Senin, 10 Agustus 2015

Keberagaman & Formalisme Peribadatan-Maleakhi (13).


"SUPAYA JANGAN KITA LUPA! (MALEAKHI)
PENDAHULUAN
  
Bukan soal uang. Apabila kitab Maleakhi disebut mungkin banyak di antara kita yang langsung teringat soal persepuluhan dan persembahan. Memang nabi Maleakhi adalah yang secara tegas menulis perihal tuntutan Allah dalam hal kewajiban umat Tuhan untuk mengembalikan apa yang menjadi milik-Nya, yang untuk zaman sekarang dapat dianggap sebagai "kewajiban finansial" untuk menyokong pekerjaan-Nya. Namun pekabaran utama kitab Maleakhi bukan soal uang, persepuluhan ataupun persembahan, melainkan masalah peribadatan dalam arti yang lebih luas.
 "Pokok pekabaran Maleakhi ialah bahwa sementara Allah telah menyatakan kasih-Nya kepada umat-Nya sepanjang sejarah mereka, kasih itu juga membuat umat-Nya bertanggungjawab kepada-Nya. Tuhan mengharapkan bangsa pilihan itu dan para pemimpinnya menuruti perintah-perintah-Nya...Walaupun mereka telah menjalankan upacara-upacara agama, namun itu merupakan formalisme yang gersang tanpa keyakinan yang tulus" [alinea kedua: dua kalimat pertama dan kalimat terakhir].
 Nabi Maleakhi (Ibr.: מַלְאָכִיMal`akiy, artinya Jurukabar-Ku) melayani sebagai nabi Tuhan sesudah bangsa Yehuda bermukim kembali di negeri mereka dan mulai menikmati kemapanan dalam banyak aspek kehidupan. Kemungkinan waktunya antara 420-415 SM, yaitu seratus tahun setelah pelayanan nabi Hagai dan nabi Zakharia ketika bangsa itu baru kembali dari pembuangan di Babel. Ini menjadikan Maleakhi sebagai nabi terakhir dalam zaman kenabian di Israel. Sebuah sumber menyebutkan bahwa Maleakhi termasuk anggota "Anshei Knesset HaGedolah" (Majelis Rakyat), sebuah lembaga yang didirikan oleh nabi Ezra yang bersidang secara berkala selama masa Bait Suci Kedua (520 SM-70 TM). Badan musyawarah beranggotakan 120 pemuka masyarakat tersebut, yang menjadi semacam "dewan agama" dalam tradisi Yahudi, antara lain telah menghasilkan kanonisasi "Tanach" (Kitabsuci Ibrani yang terdiri atas 24 kitab), melembagakan "Shemoneh Esreh" (doa wajib tiga kali sehari), dan ketentuan pemeliharaan hukum Torah. Selain Maleakhi, nabi-nabi yang juga pernah menjadi anggota badan ini termasuk Ezra, Nehemia, Daniel, Hagai dan Zakharia. (Lihat---> http://www.ou.org/about/judaism/anshei.htm).

Peribadatan formalitas. Tampaknya Maleakhi hidup pada masa di mana rakyat Yehuda sedang berada dalam suasana pergumulan iman, khususnya keyakinan apakah Tuhan benar-benar mengasihi mereka. "'Aku mengasihi kamu,' firman Tuhan. Tetapi kamu berkata: 'Dengan cara bagaimanakah Engkau mengasihi kami?'" (Mal. 1:2). Sebagian dari umat itu berada dalam kebimbangan, apakah percaya dan menurut perintah Allah itu masih berarti atau tidak. Banyak dari antara umat yang sisa dari bangsa pilihan itu yang tidak lagi menganggap Allah sebagai penolong mereka sehingga tidak ada rasa hormat dan takut kepada-Nya. Sebagian dari mereka yang masih tetap beribadah kepada Tuhan melakukannya secara formalitas saja, yaitu hanya sekadar "bentuk" yang dapat dilihat dari luar tetapi hampa akan "isi" yang hanya dirasakan dalam hati sanubari.
Keunikan kitab Maleakhi terletak pada gaya penuturannya yang berbentuk dialektika retorik, seakan-akan isinya adalah "perbantahan" antara Tuhan dengan umat-Nya. Sejauh yang dapat diidentifikasikan, keseluruhan isi kitab ini bisa dibagi ke dalam tujuh sessi bersoal-jawab:
 1. Perihal kasih Allah kepada Israel (1:1-5).
2. Perihal menghormati Allah dalam peribadatan (1:6-14).
3. Perihal menentang imam-imam (2:1-9).
4. Perihal perkawinan dan perceraian (2:10-16).
5. Perihal keadilan Allah (2:17-3:6).
6. Perihal persepuluhan (3:7-12).
7. Perihal arti dari melayani Tuhan (3:13-4:6).
 Pada dua ayat terakhir Maleakhi bernubuat mengenai "Elia" yang akan "membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya" (4:5, 6). Dalam mengantisipasi kegenapan janji inilah maka orang Yahudi memelihara tradisi untuk menyediakan satu kursi kosong saat mengadakan perjamuan Paskah dalam setiap keluarga, siapa tahu nabi yang sangat dihormati oleh bangsa Israel itu tiba-tiba muncul untuk mengumumkan datangnya Mesias. Tetapi nubuatan yang bersifat figuratif ini baru digenapi sekitar 400 tahun kemudian dalam sosok Yohanes Pembaptis yang mewarisi roh Elia (Mat. 11:14; Mrk. 9:11-13; Luk. 1:17), seorang yang sebelumnya dijuluki "utusan-Ku" yang akan mendahului kedatangan Mesias yang disebut "Malaikat Penyelamat" (Mal. 3:1).
 *Judul asli pelajaran pekan ini adalah "Lest We Forget! (Malachi)"

1.   KEWAJIBAN MEMULIAKAN ALLAH (Besarlah Tuhan)
 Makna persembahan kurban. Upacara persembahan kurban adalah inti dari peribadatan bangsa Israel purba, dan umat Yehuda sudah mulai menjalankan upacara suci itu segera setelah Bait Suci kedua yang dibangun oleh Zerubabel rampung. Namun tampaknya mereka mengabaikan aturan penting menyangkut kurban yang mereka persembahkan, bahwa hewan kurban itu harus sempurna tanpa cacat apapun (Im. 1:1-3, 22:18-25; Ul. 15:21). Tentu kesalahan tidak semata-mata pada umat yang membawa persembahan yang cacat, tetapi imam-imam yang menerima kurban itu seharusnya memeriksa dengan teliti kelaikannya sebelum melaksanakan upacara suci itu. 
 Sesuatu persembahan melambangkan rasa hormat dari pihak pemberi terhadap pihak penerima. Bangsa itu terikat untuk menghormati Allah dalam tiga aspek hubungan, yakni sebagai anak dengan Bapa mereka, sebagai hamba dengan Tuan mereka, dan sebagai rakyat dengan Raja mereka. Tetapi lebih daripada itu, persembahan kurban yang mereka adakan merupakan lambang dari Anak Domba Allah, yaitu Mesias yang datang dalam sosok Yesus Kristus, sebagai Kurban yang sempurna bagi penebusan dosa semua manusia sepanjang zaman.
 "Tentu saja, apa yang membuat tindakan-tindakan mereka itu bahkan lebih keji lagi dalam pemandangan Allah ialah bahwa kurban-kurban ini semuanya merujuk kepada Yesus, Anak Allah yang tidak bernoda dan tidak bercacat (Yoh. 1:29; 1Ptr. 1:18-19). Hewan-hewan itu harus tanpa cela sebab Yesus harus tidak bercela agar menjadi kurban yang sempurna bagi kita" [alinea ketiga].
  
Mencemari mezbah Tuhan. Mezbah Tuhan melambangkan kekudusan Allah, itulah sebabnya Tuhan memberlakukan aturan sangat ketat berkaitan dengan pelayanan mezbah. Segala bentuk kenajisan harus dijauhkan dari mezbah Tuhan. Selain hewan-hewan kurban harus diperhatikan kesempurnaan fisiknya, imam-imam yang melayani di mezbah Tuhan juga harus steril dari kenajisan (Im. 22:2-8). Bahkan, imam-imam dari keturunan Harun yang memang ditentukan untuk melayani mezbah, juga harus diseleksi berdasarkan kesempurnaan fisik mereka karena yang cacat tidak boleh mendekati mezbah (Im. 21:17-21).
 Sebagai umat Kristen, "Bait Suci" yang kita miliki sekarang adalah Gereja yang kita sebut sebagai Rumah Tuhan. Pada hakikatnya, gereja yang sudah ditahbiskan seluruh bagiannya adalah suci sebab telah diasingkan bagi Tuhan, tetapi mimbar adalah bagian paling suci yang kita perlakukan sebagai mezbah Tuhan. Kita bertanggungjawab untuk memelihara kekudusan mimbar gereja dengan tidak membiarkan "kurban-kurban yang najis" mencemari kesuciannya, baik itu berupa persembahan dan persepuluhan dari jemaat maupun dalam bentuk khotbah-khotbah yang konyol dan perkataan-perkataan tidak patut yang terlontar dari atas mimbar sehingga menodai kekudusan mezbah Allah. Demikian juga, orang-orang yang melayani di mimbar haruslah mereka yang terlebih dulu sudah membersihkan kenajisan hatinya dan telah mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh untuk pelayanan mimbar demi menghormati kesucian mezbah Tuhan.
 Sebagai orang Kristen kita juga percaya bahwa tubuh kita adalah "bait Allah" sebab Roh Allah diam di dalam diri kita, oleh karena itu kita wajib memelihara kesuciannya (1Kor. 3:16-17). Pena inspirasi menulis: 
"Meskipun itu ditujukan kepada Israel purba, perkataan ini mengandung suatu pelajaran bagi umat Tuhan zaman ini. Ketika sang rasul meminta saudara-saudaranya untuk mempersembahkan tubuh mereka 'sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah' [Rm. 12:1], dia mengetengahkan prinsip-prinsip pengudusan sejati. Itu bukan sekadar teori, emosi, atau serangkaian kata-kata, melainkan suatu prinsip yang hidup dan aktif yang merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari. Itu menuntut agar kebiasaan kita dalam hal makan, minum, dan berpakaian harus sedemikian rupa sehingga memelihara kesehatan fisik, mental dan moral, supaya kita bisa mempersembahkan kepada Tuhan tubuh kita bukan sebagai satu persembahan yang dirusak oleh kebiasaan-kebiasaan buruk, melainkan 'sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah'" (Ellen G. White, The Sanctified Life, hlm. 28).

Apa yang kita pelajari tentang memuliakan Allah melalui persembahan?
1. Kewajiban umat Tuhan bukan sekadar beribadah kepada-Nya, tapi juga memuliakan Allah. Kita pun dapat memuliakan Tuhan melalui peribadatan, persembahan dan persepuluhan, serta memelihara kekudusan mezbah Tuhan.
2. Kalau persembahan kurban bangsa Israel purba melambangkan pengorbanan Yesus Kristus untuk penebusan dosa manusia, persembahan umat Tuhan zaman ini melambangkan pengorbanan kita sendiri bagi pekerjaan Tuhan. Sebagai persembahan kurban, kita memberi dari kelebihan maupun dari kekurangan kita.
3. Persembahan yang berkenan kepada Tuhan bukan dinilai dari kuantitasnya tetapi dari kualitasnya. Semakin kudus motivasi kita dalam memberi, semakin berkualitas persembahan itu. Persembahan kita yang terbesar bagi Tuhan bukanlah uang dan harta, melainkan hati dan diri kita.

2. AMARAN KEPADA ROHANIWAN (Mengasihi dan Menghormati Orang Lain)
 Kotoran hewan. Peringatan Tuhan terhadap imam-imam pada zaman Maleakhi itu sangat keras. Kalau mereka tidak mau mendengarkan amaran Tuhan dan memperhatikan kehormatan nama-Nya, Allah berkata bahwa selain mengutuk mereka, "Aku akan mematahkan lenganmu dan akan melemparkan kotoran ke mukamu, yakni kotoran korban dari hari-hari rayamu, dan orang akan menyeret kamu ke kotoran itu" (Mal. 2:2, 3). Makna dari "mematahkan lengan" berarti membebaskan mereka dari tugas keimamatan, dan "melemparkan kotoran ke muka" artinya mempermalukan mereka.
 Pada masa pengembaraan mereka di padang gurun dalam perjalanan dari Mesir menuju Kanaan, Bait Suci masih dalam bentuk tenda dan disebut Kemah Pertemuan yang dapat dibongkar-pasang (portable). Tatkala dilakukan upacara penahbisan, Harun dan keluarganya sebagai imam-imam mempersembahkan hewan kurban berupa seekor lembu jantan muda dan dua ekor domba jantan selain roti bundar yang tidak beragi (Kel. 29:1-3). Setelah Harun meletakkan tangannya ke atas kepala lembu jantan kemudian hewan itu disembelih di depan Kemah Pertemuan, lalu sedikit darahnya dioleskan dengan jarinya pada tanduk-tanduk mezbah dan sisanya dicurahkan ke bawah mezbah itu. Kemudian lemak dan jeroannya dibakar di atas mezbah, sedangkan daging, kulit, dan kotorannya harus dibakar habis di luar perkemahan (ay. 10-14). Dengan mengatakan bahwa kotoran hewan akan dilemparkan ke muka, berarti Tuhan akan "membuang" imam yang dikutuki-Nya itu ke luar lingkungan pelayanan atau memberhentikannya dengan tidak hormat dari jabatan imam.
 Sejak zaman dulu tugas keimamatan adalah tugas yang berazaskan kejujuran dan ketulusan hati yang didasarkan pada perjanjian khusus dengan Allah. Tuhan berkata, "Dalam perjanjian itu Aku menjanjikan kepada mereka hidup yang aman dan sejahtera, dan mereka Kusuruh menghormati Aku. Pada masa itu mereka memang menghormati Aku dan takut kepada-Ku. Mereka mengajarkan yang benar, dan bukan yang salah. Mereka akrab dengan Aku, dan dengan jujur mengikut kehendak-Ku. Mereka juga menolong banyak orang untuk tidak lagi melakukan yang jahat. Memang kewajiban para imam untuk mengajarkan yang benar tentang Aku, Tuhan Yang Mahatinggi. Kepada merekalah rakyat harus bertanya apa kehendak-Ku, karena mereka itu utusan-utusan-Ku. Tetapi sekarang ini, kamu, imam-imam, sudah menyimpang dari jalan yang benar. Ajaran-ajaranmu telah menyeret banyak orang untuk berbuat salah. Kamu sudah merusak perjanjian yang Kubuat dengan kamu. Maka Aku pun akan membuat kamu diremehkan oleh umat Israel karena kamu tidak menaati kehendak-Ku, dan karena kamu membeda-bedakan orang pada waktu mengajar umat-Ku" (Mal. 2:5-9, BIMK; huruf miring ditambahkan).
  
Komitmen pada perkawinan. Sejak semula Allah telah mengamarkan bangsa Israel purba agar jangan kawin dengan lelaki maupun perempuan bangsa lain (Ul. 7:1-4), tapi amaran ini telah dilanggar sejak mereka bermukim di tanah Kanaan sampai pada masa pembuangan. Bahkan, orang-orang dari suku Lewi yang diasingkan untuk tugas melayani Bait Suci mengambil istri dari perempuan-perempuan kafir. Selain itu, mereka juga tidak setia pada perkawinan tersebut dengan menceraikan istri-istri mereka itu. Maleakhi mengingatkan mereka, "Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap isteri dari masa mudanya. Sebab Aku membenci perceraian, firman Tuhan, Allah Israel -- juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman Tuhan semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!" (Mal. 2:15-16; huruf miring ditambahkan).
 "Allah bermaksud bahwa perkawinan harus menjadi sebuah komitmen seumur hidup. Akan tetapi pada zaman Maleakhi banyak laki-laki telah melanggar sumpah yang mereka buat pada awal kehidupan pernikahan mereka, seperti kata sang nabi, 'istri dari masa mudanya.' Melihat istri-istri mereka semakin tua, para suami itu hendak menceraikan mereka lalu mengawini wanita-wanita yang lebih muda dan lebih menarik. Karena alasan inilah maka Tuhan berkata bahwa Dia membenci perceraian (Mal. 2:16). Pernyataan yang tegas ini menunjukkan betapa seriusnya Allah soal janji perkawinan yang seringkali diremehkan orang. Aturan yang ketat dalam Alkitab perihal perceraian memperlihatkan betapa sucinya perkawinan itu" [alinea ketiga].
 Pena inspirasi menulis: "Seperti halnya setiap karunia yang baik dari Allah yang dipercayakan untuk memelihara umat manusia, perkawinan telah diselewengkan oleh dosa; tetapi adalah tujuan injil untuk memulihkan kemurnian dan keindahannya. Dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru hubungan perkawinan digunakan untuk melambangkan ikatan yang lembut dan suci yang ada di antara Kristus dengan umat-Nya, umat tebusan yang sudah dibeli-Nya dengan harga Golgota" (Ellen G. White, Thoughts From the Mount of Blessing, hlm. 63).
  
Apa yang kita pelajari tentang amaran terhadap jabatan keimamatan dan kesucian perkawinan?
1. Sebagaimana pekerjaan keimamatan zaman Israel purba adalah tugas yang suci, demikian juga jabatan dalam pekerjaan Tuhan zaman ini adalah tugas yang suci. Ada kewajiban dan tanggungjawab moral di atas pundak para rohaniwan dan mereka yang terlibat dalam pekerjaan kerohanian.
2. Perkawinan umat Tuhan dapat menjadi barometer penghormatan umat Tuhan pada kekudusan Allah. Sebuah rumahtangga yang memelihara kesuciannya menandakan penghormatan rumahtangga itu terhadap hukum Allah, atau sebaliknya meremehkan kekudusan Allah dan hukum-Nya.
3. Larangan Tuhan atas perkawinan campur di kalangan bangsa Israel tidak ada hubungannya dengan soal ras, tetapi lebih kepada masalah iman. Contohnya Rut, wanita Moab yang memilih untuk percaya kepada Allah Israel (Rut 1:16), dan dari perkawinannya dengan Boas menjadi leluhur Yesus Kristus.

3. BERTOBAT DAN TUNAIKAN KEWAJIBAN (Persepuluhan Dalam Rumah Perbendaharaan)
  
Kembalilah kepada Tuhan. Umat Yehuda mengeluh seolah-olah Tuhan "berkenan" terhadap perbuatan orang jahat dengan membiarkan mereka tanpa hukuman (Mal. 2:17). Terhadap keluhan inilah Tuhan menjawab, "Lihat, Aku menyuruh utusan-Ku, supaya ia mempersiapkan jalan di hadapan-Ku! Dengan mendadak Tuhan yang kamu cari itu akan masuk ke bait-Nya! Malaikat Perjanjian yang kamu kehendaki itu, sesungguhnya, Ia datang, firman TUHAN semesta alam" (Mal. 3:1; huruf miring ditambahkan). Ayat ini merujuk kepada Yohanes Pembaptis sebagai "utusan" Allah yang "mempersiapkan jalan" bagi kedatangan "Malaikat Perjanjian" yang tidak lain daripada Sang Mesias. Di kemudian hari Yesus mengutip ayat ini untuk menerangkan tentang Yohanes Pembaptis yang sudah datang mendahului Dia (Mat. 11:10-11).
 Tampaknya penyusun pelajaran melewatkan nubuatan ini supaya lebih berkonsentrasi pada pekabaran tentang imbauan Tuhan kepada umat Yehuda. "Akulah TUHAN, dan Aku tidak berubah. Karena itu kamu, keturunan Yakub, tidak dibinasakan. Seperti leluhurmu dahulu, kamu semua sudah menyeleweng dari hukum-hukum-Ku dan tidak setia menjalankannya. Kembalilah kepada-Ku, maka Aku pun akan kembali kepadamu..." (Mal. 3:6-7, BIMK; huruf miring ditambahkan). Kalimat terakhir ini adalah pengulangan dari seruan Allah kepada mereka melalui nabi Zakharia (Za. 1:3), dan ajakan untuk kembali kepada Tuhan merupakan sebuah seruan pertobatan (Yes. 55:7). Namun dalam kitab Maleakhi seruan ini diberi penekanan khusus pada kewajiban finansial mereka kepada Tuhan. "Tetapi kamu bertanya, 'Apa yang harus kami lakukan untuk kembali kepada-Mu?' Sekarang Aku bertanya kepadamu: Bolehkah manusia menipu Allah? Tentu saja tidak. Tetapi kamu menipu Aku juga. Kamu bertanya, 'Bagaimana?' Jawab-Ku: Dalam hal membayar sepersepuluhan dan memberi persembahan" (Mal. 3:7-8, BIMK; huruf miring ditambahkan).
 "Kelaziman persepuluhan, yaitu memberi sepuluh persen dari pendapatan, disajikan dalam Alkitab sebagai sebuah pengingat bahwa Allah memiliki segala sesuatu dan semua yang manusia miliki datangnya dari Dia. Persepuluhan sudah digunakan di Israel untuk menunjang orang Lewi yang melayani di Bait Suci. Lalai mengembalikan persepuluhan, menurut Maleakhi, itu sama dengan merampok Allah" [alinea ketiga].
 Ujilah Tuhan. Setelah menyerukan kepada umat itu untuk "kembali kepada Tuhan" yang ditunjukkan melalui kesetiaan membayar persepuluhan dan persembahan, Allah memberi tantangan kepada mereka. "Bawalah sepersepuluhanmu seluruhnya ke Rumah-Ku supaya ada makanan berlimpah di sana. Ujilah Aku, maka kamu akan melihat bahwa Aku membuka pintu-pintu surga dan melimpahi kamu dengan segala yang baik" (Mal. 3:10, BIMK; huruf miring ditambahkan).
"Maleakhi 3:10 adalah salah satu ayat Kitab suci yang ganjil di mana Tuhan menantang umat itu untuk menguji Dia. Di mata air Meriba di padang belantara anak-anak Israel itu berulang-ulang 'menguji' kesabaran Allah, suatu hal yang membuat Dia marah (Mzm. 95:8-11). Akan tetapi di sini Allah mengajak Israel untuk menguji Dia. Ia ingin mereka melihat bahwa mereka bisa percaya kepada-Nya dalam hal ini, yang menurut ayat ini mengandung makna rohani yang besar" [alinea terakhir].
 Pena inspirasi menulis: "Allah memberikan kepada manusia sembilanpersepuluh sementara Dia menuntut sepersepuluh untuk maksud yang suci, sebagaimana Ia telah memberikan kepada manusia enam hari untuk pekerjaan mereka sendiri dan menyimpan serta memisahkan hari yang ketujuh bagi Diri-Nya. Sebab, seperti halnya Sabat, sepersepuluh dari pendapatan itu suci; Allah sudah menyimpan itu bagi Diri-Nya. Ia akan melanjutkan pekerjaan-Nya di atas bumi ini dengan penambahan harta yang Ia percayakan kepada manusia...Apabila mereka mengakui tuntutan Allah dan taat pada tuntutan-Nya, menghormati Dia dengan harta benda mereka, lumbung mereka akan terisi dengan limpah. Tetapi bilamana mereka merampok Allah dalam hal persepuluhan dan persembahan, mereka telah disadarkan bahwa mereka bukan saja merampok Dia tetapi juga diri mereka sendiri, sebab Dia membatasi berkat-Nya kepada mereka sama seperti bagian yang mereka batasi dari persembahan mereka kepada-Nya" (Ellen G. White, Testimonies for the Church, jld. 3, hlm. 394, 395).
 Apa yang kita pelajari tentang kewajiban soal persepuluhan?
1. Allah memanggil umat Yehuda di zaman Maleakhi untuk kembali kepada-Nya, dalam arti bertobat dari kesalahan dan kembali menunaikan kewajiban-kewajiban mereka kepada Tuhan. Satu kewajiban khusus yang ditekankan di sini adalah soal membayar persepuluhan dan persembahan.
2. Sebuah kisah nyata pernah diceritakan perihal salah seorang anggota jemaat kita yang rumahnya kemalingan. Si pencuri mengambil semua uang yang ditemukannya di lemari, kecuali yang tersimpan dalam amplop persepuluhan dengan tulisan "Milik Tuhan." Tapi terkadang kita lebih berani dari maling.
3. Menguji Allah itu pantang, kecuali dalam satu hal: persepuluhan. Bahkan, Allah sendiri yang menantang kita untuk menguji Diri-Nya. Hanya Tuhan yang setia kepada janji-janji-Nya bersedia Diri-Nya diuji oleh manusia.

4. PAHALA UNTUK TIDAK MENGELUH (Sebuah Kitab Peringatan)
  
Apatisme umat Tuhan. Bangsa Yehuda mengeluh dengan berkata, "Percuma saja berbakti kepada Allah. Apa gunanya melakukan kewajiban kita terhadap Tuhan Yang Mahakuasa, atau menunjukkan kepada-Nya bahwa kita menyesali kesalahan kita? Kita lihat sendiri bahwa orang-orang sombong bahagia. Orang jahat tidak hanya bertambah makmur, tetapi kalau mereka menguji kesabaran Allah dengan berbuat jahat, mereka luput juga" (Mal. 3:14-15, BIMK). Sebuah ungkapan putus asa dan apatisme, sesuatu yang seringkali juga dikeluhkan oleh sebagian umat Tuhan zaman ini.
 "Dalam Maleakhi 3:13-18 bangsa itu mengeluh bahwa Tuhan tidak peduli terhadap dosa bangsa itu. Mereka yang melakukan kejahatan dan ketidakadilan kelihatannya luput tak ketahuan, sehingga banyak yang bertanya-tanya mengapa mereka harus melayani Tuhan dan hidup dengan benar sedangkan kejahatan tampaknya berlangsung tanpa dihukum" [alinea pertama].
 Bagaimana Tuhan menilai keluhan seperti ini? Kita menemukannya pada ayat sebelumnya tatkala Tuhan berkata, "Bicaramu kurang ajar tentang Aku" (ay. 13; huruf miring ditambahkan). Versi BIMK menulis, "Kata-katamu sungguh menghina Aku" (ay. 13, BIMK; huruf miring ditambahkan). Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan "kurang ajar" atau "menghina" pada ayat ini adalah חָזַקchazaq (baca: khäzak'), sebuah katakerja yang dalam hal ini berarti "perkataan yang keras." Tegasnya, Tuhan tersinggung dengan ucapan dan sikap berkeluh-kesah seperti ini. Sebaliknya, Tuhan senang mendengar sekelompok orang lain yang berbicara dalam nada konstruktif dan percaya bahwa keadilan Allah kelak ditegakkan. "Beginilah berbicara satu sama lain orang-orang yang takut akan Tuhan: 'Tuhan memperhatikan dan mendengarnya; sebuah kitab peringatan ditulis di hadapan-Nya bagi orang-orang yang takut akan Tuhan dan bagi orang-orang yang menghormati nama-Nya'" (ay. 16; huruf miring ditambahkan). Ayat 13 dan ayat 16, bersama-sama dengan ayat 14 dan 15, harus dibaca sebagai bagian yang utuh dalam satu konteks.

 Kitab kehidupan. Tampaknya, dalam ayat di atas itu nabi Maleakhi sedang bertutur tentang sebuah buku catatan di surga yang pada bagian-bagian lain dalam Alkitab disebut "kitab kehidupan" (Ibrani: חַיִּ֑ים מִסֵּ֣פֶרmissêp̄er ayyîm; Grika: βίβλ ζως, biblō zōēs). Raja Daud pernah menyebut soal eksistensi kitab kehidupan surgawi ini ketika dia menulis perihal orang-orang yang melakukan kejahatan dan ketidakadilan, "Biarlah mereka dihapuskan dari kitab kehidupan, janganlah mereka tercatat bersama-sama dengan orang-orang yang benar!" (Mzm. 69:29). Rasul Paulus juga pernah menyinggung tentang keberadaan kitab kehidupan (Flp. 4:3), dan Yohanes Pewahyu beberapa kali menyebutkannya (Why. 3:5; 13:8; 17:8; 20:12, 15). Menulis tentang orang-orang yang bakal masuk surga, pewahyu itu mencatat, "Tetapi tidak akan masuk ke dalamnya sesuatu yang najis, atau orang yang melakukan kekejian atau dusta, tetapi hanya mereka yang namanya tertulis di dalam kitab kehidupan Anak Domba itu" (Why. 21:27). 
 "Adalah mudah, dalam dunia di mana terdapat begitu banyak ketidakadilan ini, untuk meragukan apakah keadilan benar-benar ditegakkan. Akan tetapi, pekabarannya di sini ialah bahwa Allah mengetahui semua hal ini, dan Ia akan memberi pahala kepada orang-orang yang setia kepada-Nya...Hal yang paling penting ialah bahwa Tuhan mengetahui segala perkara. Dia tahu orang-orang yang menjadi milik-Nya (2Tim. 2:19) dan mana yang bukan" [alinea kedua, dan alinea terakhir: kalimat pertama].
 Pena inspirasi menulis: "Dalam Maleakhi 3:16 satu kelompok berbeda dimunculkan, sekelompok orang yang berkumpul bersama-sama, bukan untuk mencari kesalahan Tuhan tetapi untuk membicarakan kemuliaan-Nya dan menceritakan kemurahan-Nya. Orang-orang ini telah setia dalam kewajiban mereka. Mereka sudah memberikan kepada Tuhan apa yang menjadi milik-Nya. Kesaksian-kesaksian diutarakan oleh mereka yang membuat malaikat-malaikat surgawi bernyanyi dan bersukacita. Orang-orang ini tidak mempunyai keluhan terhadap Allah. Mereka yang berjalan di dalam terang, yang setia dan benar dalam melaksanakan kewajiban mereka, tidak terdengar mengeluh dan mencari-cari salah. Mereka mengucapkan kata-kata dorongan, pengharapan, dan iman. Orang-orang yang melayani diri sendiri, yang tidak memberikan kepada Tuhan apa yang menjadi milik-Nya, mereka itulah yang mengeluh" (Ellen G. White, Testimonies for the Church, jld. 6, hlm. 390).
  
Apa yang kita pelajari tentang sikap apatis dan soal kitab kehidupan surgawi?
1.Apatisme (sikap masa bodoh) itu bagaikan virus berbahaya yang dapat mematikan iman dan gampang menular. Gejala utamanya adalah suka mengeluh dan menyalahkan Tuhan. Umat Yehuda zaman dulu pernah dilanda oleh sikap ini, dan hal yang sama mengancam umat Tuhan zaman ini.
2. Dengan mengeluhkan "kesusahan orang benar" dan menonjolkan "kemakmuran orang tidak benar" kita menghina Allah, sebab dengan begitu kita meragukan keadilan dan kepedulian-Nya pada kehidupan manusia. Allah tidak tidur, mata-Nya "mengawasi orang jahat dan orang baik" (Ams. 15:3).
3. Teologinya di sini adalah: Ketimbang bersusah hati karena ada orang yang lalim tapi makmur, lebih baik bersyukur memikirkan pahala yang disediakan bagi orang yang benar dan setia. Dengan begitu anda dan saya akan terpacu untuk tetap setia dan benar, meskipun susah.

5. SUPAYA JANGAN KITA LUPA (Surya Kebenaran)
  
Hari yang Tuhan siapkan. Nabi Maleakhi menulis, "Tetapi kamu yang takut akan nama-Ku, bagimu akan terbit surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya. Kamu akan keluar dan berjingkrak-jingkrak seperti anak lembu lepas kandang. Kamu akan menginjak-injak orang-orang fasik, sebab mereka akan menjadi abu di bawah telapak kakimu, pada hari yang Kusiapkan itu, firman TUHAN semesta alam" (Mal. 4:2-3; huruf miring ditambahkan). Para komentator Alkitab menafsirkan "surya kebenaran" adalah Mesias yang datang ke dunia ini dalam sosok Yesus Kristus, dan ini berarti bahwa nubuatan tersebut sudah digenapi. Tapi, apakah surya atau matahari itu bersayap dan bisa menyembuhkan? Ini adalah bahasa puitis, "sayap" melambangkan berkas-berkas cahaya yang memancar dari matahari dalam arti kata sebenarnya yang memang berkhasiat menyembuhkan penyakit. Alkitab sering menggambarkan Tuhan seperti matahari atau bintang (Mzm. 84:12; Yes. 60:19; Why. 22:16).
 "Sementara nasib orang jahat digambarkan dalam ayat 1, ayat 2 terfokus pada berkat-berkat masa depan dari orang benar. Pertanyaan 'Di manakah Allah keadilan?' terjawab kembali, tapi kali ini oleh jaminan satu hari yang akan datang bilamana Surya Kebenaran akan terbit dengan kesembuhan pada sayapnya. Terbitnya 'surya kebenaran' adalah sebuah kiasan untuk satu hari yang baru, hari yang menandakan suatu zaman baru dalam sejarah keselamatan" [alinea kedua: tiga kalimat pertama].
 Anak kalimat "pada hari yang Kusiapkan" pada ayat di atas sudah disebutkan juga pada pasal sebelumnya, ketika Tuhan akan menyambut orang-orang benar yang dikasihi-Nya itu. "Mereka akan menjadi milik kesayangan-Ku sendiri, firman TUHAN semesta alam, pada hari yang Kusiapkan. Aku akan mengasihani mereka sama seperti seseorang menyayangi anaknya yang melayani dia. Maka kamu akan melihat kembali perbedaan antara orang benar dan orang fasik, antara orang yang beribadah kepada Allah dan orang yang tidak beribadah kepada-Nya" (Mal. 3:16-17; huruf miring ditambahkan).
 Dua peringatan. Maleakhi mengakhiri kitabnya dengan dua peringatan dari Tuhan kepada umat Yehuda; peringatan pertama ialah apa yang harus diingat, peringatan kedua adalah apa yang harus diwaspadai. Allah berkata, "Ingatlah kepada Taurat yang telah Kuperintahkan kepada Musa, hamba-Ku, di gunung Horeb untuk disampaikan kepada seluruh Israel, yakni ketetapan-ketetapan dan hukum-hukum. Sesungguhnya Aku akan mengutus nabi Elia kepadamu menjelang datangnya hari TUHAN yang besar dan dahsyat itu" (Mal. 4:4-5; huruf miring ditambahkan). Jadi mereka tidak boleh lupa pada hukum Taurat dan juga tidak boleh lengah menantikan seseorang yang akan diutus Tuhan. Hal pertama sudah disampaikan secara tertulis (hukum Taurat), hal kedua akan diutarakan secara lisan (kata-kata amaran).
 Harap diketahui bahwa pada waktu dua peringatan itu diucapkan oleh Maleakhi, Musa dan Elia sudah diangkat dan hidup dalam kerajaan surga. Di kemudian hari keduanya muncul dan berbicara dengan Yesus di atas sebuah gunung yang tinggi disaksikan oleh Petrus, Yakobus dan Yohanes (Mat. 17:3; Mrk. 9:4). Namun penampakan itu bukanlah kegenapan dari nubuatan Maleakhi ini. Elia datang dalam sosok Yohanes Pembaptis, seorang yang memiliki roh Elia yang berani menegur kesalahan dan dosa, seperti yang dilakukannya terhadap Herodes (Mat. 14:3-5; Mrk. 6:14-20). Kalau Musa sudah mewariskan kepada bangsa Israel perintah-perintah Allah yang terangkum dalam hukum Taurat, maka Elia telah mengamarkan bangsa itu untuk bertobat dari pelanggaran mereka terhadap hukum Taurat, utamanya pada zaman pemerintahan raja Ahab (1Raj. 16:29-33; 18:18).
 Mengapa peringatan Allah tersebut penting bagi umat-Nya pada zaman itu? Sebab Maleakhi adalah nabi terakhir, dan sesudah dia tidak akan ada lagi nabi sampai datangnya seorang yang disebut "Elia" untuk berbicara atas nama Tuhan kepada mereka. Masa kevakuman firman Tuhan itu akan berlangsung selama 400 tahun! Dalam keadaan tanpa tuntunan terang Allah seperti itulah maka dua peringatan Maleakhi tersebut menjadi penting, yaitu supaya umat yang sisa dari bangsa Israel itu tidak lupa menjalankan hukum Taurat sambil menantikan utusan Allah yang akan datang kemudian kepada mereka.
 Pena inspirasi menulis: "Pekerjaan Yohanes Pembaptis dan pekerjaan orang-orang yang pada zaman akhir pergi dalam semangat dan kuasa Elia untuk membangunkan orang banyak dari keapatisan mereka, dalam banyak hal adalah sama. Pekerjaannya adalah sejenis pekerjaan yang harus dilaksanakan pada zaman ini. Kristus akan datang kedua kali untuk menghakimi dunia dalam kebenaran. Utusan-utusan Allah seperti Yohanes menyiapkan jalan bagi kedatangan-Nya yang pertama...Dengan ketetapan hati yang menjadi ciri nabi Elia dan Yohanes Pembaptis, kita harus berusaha menyiapkan jalan bagi kedatangan Kristus yang kedua" (Ellen G. White, The Southern Watchman, 21 Maret 1905).
  
Apa yang kita pelajari tentang utusan Allah yang dinubuatkan oleh Maleakhi?
1. Allah berjanji akan ada satu hari yang Dia siapkan bilamana utusan-Nya yang dijuluki "Surya Kebenaran" akan datang kepada umat Israel, namun ketika janji digenapi dalam sosok Yesus Kristus bangsa itu menolak. Allah menyiapkan waktu untuk memenuhi janji-Nya, manusia harus menyiapkan hati untuk menerimanya.
2. Inti dari dua peringatan Maleakhi tersebut adalah: Jangan lupa! Pertama, jangan lupa menaati perintah Tuhan; kedua, jangan lupa bertobat (karena terlanjur melanggar). Peringatan kedua menjadi semacam "jaring pengaman" bagi manusia yang gampang terpeleset ke dalam dosa. Allah memang rahmani dan rahimi!
3. Ciri Elia adalah menegur dengan berani. Yohanes Pembaptis dianggap "Elia kedua" karena dia juga berani menegur. "Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu," katanya (Mrk. 1:4; Luk. 3:3). Zaman ini dibutuhkan orang-orang dengan roh Elia yang "berani menegur, dan menegur dengan berani"!

PENUTUP
  
   Menuntut keberanian. Bagi sebagian orang dari "golongan ekonomi lemah" dengan penghasilan pas-pasan, mengembalikan persepuluhan seringkali merupakan suatu pergumulan karena takut tidak cukup. Tapi banyak pula orang dari "golongan ekonomi kuat" dengan gaji besar atau usahawan yang bergumul untuk membayar persepuluhan dengan benar karena takut jumlahnya terlalu besar. Untuk memenuhi kewajiban membayar persepuluhan memang menuntut suatu keberanian; bagi orang miskin keberanian untuk menguji kesetiaan Tuhan, bagi orang kaya keberanian untuk menguji kesetian diri sendiri.
 "Allah memberkati pekerjaan tangan manusia supaya mereka bisa mengembalikan kepada Dia bagian-Nya. Ia memberi mereka sinar matahari dan hujan; Ia membuat tumbuh-tumbuhan berkembang; Ia memberikan kesehatan dan kemampuan untuk memperoleh kekayaan. Setiap berkat berasal dari tangan-Nya yang berkelimpahan, dan Ia menghendaki pria dan wanita menunjukkan rasa terimakasih mereka dengan mengembalikan kepada-Nya satu bagian dalam bentuk persepuluhan dan persembahan--dalam persembahan syukur, dalam persembahan sukarela, dalam persembahan pelanggaran" [tiga kalimat pertama].
 Tuhan sudah menetapkan suku Lewi yang menjadi pelayan-pelayan di Bait Suci tidak mendapat tanah warisan di Tanah Perjanjian. Sebagai gantinya, warisan mereka adalah persepuluhan dan persembahan dari sebelas suku Israel lainnya sebagai sumber nafkah bagi mereka (Bil. 18:21-24). Tetapi orang Lewi sendiri diwajibkan juga untuk membayar persepuluhan dari apa yang mereka terima itu, yang dibayarkan kepada keluarga Imam Harun (ay. 26, 28). Jadi, kewajiban membayar persepuluhan dan persembahan juga berlaku bagi golongan rohaniwan.
 "Setiap orang harus memberi menurut kerelaan hatinya. Janganlah ia memberi dengan segan-segan atau karena terpaksa, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan senang hati. Allah berkuasa memberi kepada kalian berkat yang melimpah ruah, supaya kalian selalu mempunyai apa yang kalian butuhkan; bahkan kalian akan berkelebihan untuk berbuat baik dan beramal" (2Kor. 9:7-8, BIMK).
REFERENSI :

1.   Zdravko Stefanofic, Profesor bidang studi Ibrani dan Perjanjian Lama, Universitas Walla Walla,U.S.A--- Penuntun Guru Pelajaran Sekolah Sabat Dewasa, Trw.II, 2013. Bandung: Indonesia Publishing House.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar