Minggu, 04 September 2016

Penyelesaian Konflik Dalam Pernikahan.



Image result for Penyelesaian Konflik dalam Keluarga  Konflik dapat dialami oleh setiap orang dalam hubungannya dengan orang lain. Konflik umum yang seringkali melanda gereja, yaitu antara lain: gossip dan fitnah, keluhan atas pemimpin gereja, ketegangan dalam keluarga, perceraian, perzinahan, menuntut saudara ke meja hijau. Konflik bisa terjadi dalam hubungan antara sesama anggota keluarga, anggota gereja, dan anggota masyarakat maupun dalam hubungan suami-isteri.

Konflik dalam Pernikahan

Konflik merupakan bagian dari kehidupan suatu pernikahan dengan berbagai penyebab yang seringkali membawa ke dalam kehancuran suatu pernikahan dan bahkan sampai pada tingkat perceraian, bukan pada kebahagiaan hidup keluarga.

Itulah sebabnya, para calon suami-isteri harus dipersiapkan selain untuk mengantisipasi dan mengatasi kemungkinan-kemungkinan sumber konflik, mereka juga perlu dilatih untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang seringkali menjadi penyebab konflik.

Dalam kasus-kasus pernikahan yang terjadi di tengah-tengah jemaat, konflik terjadi ketika masing-masing pihak saling mempertahankan harga dirinya, karena tidak mau mengakui kesalahan yang dibuatnya. Dan juga, masing-masing pihak saling menuntut bahwa dirinya merasa benar dan butuh diakui oleh pasangannya.

Dalam kasus ini, rekonsiliasi merupakan hal yang sulit untuk dilakukan atau bahkan mustahil untuk dilakukan dan akhirnya mengarah kepada perceraian. Bahkan ada seorang isteri yang merasa bahwa jika ia berdamai atau kembali kepada suaminya, maka ia akan merasa kesulitan dan tersiksa batin karena suaminya berlaku kasar kepadanya.

Akhirnya seorang isteri akan memilih untuk meninggalkan suaminya daripada hidupnya selalu dibayang-bayangi oleh rasa takut, tidak merasa aman dan nyaman. Tidaklah mudah bagi seseorang untuk mengambil keputusan dalam situasi dan kondisi seperti itu. Namun, sebagai anak TUHAN yang mau-rela untuk mengerti dan tunduk pada kehendak TUHAN, rindu untuk mendapatkan jawabannya, maka ia harus berjalan dalam terang firman TUHAN. Tidak ada cara lain untuk mengatasinya. Cara satu-satunya yang harus dikerjakan ialah masing-masing pihak harus datang kepada Yesus melalui kebenaran Firman-Nya dan saling merendahkan diri satu dengan yang lain (bd. Efesus 4:32; 5:33).

Ken Sande di dalam bukunya The Peacemaker mendefinisikan konflik itu sebagai sebuah perbedaan pendapat atau tujuan, sehingga dapat membuat frustasi terhadap tujuan atau keinginan yang ingin dicapai (Ken Sande, 2001:24).

Jadi, perbedaan yang ada antara pasangan suami-isteri, baik itu pandangan maupun tujuan bisa membuat seseorang menjadi frustasi dalam mencapai tujuan dan harapan-harapannya tersebut. Perbedaan sekecil apapun dapat memicu konflik seseorang dengan orang lain (pasutri), bahkan perbedaan itu juga dapat menyebabkan keretakan hubungan yang bersifat sementara maupun permanen, yang pada akhirnya terjadi kepahitan terhadap pasangannya.

Di sisi yang lain, perbedaan juga dapat menyatakan kebesaran TUHAN yang telah menciptakan setiap individu itu unik adanya (spesial). Masing-masing orang memiliki opini, gambaran atau perspektif, pendirian atau keyakinan, kerinduan, dan prioritas yang berbeda-beda sesuai dengan budaya yang melatarbelakanginya. Hal yang paling penting di sini adalah bagaimana kita dapat menangani dan mengatasi perbedaan dari pihak-pihak yang berbeda. Baik itu beda dalam hal kebiasaan, karakter, “pendapat” maupun “cara pandang”.

Konsep Rekonsiliasi

Rekonsiliasi atau perdamaian merupakan suatu tindakan mendamaikan atau keadaan didamaikan, atau dengan kata lain sebagai proses membuat hubungan menjadi mantap, cocok atau harmonis (compatible).

Rasul Paulus menuliskan istilah rekonsiliasi dalam Perjanjian Baru dengan memakai kata kerja katallasso (Yunani) dan muncul sekali dalam hubungannya dengan relasi suami-isteri, atau dalam hubungannya antara sesama manusia (1 Kor 7:11). Lima kali dipakai dalam hubungannya dengan Allah dan manusia (Roma 5:10; 2 Kor 5:18,19,20). Sedangkan untuk kata benda katallage atau pendamaian muncul sebanyak empat kali (Roma 5:11; 11:15; 2 Kor 5:18,19).

Sebagai contoh adalah “Rekonsiliasi Agung” yang telah dikerjakan oleh Allah Bapa kita di dalam Yesus Kristus adalah bahwa Allah telah mendamaikan manusia berdosa dengan diri-Nya melalui karya Yesus di kayu salib (bd. Kolose 2:13-14). Jadi, rekonsiliasi di sini merupakan suatu inisiatif, kreatif dan tindakan nyata, “pro-aktif”, pihak Allah-lah yang menjadi Juru Damai bagi kita.

Sekarang bagaimana dan apakah makna rekonsiliasi bagi pemulihan hubungan bagi pasangan suami isteri yang sedang mengalami konflik? Istilah rekonsiliasi dalam 1 Kor 7:11 menurut Terjemahan Baru (TB) menggunakan kata “berdamai”. Alkitab terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) dan The Living Bible menerjemahkannya dengan “kembali kepada suaminya”. Sedangkan dalam teks Yunaninya kata rekonsiliasi digunakan kata katallageto (aorist-imperative) yang berarti suatu tindakan yang harus dilakukan oleh isteri, yaitu kembali menyatu dan membangun hubungan persahabatan dengan suaminya (bd. 1 Ptr 3:1-2).

Kata dasar katallago (Yunani) berasal dari allaso yang berarti “berubah”, tetapi pada awalnya berarti “menukar”, yaitu menukar permusuhan menjadi persahabatan. Jadi, sebuah perdamaian merupakan tindakan aktif, bukanlah pasif. Isteri itu tidak mungkin diperdamaikan jikalau ia hanya pasif saja. Dalam hal ini, rekonsiliasi memiliki dua sudut pandang yang harus diperhatikan. Pertama sebagai ketaatannya terhadap perintah TUHAN; dan kedua menjaga supaya tidak jatuh dalam dosa percabulan.

Rekonsiliasi merupakan suatu tindakan yang terbaik menurut Paulus. Mengapa? Alasannya adalah bahwa pada dasarnya rekonsiliasi dipandang sebagai langkah ketaatan kepada perintah TUHAN (bd. 1 Kor 7:10). Meskipun demikian, Paulus telah menyadari bahwa ada kemungkinan di dalam kondisi tertentu rekonsiliasi tidak dapat dilakukan lagi karena ketegaran hati masing-masing pihak (bd. 1 Kor 7:11).

Implikasinya adalah jika rekonsiliasi dipandang sebagai ketaatan kepada perintah TUHAN, maka perubahan hubungan atau pemulihan yang diinginkan oleh pasangan suami- isteri tersebut dapat terwujud. Syaratnya adalah jikalau salah satu pasangan yang telah memisahkan diri dari pasangannya oleh karena sesuatu hal (konflik yang mengancam kehancuran rumah tangga mereka), maka ia harus kembali menyatu dan membangun persahabatan kembali dengan pasangannya. Hal itu juga disambut dengan respon yang baik oleh pasangannya (“kompromi” dan “bekerjasama” dalam penyelesaian).

 Pemecahan konflik secara Alkitabiah)

Manusia berdosa telah diperdamaikan dengan Allah oleh kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Oleh karena itu, kita yang percaya dan menerima Yesus secara pribadi dipanggil untuk menanggapi konflik dengan jalan yang berbeda sama sekali dari jalan dunia (Mat 5:9; Luk 6:27-36; Gal 5:19-26). Kita juga percaya bahwa konflik dapat memberikan kesempatan untuk memuliakan Allah, melayani orang lain, dan bertumbuh menjadi seperti Kristus (Roma 8:28-29; 1 Kor 10:31-11:1; Yak 1:2-4). Oleh karena itu, dalam menanggapi kasih Allah dan dalam menggantungkan diri pada anugerah Allah, maka perlu sebuah komitmen untuk menanggapi konflik sesuai dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Allah dimuliakan dalam perkara ini. Pusatkan kepada kehendak dan kemuliaan Kristus dalam sebuah perkara atau konflik anda (Kol 3:1-4).
b. Keluarkan balok di matamu. Dari pada menyalahkan orang lain untuk suatu konflik, kita percaya dalam kemurahan Allah kita dapat mengakui kesalahan-kesalahan kita kepada mereka. Berbicaralah kepada TUHAN untuk membantu kita dalam mengubah sikap dan kebiasaan kita yang mudah menimbulkan konflik dan mencari cara untuk memperbaiki kesalahan yang menjadi penyebab konflik (Ams 28:13; 1 Yoh 1:8,9).
c. Pemulihan dengan kelemahlembutan. Berbicaralah dengan lemah lembut secara pribadi dengan teman konflik anda (Ef 4:29).
d. Pergilah dan menjadi juru damai. Bersikaplah pro-aktif dengan mengejar kedamaian dan pemulihan sejati dengan cara yang saling menguntungkan, memaafkan orang lain sebagaimana Allah di dalam Kristus yang telah mengampuni segala kesalahan anda (Ef 4:1-3).

Tanggapan positif dalam menangani konflik

1. Pendamaian secara pribadi dan menyampaikan keputusannya kepada Tuhan, dan harus pergi kepada orang yang tidak mau berdamai secara pribadi dalam usahanya dalam penyelesaian konflik. Memaafkan semua pelanggaran. Mengadakan rekonsiliasi. Lakukanlah negosiasi atau “kompromi”, dan “bekerjasama” dalam menyelesaikan konflik yang anda hadapi.

2. Pendamaian dengan bantuan orang lain (pendeta atau konselor).Cobalah menggunakan mediator atau bantuan orang lain. Mintalah seorang wasit untuk menjadi penengah anda. Jika sudah terlalu gawat, maka tugas seorang hamba TUHAN yang harus ikut di dalamnya untuk menjadi penasihatnya.

Norman Wright memberikan
9 langkah untuk mengatasi konflik:

1. Pahamilah konflik yang anda hadapi.
2. Jangan mendiamkan suami/isteri anda.
3. Jangan menimbun perasaan/emosi anda.
4. Jika memungkinkan siapkan setting (suasana, tempat dan waktu) untuk menyatakan ketidaksepakatan anda.
5. Seranglah masalahnya dan jangan orangnya.
6. Jangan melemparkan perasaan-perasaan anda kepada suami atau isteri anda.
7. Jangan lari  dari pokok pembicaraan.
8. Sediakanlah jalan pemecahan bagi setiap kritikan yang anda lontarkan.
9. Jangan menggunakan kritikan sebagai lelucon.

Apabila anda salah akuilah, dan apabila anda benar diamlah!!!
(Ams 28:13).

8 Tips menjadi pendengar Yang baik

1. Jangan memotong percakapan.
2. Jangan biarkan pandangan anda berkeliaran, sebab anda akan terkesan tidak serius.
3. Cobalah berempati dengan perasaan pasangan anda.
4. Jangan memotong atau mengalihkan pembicaraan.
5. Jangan berusaha mengungguli cerita teman bicara anda.
6. Jangan mengkritik omongan teman bicara anda.
7. Ajukanlah pertanyaan-pertanyaan yang tepat, jangan ngawur dan apalagi tidak nyambung.
8. Jangan berdebat dengan teman bicara anda.

Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat TUHAN
(Ibrani 12:14)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar