”Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.” Matius 19:6
PERSPEKTIF YANG TEPAT
Ikatan pernikahan didalam perspektif
iman Kristen yang dikehendaki dan ditetapkan Allah adalah ikatan seumur hidup.
Seumur hidup, karena didalam penyatuan
ini terlihat dengan jelas bahwa sesungguhnya Allah menjadi inisiatif pertama
yang memungkinkan hal ini terjadi, dan dengan otoritas-Nya Dia meneguhkan
pernikahan melalui lembaga Gereja.
Pernikahan bukanlah bersifat temporer
- sementara, melainkan seumur hidup sampai maut memisahkannya.
Allah tahu bahwa pada hakekatnya manusia itu
“sungguh tidak baik kalau seorang diri saja”, maka Ia menyediakan pasangan bagi
manusia untuk menjadi pendamping seumur hidup.
Manusia tidak dapat hidup sendirian,
dia membutuhkan seorang istri atau suami yang dapat menjadi partner atau rekan
yang setia, dapat dipercaya, saling mengasihi sehidup semati.
Allah menciptakan pendamping manusia
dengan cara mengambil “tulang rusuknya” dan membentuknya menjadi seorang
perempuan yang berbeda gender, dan selanjutnya diberikan kepada manusia untuk
menjadi pasangan yang sepadan dan penolong baginya (Kej 2:18, 21-22).
Ikatan yang sudah disatukan dan
diteguhkan Allah melalui lembaga pernikahan, prinsip dasarnya adalah “sungguh
amat baik!” (bnd Kej 2:31).
Sungguh amat baik, karena Allah-lah
yang sesungguhnya merancang dan membentuk manusia di dalam pernikahan itu (man
in marriage), sehingga karena perspektif ini, kesatuan dalam pernikahan:
(1) harus berbeda gender, dan
(2) sama sekali tidak boleh diceraikan
oleh manusia dengan alasan apapun.
Ini artinya tidak ada ruang atau celah
sedikitpun yang memungkinkan diberikannya izin pernikahan sesama jenis dan
perceraian, baik oleh Gereja, apalagi oleh Allah. Itu jelas tidak mungkin!
Tidak mungkin, karena ini akan
mencederai dan merusak otoritas Allah yang sudah menyatukannya.
Jika perceraian dilakukan, itu berarti
pemberian dan penyatuan oleh Allah dianggap tidak baik, sehingga tidak perlu
dipertahankan. Hal ini jelas merupakan kesalahan dan dosa dihadapan Allah.
Yang harus senantiasa diingat oleh
setiap orang percaya adalah bahwa ikatan yang sudah disatukan Allah didalam
pernikahan, prinsip dasarnya adalah baik dan tidak boleh diceraikan oleh
manusia dengan alasan apapun, baik alasan budaya (kawin cerai), ketidakcocokan,
masalah keuangan, tidak dapat memberikan keturunan, dan juga teologis (misalnya
perzinahan).
Meskipun sulit, karena idealis, sesungguhnya
inilah yang dikehendaki Allah, kesatuan pasangan untuk seumur hidup (unity
for a lifetime couple).
Perlindungan dan penegasan larangan
perceraian pernikahan haruslah tetap dijunjung tinggi. Tuhan Yesus mengatakan
dengan jelas didalam Matius 19:4-6: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang
menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? dan
firmanNya: sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu
dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka
bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa yang sudah dipersatukan oleh
Allah, tidak boleh diceraikan manusia”.
Ada tiga prinsip dasar kebenaran yang
perlu dikupas untuk dijadikan prinsip baku terhadap kesatuan (oneness)
dalam pernikahan yang bersifat seumur hidup, yaitu:
·
Penciptaan
manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan tujuannya adalah untuk
dipersatukan,
bukan untuk berdiri masing-masing, apalagi kalau sudah disatukan, kemudian
dipisahkan. Jadi, kodrat utamanya, penciptaan laki-laki dan perempuan adalah
untuk penyatuan, dan inisiatif penyatuan ini datangnya dari pihak Allah
sendiri.
·
Laki-laki
akan bersatu dengan istrinya, demikian sebaliknya.
Meskipun pada mulanya mereka berdua adalah dua pribadi yang berbeda dan berdiri masing-masing, tetapi pada saat disatukan didalam pernikahan, tidak lagi menjadi dua daging, tetapi satu daging. Kalau sudah satu, masa dipisahkan, diceraikan menjadi dua lagi, menjadi masing-masing lagi?
Meskipun pada mulanya mereka berdua adalah dua pribadi yang berbeda dan berdiri masing-masing, tetapi pada saat disatukan didalam pernikahan, tidak lagi menjadi dua daging, tetapi satu daging. Kalau sudah satu, masa dipisahkan, diceraikan menjadi dua lagi, menjadi masing-masing lagi?
·
Menjadi
satu daging adalah ikatan dan kesatuan yang total, baik secara luar (fisik) maupun
dalam (hati/jiwa), emosi, pikiran dan sexual. Dapat menjadi satu daging karena
dasar dan landasan ikatan dan penyatuannya adalah kasih Allah. Kalau
diceraikan, itu berarti menghancurkan kasih Allah yang menjadi dasar ikatan
pernikahan itu.
Semua penjabaran ini tetap menunjukkan
bahwa prinsip dasar utama pernikahan adalah bahwa Tuhan tidak pernah
merencanakan bahkan menghendaki perceraian, tetapi kesatuan.
Inilah yang indah dan mulia dihadapan
Allah, yaitu: “Allah menjadikan dua menjadi satu”. Pengkotbah 9:9 mengatakan: “Nikmatilah
hidup dengan istri (juga suami) yang kaukasihi seumur hidupmu, yang sia-sia,
yang dikaruniakan Tuhan kepadamu dibawah matahari, karena itulah bahagiamu
dalam hidup dan dalam usaha yang engkau lakukan dengan jerih payah dibawah
matahari”.
Ada
tiga penekanan di sini :
1.
Menikmati
hidup dengan istri atau suami.
2.
Yang
kita kasihi.
3.
Yang
dikaruniakan Tuhan kepada kita.
Inilah kebahagiaan yang Allah sediakan
sebagai penghiburan di tengah-tengah kehidupan yang sia-sia.
PEMAHAMAN PERCERAIAN
Pengertian sederhana tentang
perceraian adalah berakhirnya suatu ikatan pernikahan yang seharusnya seumur
hidup komitmennya. Hal ini dapat terjadi pada saat pasangan sudah tidak ingin
lagi melanjutkan kehidupan bersama sebagai suami-istri. Ini berarti adanya
pemutusan komitmen, baik secara sepihak maupun secara persetujuan bersama.
Biasanya pemutusan ini lebih banyak
pada unsur pemaksaan.
Yang pasti, perceraian ini tidak hanya
menyangkut berakhirnya hubungan antara mereka berdua, tetapi juga menyangkut
dimensi yang lebih luas, yaitu: anak-anak, harta benda.dan juga lembaga Gereja,
pemerintah serta Allah.
Mereka semua ikut terlibat didalammnya
dan harus menanggung akibatnya. Artinya, perceraian akan melibatkan semua
dimensi diatas secara terbuka didalam keterpisahan (perceraian) ini, yang pada
akhirnya akan banyak menimbulkan konflik yang tak habis-habisnya, dan dapat
menarik semua pihak ke dalam jurang kehancuran, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Pemahaman perceraian biasanya dapat
dilihat didalam dua perspektif, yaitu:
·
Cerai hidup, biasanya didasarkan pada
adanya ketidakcocokan, baik yang menyangkut masalah perzinahan, kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT), ekonomi, pertengkaran, dan sebagainya – seribu satu macam alasan
dapat digunakan sebagai dalih atau alasannya dan biasanya klasik – ya, itu-itu
saja, tidak ada yang baru!
·
Cerai mati, biasanya didasarkan pada
kenyataan bahwa salah satu pasangan, suami atau istri meninggal. Dalam
‘perceraian’ karena ditinggal mati oleh pasangan, ikatan hubungan suami istri
berakhir pada saat salah satu pasangan meninggal sehingga tidak ada kewajiban
apapun untuk tetap setia didalam ikatan dengan pasangan yang sudah meninggal.
Kalau tetap setia, itu merupakan bukti kongkret akan ikatan mulia yang didasarkan
kasih yang murni, yang dibawa sampai mati dengan cara tidak menikah lagi.
Di dalam melihat dan memahami kasus
perceraian, garis tegas yang umum digunakan didalam menilai penyebab
perceraian, terutama adalah pada faktor manusia (human error) dan
duniawi (secular). Faktor manusia, yaitu adanya keegoisan, ketidakpuasan
dan pementingan diri sendiri.
Sedangkan faktor duniawi, yaitu pada
ketidaksetiaan (perzinahan), materialisme dan kenikmatan dunia.
Kedua faktor dominan ini biasanya menjadi
pencetus perceraian diluar kasus cerai mati yang ada diluar faktor manusia dan
duniawi, tapi pada Allah.
TANTANGAN IMAN KRISTEN
Tantangan yang dimaksudkan disini
lebih dimuarakan pada pernyataan Tuhan Yesus, dan Rasul Paulus pun pernah
mengungkapkan permasalahan perceraian didalam dua kebenaran Firman. Kalau tidak
hati-hati, itu dapat disalah tafsirkan.
Dua kebenaran Firman Tuhan itu adalah:
·
Matius
19:9: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan istrinya,
kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah”.
Penekanannya pada: ‘zinah’. Ini
seolah-olah dapat menjadi alasan pembenaran dalam perceraian.
·
I
Korintus 7:15: “Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai,
biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak
terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera”.
Penekananya pada kondisi ‘tidak seiman’,
maka perceraian dapat dikabulkan.
Dari kedua pernyataan ini, terlihat
seolah-olah perceraian didalam Kekristenan itu diizinkan dengan dua alasan
pasti, yaitu:
·
Karena perzinahan. Perhatikan istilah
“kecuali zinah” (Excep for marital unfaithfulness - kecuali
ketidaksetiaan didalam perkawinan). Ketidaksetiaan disini menunjuk kepada
perzinahan (penyelewengan dengan orang lain). Penyelewengan inilah yang
‘membuka’ ikatan pernikahan itu. Membuka ikatan, karena sudah menyatukan dengan
tubuh pribadi lain yang bukan pasangannya. Dasarnya : I Korintus 6:16, “Atau
tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul,
menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab, demikian kata nas: Keduanya akan menjadi
satu daging.” Perzinahan menjadi alasan diizinkannya perceraian, karena
adanya kesatuan dengan ‘daging yang baru’, sedangkan ‘daging yang lama’
ditinggalkan! Karena itulah perzinahan dikategorikan tindakan percabulan! Kalau sudah percabulan, itu berarti sudah tidak ada kasih
dan setia. Layakkah pernikahan dipertahankan ?
·
Karena tidak seiman. Perhatikan istilah “orang
yang tidak beriman” (The unbeliever leave - orang tidak percaya
meninggalkan). Kalau orang yang tidak percaya meninggalkan. cerai
boleh/diterima. Alasannya, tidak ada kesatuan/kecocokan dalam prinsip iman.
Dasarnya didalam II Korintus 6:13-16a: “Maka sekarang, supaya timbal balik – aku berkata seperti kepada anak-anakku -:Bukalah hati kamu selebar-lebarnya! Jangan kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya.Sebab persamaan apakah yang terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan?Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang yang tidak percaya? Apakah hubungan antara bait Allah dengan berhala?” Izin perceraian itu diberikan karena adanya perbedaan mendasar dan karakter antara iman Kristen dengan yang non. Kedua kondisi ini berbeda, bahkan cenderung berlawanan, tidak mungkin disatukan. Dari pada banyak menimbulkan problem, masalah, baik didalam teologi, cara perpikir, maupun tingkah-laku, lebih baik bercerailah!
Dasarnya didalam II Korintus 6:13-16a: “Maka sekarang, supaya timbal balik – aku berkata seperti kepada anak-anakku -:Bukalah hati kamu selebar-lebarnya! Jangan kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya.Sebab persamaan apakah yang terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan?Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang yang tidak percaya? Apakah hubungan antara bait Allah dengan berhala?” Izin perceraian itu diberikan karena adanya perbedaan mendasar dan karakter antara iman Kristen dengan yang non. Kedua kondisi ini berbeda, bahkan cenderung berlawanan, tidak mungkin disatukan. Dari pada banyak menimbulkan problem, masalah, baik didalam teologi, cara perpikir, maupun tingkah-laku, lebih baik bercerailah!
Bagaimana sesungguhnya memberikan
jawaban terhadap kedua alasan di atas yang digunakan untuk niat bercerai?
Jawaban yang pasti: tetap tidak diizinkan bercerai dalam bentuk
alasan apapun.
Mengapa?
·
Kalau
diperhatikan, konteks Matius, khususnya Matius 19:8, mengungkapkan alasan utama
Tuhan Yesus mengatakan demikian, yaitu karena ‘ketegaran hati manusia’ –
pikiran dan hati manusia yang membatu, menjadi keras dan mau menang
sendiri.Sesungguhnya, sejak dari awal Allah tidaklah menghendaki hal ini.Sekali
lagi, Allah tidaklah menghendaki hal ini! Kalau manusia keras kepala, membatu
dan tetap menuntut untuk bercerai, maka Tuhan Yesus memberikan prasyaratnya,
yaitu karena alasan zinah, dan itupun konsekwensinya pasangan itu tidak boleh
menikah lagi. Kalau sampai menikah lagi, maka dia dikategorikan berzinah. Berzinah, karena
hidup dengan yang bukan istri/suaminya yang sah. Tidak sah dihadapanTuhan
dan Gereja. Sekalipun mungkin pemerintah mengizinkan perceraian.
Konsekwensi yang harus diterima adalah bahwa sampai kapanpun iman Kristen, dalam hal ini Gereja, tidak akan memberikan peneguhan kedua kalinya didalam pernikahan! Kalau tetap dipaksakan, itu biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh yang bersangkutan diluar sepengetahuan Gereja. Kalau ada lembaga Gereja tertentu mengizinkan pernikahan kembali, itu adalah dalam bentuk kompromi yang gereja lakukan untuk menolong orang yang bercerai itu tidak melakukan tindak perzinahan yang berlanjut. Artinya, dari pada melakukan dosa terus-menerus, lebih baik disahkan saja, asal dengan catatan: ada surat resmi perceraian yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah. Dalam hal ini, Gereja telah melakukan kekeliruan, karena otoritasnya sudah tergeser, bukannya berlindung pada Allah, tetapi berlindung dibalik ‘jubah’ pemerintah. Inilah sebetulnya bentuk kompromi yang sangat mengerikan, yang perlu diwaspadai oleh setiap orang.
Lebih lanjut, didalam kasus perzinahan, kadangkala ada ‘tiga wajah’ muncul didalam kasus perceraian, yaitu:
a. Tidak boleh cerai dan tetap dengan pasangannya yang semula.
b. Tidak boleh cerai (tidak diizinkan oleh Gereja karena Gereja tidak mengeluarkan piagam cerai), tetapi kalau ada surat cerai dari pemerintah,‘diizinkan’ menikah lagi dengan catatan: ‘silent wedding’ (nikah diam-diam).
c. Boleh cerai (resmi dari pemerintah) dan diteguhkan kedua kali didalam pernikahan oleh pihak Gereja.
Sebetulnya perceraian itu tidak akan pernah terjadi kalau manusia tidak menjadi keras kepala. Bagi yang melakukan perzinahan, tidak keras kepala dalam pengertian mau meninggalkan dosa perzinahan dan bertobat. Dan bagi pasangan yang disakiti, tidak keras kepala dalam pengertian mau memberikan pengampunan dan menerima kembali pasangan dengan apa adanya berdasarkan kasih Allah. Maka pemulihan hubungan suami istri didapatkan kembali dan perceraian dapat dihindari.
Jalan kasih inilah yang seharusnya menjadi ‘jalan pertama’ yang harus ditempuh untuk menyelesaikan persoalan perzinahan dalam keluarga.
‘Jalan kedua’ adalah keputusan ‘pisah’ (split), yaitu: meskipun dihadapan Tuhan masih berstatus ‘suami-istri’, tetapi karena dosa perzinahan, pasangan untuk sementara waktu berpisah, mengambil jalannya masing-masing dengan harapan keterpisahan itu dapat membuat kedua belah pihak melakukan ‘evaluasi’ untuk mencari dan menemukan sumber permasalahan dan dengan kerendahan hati mencari solusi untuk rujuk kembali. Tetapi jika ternyata tetap tidak bisa bersatu, maka kedua belah pihak haruslah didalam kondisi ‘selibat’ – tidak menikah lagi! Inilah yang menjadi kesimpulan murid-murid pada saat menyimpulkan pengajaran Tuhan Yesus didalam Matius 19:10,“Jika demikian halnya hubungan antara suami-istri, lebih baik jangan kawin lagi.”. Penekannya: jangan kawin lagi!
‘Jalan ketiga’ adalah seperti yang Tuhan Yesus katakan, yaitu: “harus memikul salib” (Luk 14:27).
Artinya, ada harga yang harus dibayar dalam menjalani pernikahan Kristen! Dalam pengertian, pada saat mengungkapkan “janji pernikahan” dikatakan: “... sebagai suami/istri yang sah dihadapan Tuhan dan jemaat-Nya, saya berjanji akan tetap mengasihi dan melayani dia dengan setia, baik pada waktu suka maupun duka, kelimpahan maupun kekurangan, sehat maupun sakit, dan tetap menuntut hidup suci dengan suami/istri saya dalam pemeliharaan-Nya guna menyatakan kesetiaan dan iman saya dalam segala hal kepadanya sesuai dengan Injil Kristus Tuhan”.
Kalau diperhatikan janji pernikahan ini, karakter/sifatnya adalah positif, yaitu: komitment total (total commitment). Jelas bukan kondisi bersyarat (unconditional), karena ikatannya sampai maut memisahkan. Artinya, pemisahan itu baru sungguh terjadi pada saat kematian. Diluar itu tidak ada pemisahan (perceraian). Pada saat hidup, keluarga kita ada didalam kesukaan, kelimpahan dan sehat, kasih menjadi landasan untuk setia dan melayani didalam kondisi baik dan solid. Namun jika yang terjadi sebaliknya, ada kedukaan, kekurangan dan sakit penyakit, maka kasih yang menjadi landasan mengalami pengujian, apakah masih ada kesetiaan dan pelayanan, ataukah mulai memudar? Seharusnya, teruji kemurniannya (tidak meninggalkan/cerai), karena ada “salib yang harus dipikul” dan yang terpenting, ada yang disebut: “kekuatan cinta ilahi” yang dahsyat, yang dapat mengubah segala kondisi menjadi pulih dan mapan kembali (baca I Kor 13:1-13).
Tiga ‘jalan’ inilah yang seharusnya lebih dipilih. Tapi kalau tetap tidak mau, maka urusan perceraian itu adalah menjadi urusan dan tanggung jawab yang bersangkutan dan tidak boleh dibebankan kepada Gereja, apalagi kepada Tuhan, dalam pengertian Gereja berhak menolak perceraian dan tidak akan mengizinkan pernikahan yang kedua, dan yang terpenting, dihadapan Tuhan itu perbuatan dosa! Dosa, karena berzinah dan menghancurkan pernikahan yang dibangun oleh Tuhan.
Konsekwensi yang harus diterima adalah bahwa sampai kapanpun iman Kristen, dalam hal ini Gereja, tidak akan memberikan peneguhan kedua kalinya didalam pernikahan! Kalau tetap dipaksakan, itu biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh yang bersangkutan diluar sepengetahuan Gereja. Kalau ada lembaga Gereja tertentu mengizinkan pernikahan kembali, itu adalah dalam bentuk kompromi yang gereja lakukan untuk menolong orang yang bercerai itu tidak melakukan tindak perzinahan yang berlanjut. Artinya, dari pada melakukan dosa terus-menerus, lebih baik disahkan saja, asal dengan catatan: ada surat resmi perceraian yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah. Dalam hal ini, Gereja telah melakukan kekeliruan, karena otoritasnya sudah tergeser, bukannya berlindung pada Allah, tetapi berlindung dibalik ‘jubah’ pemerintah. Inilah sebetulnya bentuk kompromi yang sangat mengerikan, yang perlu diwaspadai oleh setiap orang.
Lebih lanjut, didalam kasus perzinahan, kadangkala ada ‘tiga wajah’ muncul didalam kasus perceraian, yaitu:
a. Tidak boleh cerai dan tetap dengan pasangannya yang semula.
b. Tidak boleh cerai (tidak diizinkan oleh Gereja karena Gereja tidak mengeluarkan piagam cerai), tetapi kalau ada surat cerai dari pemerintah,‘diizinkan’ menikah lagi dengan catatan: ‘silent wedding’ (nikah diam-diam).
c. Boleh cerai (resmi dari pemerintah) dan diteguhkan kedua kali didalam pernikahan oleh pihak Gereja.
Sebetulnya perceraian itu tidak akan pernah terjadi kalau manusia tidak menjadi keras kepala. Bagi yang melakukan perzinahan, tidak keras kepala dalam pengertian mau meninggalkan dosa perzinahan dan bertobat. Dan bagi pasangan yang disakiti, tidak keras kepala dalam pengertian mau memberikan pengampunan dan menerima kembali pasangan dengan apa adanya berdasarkan kasih Allah. Maka pemulihan hubungan suami istri didapatkan kembali dan perceraian dapat dihindari.
Jalan kasih inilah yang seharusnya menjadi ‘jalan pertama’ yang harus ditempuh untuk menyelesaikan persoalan perzinahan dalam keluarga.
‘Jalan kedua’ adalah keputusan ‘pisah’ (split), yaitu: meskipun dihadapan Tuhan masih berstatus ‘suami-istri’, tetapi karena dosa perzinahan, pasangan untuk sementara waktu berpisah, mengambil jalannya masing-masing dengan harapan keterpisahan itu dapat membuat kedua belah pihak melakukan ‘evaluasi’ untuk mencari dan menemukan sumber permasalahan dan dengan kerendahan hati mencari solusi untuk rujuk kembali. Tetapi jika ternyata tetap tidak bisa bersatu, maka kedua belah pihak haruslah didalam kondisi ‘selibat’ – tidak menikah lagi! Inilah yang menjadi kesimpulan murid-murid pada saat menyimpulkan pengajaran Tuhan Yesus didalam Matius 19:10,“Jika demikian halnya hubungan antara suami-istri, lebih baik jangan kawin lagi.”. Penekannya: jangan kawin lagi!
‘Jalan ketiga’ adalah seperti yang Tuhan Yesus katakan, yaitu: “harus memikul salib” (Luk 14:27).
Artinya, ada harga yang harus dibayar dalam menjalani pernikahan Kristen! Dalam pengertian, pada saat mengungkapkan “janji pernikahan” dikatakan: “... sebagai suami/istri yang sah dihadapan Tuhan dan jemaat-Nya, saya berjanji akan tetap mengasihi dan melayani dia dengan setia, baik pada waktu suka maupun duka, kelimpahan maupun kekurangan, sehat maupun sakit, dan tetap menuntut hidup suci dengan suami/istri saya dalam pemeliharaan-Nya guna menyatakan kesetiaan dan iman saya dalam segala hal kepadanya sesuai dengan Injil Kristus Tuhan”.
Kalau diperhatikan janji pernikahan ini, karakter/sifatnya adalah positif, yaitu: komitment total (total commitment). Jelas bukan kondisi bersyarat (unconditional), karena ikatannya sampai maut memisahkan. Artinya, pemisahan itu baru sungguh terjadi pada saat kematian. Diluar itu tidak ada pemisahan (perceraian). Pada saat hidup, keluarga kita ada didalam kesukaan, kelimpahan dan sehat, kasih menjadi landasan untuk setia dan melayani didalam kondisi baik dan solid. Namun jika yang terjadi sebaliknya, ada kedukaan, kekurangan dan sakit penyakit, maka kasih yang menjadi landasan mengalami pengujian, apakah masih ada kesetiaan dan pelayanan, ataukah mulai memudar? Seharusnya, teruji kemurniannya (tidak meninggalkan/cerai), karena ada “salib yang harus dipikul” dan yang terpenting, ada yang disebut: “kekuatan cinta ilahi” yang dahsyat, yang dapat mengubah segala kondisi menjadi pulih dan mapan kembali (baca I Kor 13:1-13).
Tiga ‘jalan’ inilah yang seharusnya lebih dipilih. Tapi kalau tetap tidak mau, maka urusan perceraian itu adalah menjadi urusan dan tanggung jawab yang bersangkutan dan tidak boleh dibebankan kepada Gereja, apalagi kepada Tuhan, dalam pengertian Gereja berhak menolak perceraian dan tidak akan mengizinkan pernikahan yang kedua, dan yang terpenting, dihadapan Tuhan itu perbuatan dosa! Dosa, karena berzinah dan menghancurkan pernikahan yang dibangun oleh Tuhan.
·
Demikian
juga kalau diperhatikan konteks I Korintus 7, khususnya ayat 12-14, terungkap: “Kepada
orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara
beristrikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama
dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. Dan kalau ada seorang istri
bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama
dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. Karena suami yang tidak
beriman itu dikuduskan oleh istrinya dan istrinya yang tidak seiman itu
dikuduskan oleh suaminya.Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah
anak-anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus.”
Di sini Paulus membicarakan
tentang pasangan yang sudah menikah sebelum mereka percaya kepada Kristus, dan
kemudian salah satunya menjadi percaya dan pasangannya belum.
Rasul Paulus mengharapkan
mereka yang sudah percaya tetap setia pada pasangannya yang belum percaya,
tidak usah menuntut perceraian. Tujuannya: supaya mereka yang sudah percaya itu
dapat menguduskan (menyelamatkan) pasangannya yang belum percaya.
Tujuan untuk tetap setia dan tidak menceraikan pasangannya yang belum percaya didasarkan pada dua kebenaran teologis yang perlu dipahami oleh setiap orang percaya, khususnya suami atau istri yang pasangannya belum percaya,
Tujuan untuk tetap setia dan tidak menceraikan pasangannya yang belum percaya didasarkan pada dua kebenaran teologis yang perlu dipahami oleh setiap orang percaya, khususnya suami atau istri yang pasangannya belum percaya,
yaitu:
a. Ada anugrah Allah yang tidak hanya menyelamatkan suami atau istri yang percaya, tetapi juga seluruh anggota keluarganya yang belum percaya. Dasar imannya adalah: “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu” (Kis 16:31).
b. Ada anugrah Allah yang menempatkan anak-anak dari suami atau istri yang percaya tetapi pasangannya tidak percaya dengan ‘sebutan baru’, yaitu: “anak-anak kudus” dan bukan “anak-anak cemar”. Mengapa? Alasannya sederhana. Sebelum salah satu dari mereka percaya kepada Kristus, mereka adalah orang berdosa dan keturunan mereka adalah anak-anak cemar. Tapi karena anugrah Allah, ketika salah satu dari pasangan percaya kepada Tuhan, maka kepercayaan (iman) yang dimiliki ini menjadi dasar pengudusan yang akan diterima. Dalam pengertian, menjadi keturunan atau anak orang percaya.
Tapi kalau sebaliknya, pasangan yang tidak percaya itu meninggalkan (menceraikan) pasangannya yang percaya, maka Rasul Paulus mengizinkan perceraian, dan pasangan yang percaya yang ditinggalkan (diceraikan) tidak terikat lagi pada pernikahan sebelumnya, karena pernikahan mereka tidaklah didalam Tuhan sehingga tidak ada tuntutan seperti yang diminta didalam pemberkatan nikah Kristen.
Namun perlu diperhatikan, pada saat Rasul Paulus mengatakan hal ini, dia tetap menghendaki otoritas Tuhan lebih diutamakan, yaitu tidak boleh bercerai. Bahkan Rasul Paulus didalam ayat 15b mengatakan: “Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera”. Artinya, pengutamaan menjadi pasangan yang percaya terhadap pasangannya yang tidak percaya adalah untuk menghadirkan damai sejahtera, bukan pertentangan dan perbedaan yang membawa perceraian.
a. Ada anugrah Allah yang tidak hanya menyelamatkan suami atau istri yang percaya, tetapi juga seluruh anggota keluarganya yang belum percaya. Dasar imannya adalah: “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu” (Kis 16:31).
b. Ada anugrah Allah yang menempatkan anak-anak dari suami atau istri yang percaya tetapi pasangannya tidak percaya dengan ‘sebutan baru’, yaitu: “anak-anak kudus” dan bukan “anak-anak cemar”. Mengapa? Alasannya sederhana. Sebelum salah satu dari mereka percaya kepada Kristus, mereka adalah orang berdosa dan keturunan mereka adalah anak-anak cemar. Tapi karena anugrah Allah, ketika salah satu dari pasangan percaya kepada Tuhan, maka kepercayaan (iman) yang dimiliki ini menjadi dasar pengudusan yang akan diterima. Dalam pengertian, menjadi keturunan atau anak orang percaya.
Tapi kalau sebaliknya, pasangan yang tidak percaya itu meninggalkan (menceraikan) pasangannya yang percaya, maka Rasul Paulus mengizinkan perceraian, dan pasangan yang percaya yang ditinggalkan (diceraikan) tidak terikat lagi pada pernikahan sebelumnya, karena pernikahan mereka tidaklah didalam Tuhan sehingga tidak ada tuntutan seperti yang diminta didalam pemberkatan nikah Kristen.
Namun perlu diperhatikan, pada saat Rasul Paulus mengatakan hal ini, dia tetap menghendaki otoritas Tuhan lebih diutamakan, yaitu tidak boleh bercerai. Bahkan Rasul Paulus didalam ayat 15b mengatakan: “Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera”. Artinya, pengutamaan menjadi pasangan yang percaya terhadap pasangannya yang tidak percaya adalah untuk menghadirkan damai sejahtera, bukan pertentangan dan perbedaan yang membawa perceraian.
Percayalah bahwa perceraian
bukan jalan yang baik, melainkan jalan yang terjal dan berliku, yang
ujungnya membawa kehancuran. Karena itu, perceraian karena beda iman tetap
tidak diizinkan.
YANG PERLU DIPERHATIKAN
Pepatah mengatakan: “Menjaga lebih
baik dari pada mengobati”. Artinya, sebelum terjadi ‘sesuatu’ didalam kehidupan
suami-istri yang melahirkan suatu problematika yang pelik, baiknya suami-istri
lebih memberikan perhatian yang serius didalam membangun relasi antara mereka
berdua.
Relasi yang lebih menekankan pada dua
hal yang
dikatakan di dalam Amsal 3:3-4,“Janganlah kiranya kasih dan setia
meninggalkan engkau. Kalungkanlah pada lehermu, tuliskanlah pada loh hatimu,
maka engkau akan mendapat kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta
manusia.”
Kunci untuk mengokohkan hubungan suami
istri supaya terhindar dari perceraian dalam bentuk dan alasan apapun adalah
mengalungkan:
(1)
kasih
dan (2)setia, didalam hati.
Yang pasti, perceraian itu
bukanlah hasil keputusan semalam, tetapi hasil dari kumulatif bertahun-tahun
yang tidak terselesaikan dengan baik sehingga melahirkan ‘bom waktu’ dalam
hubungan suami-istri,‘bom’ yang menghancurkan dan memporak-porandakan, baik
bagi suami-istri itu sendiri, bagi anak-anak, maupun keluarga masing-masing.
Selain itu, perceraian pada umumnya
terjadi dikarenakan suami-istri itu sendiri.
Artinya, kedua-duanya adalah ‘aktor
intelektualnya’ yang menciptakan dan menyebabkan kondisi chaos (kacau
balau) ini. Rumusannya sangatlah jelas, bahwa mereka berdualah yang paling
bertangung jawab didalam kegagalan ini. Yang pasti, Tuhan akan menuntut pertanggungjawaban dari mereka
berdua.
Perceraian itu begitu mahal ongkosnya,
maka perlu ada komitmen yang tinggi dan serius bagi calon-calon suami-istri
sebelum mereka menjadi suami-istri yang sah dihadapan Tuhan dan Jemaat untuk
melihat dan mengimani bahwa apa yang sudah disatukan oleh Allah dalam kehidupan
mereka tidak boleh dirusak, apalagi sampai diceraikan oleh manusia karena
mereka berdua akan berhadapan dengan Allah sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar