oleh orang-tua. Anak
tak boleh dihukum karena kesalahan atau karena sikap tidak bertanggung-jawab.
Tetapi, anak harus menghadapi konsekwensi kesalahan dan sikap tidak
bertanggung-jawabnya, sehingga dapat membantunya untuk siap menghadapi realitas
kehidupan dewasa kelak.
Anak
kecil harus didisiplinkan dengan memukul pantatnya, sesuai perintah Firman
Tuhan. Tentu saja, bayi tak boleh dipukuli pantatnya. Itu tidak berarti bahwa
bayi selalu diberikan sesuai kemauannya. Nyatanya, sejak lahirnya, harus jelas
bahwa bayi adalah tanggung-jawab ibu dan ayahnya. Pada usia sangat muda, bayi
dapat diajari tentang arti kata “tidak” dengan mencegahnya agar tak melakukan
apa yang akan atau hampir saja dilakukan. Ketika bayi mulai mengerti arti kata
“tidak“, pukulan ringan di pantatnya akan membantunya mengerti dengan lebih
baik ketika ia tidak patuh. Jika hal ini dilakukan secara konsisten, anak-anak
akan belajar taat pada usia sangat muda.
Orang
tua dapat juga melaksanakan kuasanya tanpa melakukan tindakan yang tak
diinginkan bagi anaknya, seperti memberi apa yang anak nginkan setiap kali ia
menangis. Perlakuan itu akan mengajarkan anak untuk menangis agar setiap
keinginannya terkabul. Atau, jika orang tua mengabulkan permintaan anaknya tiap
kali amarah atau rengekannya meledak, orang tua itu sebenarnya hanya mendukung
perilakunya yang tak diinginkan. Orang tua yang bijak hanya menghargai perilaku
yang disukai dalam diri anaknya.
Pukulan
di pantat tak boleh membahayakan fisik anak tetapi tentunya memberi cukup rasa
sakit agar anak yang bandel dapat menangis sebentar. Sehingga, anak akan
belajar mengaitkan ketidaktaatan dengan rasa-sakit. Alkitab menegaskan:
Siapa
tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi
anaknya, menghajar dia pada waktunya. …. Kebodohan melekat pada hati orang
muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya…Jangan menolak
didikan dari anakmu ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan.
Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia
orang mati. ….. Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang
dibiarkan mempermalukan ibunya. (Amsal 13:24; 22:15; 23:13-14; 29:15).
Ketika
menerapkan aturannya, orang tua tak perlu mengancam anak untuk taat. Jika anak
berkeras tidak taat, ia harus dipukuli pantatnya. Jika orang tua hanya mengancam
untuk memukul pantat anak bandel itu, ia hanya membuat anak itu tetap tidak
taat. Akibatnya, anak itu belajar tak taat sampai ancaman orang-tua mencapai
volume tertentu.
Setelah
pantatnya dipukul, si anak harus dipeluk dan dijamin bahwa ia layak mendapat
kasih sayang orang tuanya.
Mendidik
Anak (Train Up a Child)
Orang
tua Kristen harus sadar bahwa ia bertanggung-jawab mendidik anaknya, seperti
dalam Amsal 22:6: “Didiklah orang
muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan
menyimpang dari pada jalan itu.” (tambahkan penekanan).
Didikan
berwujud hukuman atas ketidaktaatan dan ganjaran untuk perilaku yang baik. Anak
perlu diberi pujian yang konsisten dari orang tuanya untuk memperkuat
perilakunya yang baik dan sifat-sifat yang diinginkan. Anak perlu diberikan
rasa aman agar ia merasa dikasihi, diterima dan dihargai oleh orang-tuanya.
Orang tua dapat menunjukkan kasihnya melalui kata-kata pujian, pelukan dan
ciuman, dan meluangkan waktu bersama anaknya.
“Mendidik”
berarti “membuat anak taat.” Karena itu, orang tua Kristen tak boleh memberikan
pilihan kepada anaknya apakah ia mau atau tidak mau ke gereja atau berdoa
setiap hari dan seterusnya. Anak cukup bertanggung-jawab untuk tahu apa yang
terbaik baginya —itu sebabnya Allah memberikan orang-tua kepadanya. Bagi orang
tua yang menggunakan usaha dan tenaga untuk melihat agar anaknya mendapat
pendidikan yang baik, Allah berjanji bahwa anaknya tak akan menyimpang dari
jalan yang benar ketika mereka menjadi dewasa, seperi dalam Amsal 22:6.
Anak
harus terus diberikan tanggung-jawab ketika usianya bertambah. Tujuan efektif
menjadi orang-tua adalah menyiapkan anak secara bertahap untuk memikul tanggung-jawab
penuh menuju kedewasaan. Ketika anak bertambah usia, ia secara bertahap diberi
lebih banyak kebebasan untuk membuat keputusannya. Juga, remaja harus mengerti
bahwa ia akan menerima tanggung-jawab atas konsekwensi dari keputusannya dan
orang tuanya tidak akan selalu ada untuk “menjaminnya keluar” dari kesulitan.
Tanggung-jawab Orang Tua untuk Mendidik
(Parents’ Responsibility to Instruct)
Seperti
kita baca Efesus 6:4, ayah bertanggung-jawab mendisiplinkan anak dan harus mengajari
anak di dalam Tuhan. Gereja tak bertanggung-jawab mengajari hal moralitas yang
Alkitabiah kepada anak, karakter Kristen, atau teologi —itu tugas ayahnya.
Adalah keliru bila orang tua mengalihkan semua tanggung-jawabnya kepada guru
Sekolah Minggu untuk mengajari anak-anak tentang Allah. Perhatikan bahwa Allah
memerintahkan Israel melalui Musa:
Apa
yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada
anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila
engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau
bangun. (Ulangan 6:6-7, tambahkan penekanan).
Anak
harus diperkenalkan kepada Allah, sejak usia dini, oleh orang tua Kristen,
dengan menceritakan kepada anak tentang siapa Allah dan betapa Ia mengasihinya.
Anak harus diajari kisah tentang Yesus –kelahiran, kehidupan, kematian, dan
kebangkitanNya. Banyak anak dapat mengerti pesan Injil sebelum usia lima atau
enam tahun dan dapat memutuskan untuk melayani Tuhan. Segera setelah itu
(sebelum usia enam atau tujuh tahun, terkadang sebelum usia itu), anak dapat
menerima baptisan Roh Kudus dengan berbahasa lidah. Tentu, tak boleh diberikan
aturan ketat karena setiap anak berbeda. Masalahnya adalah orang-orang tua
Kristen membuat pendidikan rohani bagi anak-anak mereka menjadi prioritas
duniawi tertinggi menurut ukuran mereka.
Sepuluh Aturan untuk Mengasihi Anak
(Ten Rules for Loving Your Children)
1.) Jangan buat anak
anda frustrasi (lihat Efesus 6:4). Anak tak boleh diharuskan berperilaku
seperti orang dewasa. Jika anda berharap terlalu banyak dari anak, ia tidak
akan lagi membuat anda senang, karena ia tahu bahwa hal itu mustahil.
2.) Jangan bandingkan
anak anda dengan anak lain. Biarkan ia tahu seberapa besar anda
menghargai sifat-sifat unik mereka dan karunia-karunia dari Allah.
3.) Beri dia
tanggung-jawab di rumah sehingga ia akan tahu bahwa ia
bagian penting dalam keluarga. Penghargaan adalah bahan bangunan bagi harga
diri yang sehat.
4.) Luangkan waktu bersama
anak.
Sehingga anak tahu bahwa ia penting bagi anda. Memberi materi kepada anak tak
dapat menggantikan diri anda baginya. Juga, seorang anak banyak dipengaruhi
oleh orang yang meluangkan paling banyak waktu bersamanya.
5.) Jika anda harus
mengatakan sesuatu yang negatif, katakalah secara posifif.
Saya tak pernah berkata kepada anak saya bahwa ia “jelek” ketika ia tak menaati
saya. Malahan, saya berkata kepadanya, “Kau anak yang baik, dan anak yang baik
tidak melakukan hal yang baru saja kau lakukan!” (Lalu saya pukul pantatnya).
6.) Sadarilah, kata
“tidak” berarti “Saya peduli padamu.” Ketika menemukan
caranya, secara intuitif anak tahu anda tak cukup peduli untuk melarangnya.
7.) Harapkan agar
anak anda meniru anda. Anak belajar dari teladan orang-tuanya.
Orang-tua yang bijak tak akan pernah berkata kepada anaknya, “Lakukan apa
kataku, bukan apa yang kulakukan.”
8.) Jangan beri
jaminan kepada anak anda atas masalahnya. Singkirkan batu
sandungan; biarkan batu loncatan ada di jalurnya.
9.) Layani Allah
dengan segenap hati anda. Saya perhatikan, anak, yang
orang-tuanya suam-suam kuku, jarang melayani Allah saat ia dewasa kelak. Anak
Kristen dari orang tua yang belum selamat dan anak dari orang-tua Kristen yang
berkomit-men penuh biasanya tetap melayaniNya ketika berada di luar “tempat
asalnya.”
10.) Ajarkan Firman
Tuhan kepada anak. Orang tua sering memprioritaskan
pendidikan anaknya tetapi gagal memberikan pendidikan terpenting yang bisa
diperoleh anak itu, yakni pendidikan Alkitab.
Prioritas Pelayanan, Pernikahan dan
Keluarga (The Priorities of Ministry, Marriage and Family)
Mungkin
kesalahan yang paling sering muncul yang dilakukan oleh tiap pemimpin Kristen
adalah meremehkan pernikahan dan keluarganya karena pengabdian kepada
pelayanannya. Pemimpin itu membenarkan dirinya dengan berkata bahwa
pengorbanannya adalah “untuk pekerjaan Tuhan.”
Kesalahan
itu diperbaiki ketika pelayan pemuridan menyadari bahwa ketaatan dan
pengabdiannya yang sejati kepada
Allah tercermin oleh hubungannya dengan pasangan hidupnya dan anak-anaknya.
Seorang pendeta tak dapat berkata bahwa ia mengabdi kepada Allah jika ia tidak
mengasihi istrinya seperti Kristus mengasihi gerejaNya, atau jika ia tak mau
meluangkan waktu untuk bercengkerama dengan anak-anaknya demi mendidik mereka
agar tunduk pada pengawasan dan peringatan dari Tuhan.
Lagipula,
biasanya, tanda pelayanan yang bersifat kedagingan yang dilakukan dengan
kekuatan diri sendiri adalah sikap tidak mempedulikan pasangan nikah dan
anak-anak demi “pelayanan”. Ada banyak pendeta gereja lembaga yang memikul
beban kerja berat, karena mereka membuat diri mereka lelah demi tetap
menjalankan semua program gereja.
Yesus
berjanji bahwa bebanNya ringan dan kukNya enak (lihat Matius 11:30). Ia tidak
memanggil pelayan untuk menunjukkan pengabdiannya bagi dunia atau gereja dengan
mengorbankan cintanya kepada keluarganya. Ternyata, satu syarat untuk menjadi
penatua adalah ia “harus menjadi menjadi kepala keluarga yang baik” (1 Timotius
3:4). Hubungan dengan keluarganya adalah ujian bagi kelayakannya dalam
pelayanan.
Terkadang,
orang yang terpanggil untuk melakukan pelayanan berpindah-pindah dan harus
berada jauh harus menghabiskan waktu ekstra untuk fokus pada keluarganya ketika
berada di rumah. Setiap rekan sesama tubuh Kristus harus melakukan hal dalam
kuasanya sehingga tugas tersebut terlaksana. Pelayan pemuridan sadar bahwa
anak-anaknya adalah murid-murid utamanya. Jika ia gagal memuridkan
anak-anaknya, ia tak berhak untuk mencoba melakukan pemuridan di luar rumahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar