"ALLAH BAGI SEGALA BANGSA (AMOS)"
PENDAHULUAN
Singa dari Sion. Nabi Amos memulai pekabarannya dengan kata-kata yang mendirikan bulu roma: "TUHAN mengaum dari Bukit Sion, suara-Nya menggemuruh dari Yerusalem. Padang-padang rumput menjadi gersang, rumput di Gunung Karmel kering kerontang...Apabila singa mengaum, siapakah yang tidak takut? Apabila TUHAN Yang Mahatinggi berbicara, siapakah dapat berdiam diri dan tidak mengumumkan pesan-Nya?" (Am. 1:2 dan 3:8, BIMK).
Singa yang dijuluki "raja hutan" membuat hewan itu sering dijadikan lambang dari kekuatan yang menakutkan, dan acapkali auman singa digunakan sebagai lambang amarah. Alkitab juga sering menggunakan singa sebagai simbol dari kedahsyatan. Menarik pula bahwa dalam PB singa digunakan untuk melambangkan dua kekuatan yang bertolak-belakang, yaitu Kristus sebagai "singa Yehuda" (Why. 5:5) dan Iblis sebagai "singa yang mengaum-aum" (1Ptr. 5:8). Di sini keduanya sama-sama sebagai "penakluk"--Kristus adalah penakluk kejahatan dan Iblis adalah penakluk manusia. Namun, oleh karena Kristus telah berhasil mengalahkan Iblis, maka sekarang Iblis itu tidak lebih dari "penakluk yang sudah ditaklukkan."
Sion adalah nama sebuah bukit dengan ketinggian 765m di atas permukaan laut yang terletak di kota tua Yerusalem, bekas benteng orang Yebus yang direbut oleh raja Daud dan setelah diperkuat lagi dinamai "Kota Daud" atau "Benteng Daud" (David Citadel). Daud pun menyebut Sion sebagai "kota Allah" (Mzm. 87:2-3) dan "tempat kedudukan-Nya" (Mzm. 132:13). Secara tradisional bangsa Israel menganggap bahwa Sion adalah "kota TUHAN" dan "Sion, milik Yang Mahakudus, Allah Israel" (Yes. 60:14). Bagi kalangan umat Kristen, Sion memiliki makna teologis karena Yesus Kristus dikaitkan dengan nama ini (Mat. 21:5; Yoh. 12:5; Rm. 9:33, 11:26; 1Ptr. 2:6), bahkan dihubungkan dengan Yerusalem semawi (Ibr. 12:22; Why. 14:1).
"Amos, seorang gembala, diutus kepada bangsa Israel untuk mengamarkan mereka bahwa dia telah mendengar auman singa--dan singa itu tidak lain dari Tuhan mereka! Digerakkan oleh Roh Kudus, nabi Amos membandingkan cara Allah berbicara kepada bangsa-bangsa, seperti juga kepada umat-Nya yang istimewa itu, dengan auman singa (baca Am. 1:2)" [alinea pertama: dua kalimat terakhir].Pelayanan Amos sebagai seorang nabi Allah berlangsung pada zaman pemerintahan raja Uzia di Yehuda (kerajaan selatan) dan Yerobeam II di Israel (kerajaan utara), diperkirakan antara tahun 760-750 SM, dua tahun sebelum terjadi bencana gempa bumi di wilayah itu. Ketika itu kedua kerajaan tersebut dari segi militer sedang kuat-kuatnya, dan kelompok orang-orang kaya sedang makmur-makmurnya. Tetapi pada waktu yang sama orang-orang miskin di negeri itu tengah berada dalam keadaan sangat tertindas sehingga banyak orangtua yang dipaksa untuk menjual anak-anak mereka demi membayar hutang, anak-anak lelaki dijadikan budak dan anak-anak gadis dijadikan budak seks.
"Amos dipanggil untuk bernubuat kepada bangsa-bangsa yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dia juga diutus kepada satu masyarakat di mana orang-orang yang beruntung dan kaum rohaniwan hidup nyaman dan makmur. Namun, orang-orang ini menindas orang miskin dan membiarkan usaha yang tidak jujur dan penyuapan di pengadilan. Pekan ini kita akan mendengarkan apa yang Tuhan hendak katakan tentang perbuatan-perbuatan yang tercela ini" [alinea kedua].
Nabi yang dilecehkan. Harap diketahui bahwa nabi Amos ini bukan ayah dari nabi Yesaya (Yes. 1:1). Nabi Amos berasal dari Tekoa, sebuah kota kecil di wilayah Yudea sekitar 8 Km sebelah selatan Betlehem. Demi menjawab panggilan Allah dia pun berangkat ke Betel, kota suci kerajaan Yehuda yang terletak sekitar 15 Km sebelah utara kota Yerusalem, untuk berkhotbah dan bernubuat di sana. Kemungkinan besar dia hanya tinggal beberapa hari di kota itu, dan setelah selesai menjalankan tugasnya dia langsung pulang lalu kembali menekuni profesinya sebagai petani dan peternak.
Khotbah-khotbahnya yang keras tidak disukai dan dianggap telah menciptakan keresahan. Amazia, imam di kota itu, mengusirnya sambil menghina bahwa dia berkhotbah untuk cari makan (Am. 7:12). Perhatikan kata-kata Amos ketika menjawab tudingan yang melecehkan itu: "Aku bukan nabi karena jabatan. Sebenarnya aku peternak dan pemetik buah ara. Tapi TUHAN mengambil aku dari pekerjaanku, dan menyuruh aku menyampaikan pesan-Nya kepada orang Israel" (ay. 14-15, BIMK). Lalu sang nabi bernubuat tentang nasib tragis yang akan dialami oleh imam itu (ay. 16-17).
Tuhan dapat menggunakan seorang yang sederhana, yang bekerja melayani Dia tanpa pamrih dan berani menyampaikan pekabaran Tuhan tanpa rasa takut atau khawatir terhadap penolakan dan penghinaan. Di zaman akhir ini Allah sangat membutuhkan orang-orang seperti Amos, mereka yang melayani Tuhan sebagai kaum awam dan tidak mencari nafkah dari pekerjaan pelayanan itu.
1. PENINDASAN BANGSA ATAS BANGSA (Kejahatan Terhadap Kemanusiaan).
Allah menghukum kejahatan manusia. Dalam ukuran dunia Yerobeam adalah raja yang berhasil karena pada masa pemerintahannya yang cukup panjang itu (41 tahun) dia sukses memulihkan kedaulatan Israel serta membangun perekonomian dan kekuatan militernya, tetapi di mata Tuhan dia seorang yang gagal (baca 2Raj. 14:23-29). Waktu itu kerajaan Israel sudah eksis sekitar 150 tahun lamanya sejak sepuluh suku itu memisahkan diri dari dua suku lainnya di selatan, yang sekarang menggunakan nama kerajaan Yehuda, dan saat itu diperintah oleh raja Uzia.Sebenarnya Amos dipanggil untuk bernubuat terhadap kerajaan Israel, tetapi oleh kehendak Tuhan dia harus lebih dulu bernubuat atas enam kerajaan kafir di kawasan itu: Asyur (juga disebut Aram), Filistin, Fenisia (Tirus), Edom (keturunan Esau), Amon (keturunan dari salah satu anak Lot), dan Moab. Selanjutnya, nubuatan Amos beralih kepada umat Tuhan sendiri, dimulai dari Yehuda kemudian Israel. Keenam bangsa tetangga itu dihukum Allah terutama oleh sebab tindakan mereka sebelumnya yang sangat kejam terhadap Israel dan Yehuda, selain karena mereka adalah masyarakat penyembah berhala. Sedangkan hukuman atas Yehuda dan Israel adalah akibat praktik penyembahan berhala dan juga penindasan oleh "the ruling class" (kelompok penguasa) atas rakyat kecil.
"Dua pasal pertama dalam kitab Amos berisi tujuh nubuatan terhadap bangsa-bangsa tetangga, diikuti oleh satu nubuatan terhadap Israel. Bangsa-bangsa asing itu dihakimi bukan karena mereka adalah musuh-musuh Israel tetapi oleh sebab pelanggaran mereka terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan universil. Dua hal yang menonjol dalam kutukan Amos: hilangnya kesetiaan dan hilangnya belas kasihan" [alinea pertama].
Kejahatan kemanusiaan. Kekejaman yang dialami bangsa Israel memang luar biasa. Filistin, misalnya, musuh bebuyutan ini pernah menyerbu Israel lalu menawan rakyat yang kemudian diserahkan kepada orang Edom yang memperlakukan mereka dengan bengis. Begitu pula bangsa Fenisia (Tirus), kerajaan yang di masa pemerintahan raja Hiram pernah menjadi sekutu dekat dan masih terikat persahabatan sejak Israel masih bersatu di bawah raja Daud dan raja Salomo, belakangan melanggar janji persaudaraan tersebut dengan menyerbu Israel lalu menyerahkannya juga kepada Edom, bangsa yang sejak lama dengki terhadap sepupu mereka itu. Lebih jahat lagi Amon yang dalam suatu sengketa perbatasan menyangkut wilayah Gilead, bangsa yang masih terhitung saudara jauh itu menyerbu Israel lalu membantai anak-anak dan ibu-ibu hamil.
Tampaknya mereka semua ingin agar Israel punah. Setelah apa yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan kafir itu terhadap Israel purba, nasib yang sama juga dialami oleh keturunan mereka di zaman moderen ketika orang-orang Yahudi pada masa PD II dibantai oleh regim Nazi Jerman yang juga menghendaki kepunahan mereka. Hingga kini pun banyak negara yang terus memusuhi Israel, bahkan regim Iran sekarang ini sesumbar akan menghapus Israel dari peta dunia. Namun Tuhan masih tetap mengendalikan dunia ini, dan tidak membiarkan pemimpin-pemimpin dunia berbuat sesuka hati.
"Karena Allah berkuasa atas semuanya, Dia menggenggam nasib seluruh dunia dalam tangan-Nya. Dia mempunyai tujuan dan kepentingan yang menjangkau jauh melampaui perbatasan Israel. Allah Israel adalah Tuhan atas segala bangsa; seluruh sejarah umat manusia menjadi kepedulian-Nya. Dia adalah Allah Pencipta yang memberi kehidupan kepada semua, dan semuanya bertanggungjawab kepada-Nya" [alinea terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang perhatian Allah terhadap kejahatan kemanusiaan?1. Allah menghukum manusia atas kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan, baik dulu maupun sekarang. Sekalipun kini Allah tidak mengutus seseorang seperti Amos untuk bernubuat, tetapi penghakiman Allah tetap berlaku (Kis. 17:31; Rm. 2:16).
2. Penghakiman dan hukuman Allah tidak hanya atas orang-orang kafir yang jahat, tetapi Dia juga menghakimi kejahatan yang dilakukan oleh umat-Nya sendiri (Ibr. 10:30; 2Sam. 22:28; Mzm. 9:13).
3. Fakta bahwa Allah tidak hanya menghukum orang-orang kafir yang jahat tetapi juga umat-Nya sendiri yang melakukan kejahatan, menunjukkan bahwa Allah kita itu adil dan tidak pilih bulu dalam menghakimi manusia (Mzm. 98:9; Yes. 11:4).
2. PENINDASAN SESAMA SAUDARA (Keadilan Bagi yang Tertindas).
Kemiskinan rohani. Pada pelajaran kemarin (Minggu, 21 April) kita telah pelajari mengenai penindasan bangsa atas bangsa yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan kafir atas Israel purba. Hari ini kita menyoroti penindasan manusia atas manusia (exploitation de l'homme par l'homme), secara kelompok dan perorangan, yang berlangsung di kalangan bangsa Israel sendiri. Tuhan berkata, "Orang Israel telah berkali-kali berdosa, karena itu Aku pasti akan menghukum mereka...Mereka menindas orang lemah yang tak berdaya, dan menyingkirkan orang miskin. Ayah dan anak menggauli hamba wanita yang sama, sehingga mencemarkan nama-Ku yang suci. Di setiap tempat ibadah, orang-orang tidur dengan baju yang mereka ambil sebagai jaminan utang dari orang miskin. Di Rumah Allah mereka, mereka minum anggur yang mereka ambil dari orang yang berutang pada mereka" (Am. 2:6-8, BIMK).
Melalui Musa, Allah telah menurunkan kepada bangsa Israel hukum yang lengkap, termasuk hukum sosial yang mengatur perlakuan terhadap orang-orang miskin. Telah diatur dalam "Hukum Musa" itu bahwa apabila ada di antara sesama warga Israel yang jatuh miskin kemudian membaktikan diri kepada orang kaya untuk bisa menyambung hidup, mereka tidak boleh diperlakukan seperti budak dan sesudah tujuh tahun mengabdi mereka harus bebas demi hukum pada tahun yang disebut "Tahun Yobel" itu (Im. 25:39-43). Bahkan, pada tahun ketujuh itu wajib diadakan pemutihan atas segala jenis hutang-piutang di antara sesama bangsa Israel (Ul. 15:1-3). Menyangkut pakaian yang digadaikan dan menjadi sebagai jaminan atas pinjaman uang, itu mesti dikembalikan pada hari yang sama sebelum matahari terbenam, terlepas dari apakah pinjaman itu sudah dilunasi atau belum (Kel. 22:26-27).
Tampaknya orang-orang kaya Israel purba pada masa itu telah dipengaruhi oleh sekularisme (keduniawian) yang diadopsi dari luar, sehingga mereka menjadi sangat egosentris dan individualistis sehingga tidak memiliki kepedulian sosial. "Kemakmuran ekonomi dan stabilitas politik Israel telah membawa kepada kebusukan rohani. Kebusukan rohani itu memperlihatkan dirinya dalam ketidakadilan sosial. Di Israel, orang kaya menindas orang miskin, dan yang berkuasa menindas yang lemah. Orang kaya hanya peduli dengan diri mereka sendiri dan keuntungan pribadi mereka, sekalipun ketika hal itu berarti mengorbankan dan menyengsarakan orang miskin (Tidak banyak yang berubah setelah beberapa ribu tahun, bukan?)" [alinea kedua: empat kalimat terakhir].
Ibadah yang sia-sia. Anda beribadah kepada Tuhan untuk apa? Para penyembah berhala, dari dulu hingga sekarang, beribadah kepada dewa-dewa mereka dengan tujuan untuk menyenangkan hati para dewa yang mereka sembah itu. Ada dua hal utama yang diharapkan dari penyembahan berhala, yaitu supaya mendapatberkat dan keselamatan diri. Orang Kristen tidak beribadah karena kedua alasan ini, tetapi kita beribadah kepada Allah oleh sebab kita sudah diselamatkan melalui kasih karunia Yesus Kristus (Kis. 4:12; 15:11; 1Tes. 5:9; Why. 1:5) dan karena kita mengasihi Tuhan (Ef. 6:24; 1Ptr. 1:8; 1Yoh. 4:19). Berkat itu adalah urusan Tuhan, sebab Dia mengetahui dan akan memenuhi keperluan kita sesuai dengan kekayaan-Nya (Mat. 6:8; Rm. 8:26-27; Flp. 4:19).
Mungkinkah ibadah kita menjadi sia-sia dan percuma? Sebagian orang berpikir bahwa setiap ibadah kepada Tuhan pasti diterima dan tidak ada ibadah yang mubazir, namun iman Kristiani percaya bahwa tidak semua ibadah diterima Allah. Bahkan, tidak setiap doa dan puasa berkenan bagi Tuhan. Salah satu alasan mengapa sesuatu ibadah ditolak oleh Tuhan ialah jika sesuatu ibadah hanya bersifat "lips service" alias hiasan bibir tanpa mengikuti perintah Tuhan (Mrk. 7:6-8), atau kalau ibadah tersebut sekadar "pro forma" supaya tampak dari luar seperti beribadah tapi di dalam hati berbeda (2Tim. 3:5). Bahkan, ibadah seseorang bisa menjadi sia-sia jika dia "tidak mengekang lidahnya" (Yak. 1:26).
Dalam kasus Israel purba, banyak orang yang percuma beribadah oleh sebab pada waktu yang sama mereka itu hanya mencari keuntungan pribadi, menindas anak buah, dan berkelahi di antara mereka sendiri. Tuhan berkata, "Mereka menyembah Aku setiap hari, dan ingin mengetahui kehendak-Ku, seolah-olah mereka melakukan yang baik, dan setia kepada hukum-Ku. Mereka berkata bahwa mereka senang menyembah Aku dan menginginkan hukum-Ku yang adil" (Yes. 58:2, BIMK). Tetapi mereka heran, sebab meski sudah beribadah sambil berpuasa tapi Tuhan tidak memperhatikannya (ay. 3). Pesan Tuhan kepada mereka adalah: "Apabila kamu berdoa, Aku akan mengabulkannya. Apabila kamu berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab. Jangan lagi menindas sesamamu, hentikanlah permusuhan dan fitnah. Berilah makan kepada orang lapar dan tolonglah orang-orang yang tertindas. Kalau kamu berbuat begitu, maka kegelapan di sekitarmu akan menjadi seterang siang" (ay. 9-10, BIMK).
"Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa keadilan sosial mesti menjadi suatu produk alami dari injil. Sementara Roh Kudus membuat kita lebih menyerupai Yesus, kita belajar untuk turut dalam kepedulian Allah...Tidak ada pengikut Kristus yang dapat melakukan sesuatu yang kurang lalu benar-benar menjadi seorang pengikut Kristus" [alinea terakhir: dua kalimat pertama dan kalimat terakhir].
Pena inspirasi menulis: "Demi masyarakat yang sejahtera dibutuhkan orang-orang yang berintegritas moral di ruang-ruang legislatif dan ruang-ruang pengadilan. Gereja kita memerlukan orang-orang seperti itu untuk melayani pada jabatan yang suci, mereka yang seyogianya adalah orang-orang yang terhormat, takwa, murni; yang harus dikuduskan oleh Roh dan oleh firman itu" (Ellen G. White, Signs of the Times, 2 Februari 1882).
Apa yang kita pelajari tentang penindasan manusia dan kepedulian Allah?1. Bangsa Israel purba di zaman nabi Amos mungkin kaya dari segi badani, tetapi mereka sangat miskin secara rohani. Kemiskinan rohani itu lalu menimbulkan kebusukan rohani yang dimanifestasikan dalam cara hidup yang cinta diri dan mementingkan kelompoknya.
2. Adalah suatu kejahatan besar di mata Tuhan bagi suatu bangsa yang telah diberkati tetapi kemudian melecehkan dan menindas sesama anak bangsa, seperti Israel purba, dan dengan demikian melanggar aturan yang Allah sendiri telah berikan.
3. Allah tidak akan membiarkan penindasan dalam bentuk apapun terjadi di kalangan umat-Nya, mentang-mentang punya jabatan atau kekayaan. Tuhan telah menghukum Israel purba, Dia juga akan menghukum umat-Nya sekarang yang berbuat demikian.
3. HAK ISTIMEWA DAN TANGGUNGJAWAB MORAL (Bahaya Dari Hak Istimewa)
Pengakuan dan hak istimewa. Israel purba adalah bangsa yang beruntung karena sebagai umat pilihan Allah mereka memiliki hak-hak istimewa yang tidak dipunyai bangsa-bangsa lain. Sebagaimana kita tahu "Israel" adalah nama pemberian Allah kepada Yakub, cucu Abraham, nenek moyang bangsa itu ketika dia bergumul dengan Tuhan di tepi sungai Yabok (Kej. 32:25-28). Israel adalah transliterasi dari kata Ibrani יִשְׂרָאֵל, Yisra'el, yang berarti Allah menang atau Menang bersama Allah. Sebelumnya dia bernama asli Yakub (diberi nama itu karena waktu lahir dia memegang tumit Esau, kakak kembarnya; baca Kej. 25:26) dan setelah menipu ayahnya, Ishak, dengan mengaku dirinya sebagai Esau, nama Yakub mendapat konotasi baru sebagai penipu (baca Hos. 12:4). Namun, sesuai dengan janji Tuhan, keturunan Yakub itu menjadi sangat banyak dan berkembang di tanah warisan yang luas serta diberkati dan dilindungi Tuhan (Kej. 28:14-15), dan "Israel" kemudian menjadi nama mereka sebagai satu bangsa.
Dengan latar belakang tersebut tentu saja mereka sangat dikenal oleh Allah. Tuhan berkata melalui Amos: "Dari semua bangsa di dunia, kamulah satu-satunya bangsa yang Kukenal dan Kuperhatikan. Itulah sebabnya dosamu besar, dan Aku pasti menghukum kamu" (Am. 3:2, BIMK). Kata Ibrani יָדַע, yada, yang diterjemahkan dengan kenal dalam ayat ini juga berarti bergaul dekat yang melukiskan suatu hubungan yang akrab antara Allah dengan bangsa Israel. Hubungan itu sudah dimulai berabad-abad sebelumnya ketika Allah mengadakan perjanjian dengan Abram, nenek moyang pertama bangsa Israel, untuk menjadikan keturunannya menjadi bangsa yang besar dan termashur (Kej. 12:2). Janji yang sama diulangi setelah Tuhan mengganti nama Ibrahim menjadi Abraham (Kej. 22:17; 32:12). Sebagai bangsa yang "didirikan" oleh Allah sendiri, Israel diberkati dengan dua hal: recognition (pengakuan) dan privilege (hak istimewa).
"Dalam Yeremia 1:5, misalnya, Allah berkata bahwa Dia 'mengenal' nabi itu dan menetapkan dia bahkan sebelum kelahirannya. Demikian pula halnya dengan Israel. Mereka itu bukan sekadar salah satu bangsa di antara banyak bangsa. Sebaliknya, Allah berketetapan memisahkan mereka untuk suatu tujuan ilahi yang suci. Mereka berada dalam satu hubungan yang istimewa dengan Dia" [alinea kedua: lima kalimat terakhir].
Tanggungjawab moral. Hampir semua orang mau jadi pemimpin, umumnya karena dua hal: pengakuandan hak istimewa. Makanya belakangan ini orang berbondong-bondong terjun ke dunia politik (walaupun kebanyakan awam soal politik, bahkan tak punya potongan politisi), sebab di alam demokrasi "moda" untuk mengantar seseorang kepada kursi kekuasaan adalah politik. Begitulah, para anggota dewan tidak puas hanya sebagai wakil rakyat, lalu meninggalkan jalur legislatif dan bertarung di jalur eksekutif. Para artis seakan kurang puas hanya jadi selebriti, lalu beringsut dari dunia hiburan dan memasuki dunia politik. Para pengusaha juga merasa tak cukup dengan kekuasaan di kantornya dan ingin jadi penguasa di ruang publik. Dunia politik pun berubah menjadi arena dagang sapi, dan sebagian orang mengeluh karena "ongkos politik" menjadi sangat tinggi. Inflasi politik, mungkin?
Tetapi perilaku mengejar-ngejar kedudukan seperti itu bukan cuma monopoli "orang dunia" (istilah yang lazim kita gunakan), tapi fenomena serupa bisa terjadi di lingkungan keagamaan/kegerejaan. Pemicunya ya itu tadi, pengakuan dan hak istimewa. Bentuk-bentuk penghormatan mulai dari yang bersifat normatif seperti fasilitas dan perlakuan khusus dalam setiap pertemuan, sampai kepada hal-hal tetek-bengek seperti jadi rebutan banyak orang untuk bersalaman dan berfoto bersama (buat pajangan di Facebook!), semuanya merupakan privilese-privilese yang cukup menggairahkan untuk dinikmati sebagai bonus dari suatu jabatan. Namun jabatan itu bukan sekadar pengakuan dan hak istimewa, tetapi jabatan adalah amanah dan tanggungjawab moral. Semakin tinggi dan semakin penting jabatan seseorang, baik itu jabatan publik maupun non-publik, kian besar pula tuntutan tanggungjawab moralnya. Tanggungjawab moral itu termasuk komitmen untuk keberhasilan tugas dan kelakuan yang terpuji.
Kewajiban moral. Kita kembali kepada masalah Israel purba. Sebagai bangsa dan umat pilihan Tuhan mereka beroleh pengakuan dan hak-hak istimewa, sayangnya mereka mengabaikan tanggungjawab moral untuk menjadi satu bangsa melalui siapa semua bangsa di dunia ini diberkati (Kej. 12:3; 22:18), dan mereka pun melalaikan kewajiban moral untuk memperkenalkan bangsa-bangsa kafir kepada Allah yang benar (Yes. 55:4, 5).
"Allah sendiri yang telah memilih Israel dan membawanya keluar dari perhambaan kepada kebebasan. Keluar dari Mesir adalah satu peristiwa paling penting dalam permulaan sejarah Israel sebagai satu bangsa. Hal itu menyediakan jalan bagi tindakan-tindakan penebusan Allah dan penaklukkan tanah Kanaan. Tetapi kekuatan dan kemakmuran Israel telah membawa kepada kesombongan dan kepuasan diri karena statusnya yang istimewa sebagai umat pilihan Tuhan" [alinea ketiga].
Israel adalah bangsa yang istimewa bukan saja karena mereka adalah umat pilihan Tuhan, namun karena kepada mereka telah diberikan Hukum Allah dan kesempatan luas untuk bergaul dengan Dia sehingga dari pengalaman itu mereka lebih mengenal Allah dan lebih mengetahui tentang kehendak-kehendak-Nya. Tetapi seperti halnya setiap keistimewaan selalu mengandung tuntutan, dari bangsa itu pun dituntut tanggungjawab dan kewajiban yang sepadan dengan keistimewaan mereka. "Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut" (Luk. 12:48). Ketentuan absolut ini merupakan rumus abadi, dulu sudah berlaku dan sekarang juga masih berlaku.
Pena inspirasi menulis: "Semua yang sudah mempunyai terang kebenaran sedang diuji sama seperti orang Yahudi. Sebagai satu umat kita sudah ditinggikan pada hak-hak istimewa yang tertinggi. Tuhan sudah dinyatakan kepada kita di dalam terang yang terus bertambah. Hak-hak istimewa kita jauh lebih besar ketimbang hak-hak istimewa bangsa Yahudi. Kita bukan saja memiliki terang besar yang dipercayakan kepada Israel purba, tetapi kita juga mempunyai bukti yang meningkat tentang keselamatan agung yang diberikan kepada kita melalui Kristus. Apa yang merupakan contoh dan lambang bagi orang Yahudi adalah kenyataan bagi kita. Mereka mempunyai sejarah Perjanjian Lama, kita mempunyai Perjanjian Lama dan juga Perjanjian Baru" (Ellen G. White, Review and Herald, 17 Januari 1899).
Apa yang kita pelajari tentang hak istimewa dan tuntutan-tuntutannya?1. Eksistensi bangsa Israel adalah atas rencana Allah sebagai ujud dari perjanjian-Nya dengan Abraham. Itulah sebabnya Israel adalah bangsa yang mendapat "pengakuan dan hak istimewa" langsung dari Allah sendiri. Tetapi keistimewaan mereka itu disertai dengan tujuan yang istimewa juga.
2. Sebagai umat pilihan Allah, bangsa Israel mengemban tanggungjawab dan kewajiban moral yang melekat pada keistimewaan mereka sebagai satu bangsa. Mereka harus menjadi saluran berkat Allah dan juga sumber pengetahuan akan Allah yang benar bagi bangsa-bangsa lain.
3. Israel purba telah gagal memenuhi tanggungjawab dan kewajiban mereka oleh sebab sikap cinta diri dan mengabaikan maksud Allah. Kegagalan Israel purba dapat menjadi kegagalan umat Tuhan zaman akhir ini kalau kita tidak belajar dari pengalaman mereka.
4. SAAT PERTANGGUNGJAWABAN (Pertemuan Israel Dengan Allah)
Siap menghadap Tuhan? Lewat nabi Amos, Allah berfirman kepada bangsa Israel purba: "Sebab itu demikianlah akan Kulakukan kepadamu, hai Israel. Oleh karena Aku akan melakukan yang demikian kepadamu, maka bersiaplah untuk bertemu dengan Allahmu, hai Israel!" (Am. 4:12; huruf miring ditambahkan). Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan bertemu pada ayat ini adalah קָרָא, qir'ah, kata yang juga digunakan dalam Kej. 18:2 yang tentang Abraham yang keluar menemui tiga orang yang dilihatnya lewat di depan perkemahannya di Mamre, yang kemudian diketahuinya bahwa mereka tidak lain dari Tuhan bersama malaikat-malaikat pengiring-Nya. Kata yang sama juga digunakan dalam Kej. 19:1 tentang Lot ketika menemui dua orang yang dilihatnya berjalan menuju ke rumahnya di Sodom, yang semula disangkanya musafir tapi ternyata mereka adalah kedua malaikat yang datang untuk mengamarkannya tentang hukuman Allah yang segera akan menimpa kota Sodom dan Gomora.
Meskipun kata "bertemu" dalam ketiga ayat di atas memiliki arti yang sama, namun pemakaian kata ini dalam kitab Amos berbeda dengan pemakaiannya dalam dua ayat kitab Kejadian tersebut, yaitu perbedaannya pada makna yang melatarbelakangi pemakaian kata itu. Abraham dan Lot datang bertemu dengan Tuhan dan malaikat Tuhan itu adalah atas inisiatif mereka sendiri secara sukarela, sedangkan Israel bertemu dengan Tuhan karena keharusan. Hal ini terindikasi dalam ayat sebelumnya ketika Tuhan berkata, "Aku telah menjungkirbalikkan kota-kota di antara kamu, seperti Allah menjungkirbalikkan Sodom dan Gomora, sehingga kamu menjadi seperti puntung yang ditarik dari kebakaran, namun kamu tidak berbalik kepada-Ku" (Am. 4:11). Bagi Israel, pertemuan dengan Allah dalam hal ini bukan sebuah tantangan seperti bagi Abraham dan Lot, bukan pula sebagai sebuah undangan seperti ketika Tuhan berbicara kepada bangsa Israel melalui nabi Yesaya (Yes. 55:3), tetapi kali ini pertemuan tersebut adalah sebuah panggilan untuk menghadap yang tidak bisa ditolak.
Dalam gaya bahasa populer di kalangan masyarakat pengguna bahasa Indonesia, kita mengenal istilah "menghadap Tuhan" yang mengandung arti kematian. Sebutan ini adalah produk dari penghalusan bahasa (eufemisme) yang lazim untuk menggantikan kata "mati" jika menyangkut seorang manusia. Istilah ini juga sama dengan "tutup usia" atau "menghembuskan nafas terakhir." Jadi, sebutan "menghadap Tuhan" sesungguhnya memiliki konotasi yang mengerikan. Mengapa Israel harus menghadap Tuhan? Untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan mereka dan pola hidup yang selama ini mereka praktikkan. "Amos pasal 4 dimulai dengan uraian tentang dosa-dosa Israel, dan diakhiri dengan pengumuman akan hari perhitungan. Allah membuat umat-Nya bertanggungjawab khususnya atas cara-cara bagaimana mereka hidup dan memperlakukan orang lain" [alinea pertama].
Doa Salomo. Pada upacara penahbisan Bait Suci pertama dan termegah dalam sejarah bangsa Israel yang dibangun di kota Yerusalem, sambil menengadahkan tangannya raja Salomo memanjatkan doa penyerahan kepada Tuhan yang disaksikan oleh seluruh rakyat. Dalam doa yang cukup panjang itu Salomo juga menyelipkan--sebagaimana kelaziman pada masa itu--suatu sumpah yang mengikat seluruh bangsa Israel.
Antara lain dia berdoa, "Apabila umat-Mu berdosa kepada-Mu dan Engkau menghukum mereka dengan tidak menurunkan hujan lalu mereka bertobat dari dosa mereka dan menghormati Engkau sebagai TUHAN, kemudian menghadap ke rumah ibadat ini serta berdoa kepada-Mu, kiranya dari surga Engkau mendengarkan mereka. Dan ampunilah dosa umat-Mu Israel dan raja mereka. Ajarlah mereka melakukan apa yang benar. Setelah itu, ya TUHAN, turunkanlah hujan ke negeri-Mu ini, negeri yang Kauberikan kepada umat-Mu untuk menjadi miliknya selama-lamanya. Apabila negeri ini dilanda kelaparan atau wabah, dan tanaman-tanaman dirusak oleh angin panas, hama atau serangan belalang, atau apabila umat-Mu diserang musuh, atau diserang penyakit, semoga Engkau mendengarkan doa mereka...Sebab itu perlakukanlah setiap orang setimpal perbuatan-perbuatannya, supaya umat-Mu taat kepada-Mu selalu selama mereka tinggal di negeri yang Kauberikan kepada leluhur kami" (1Raj. 8:35-40, BIMK).
Salomo sebenarnya hanya mengulangi perjanjian yang diucapkan oleh leluhur mereka di hadapan Musa dan Yosua ketika masih berada dalam perjalanan pengembaraan di padang gurun dan menjelang mereka memasuki tanah warisan Kanaan. Perjanjian itu bersifat hitam-putih dan sangat jelas: kalau setia dan taat kepada Allah mereka akan diberkati dengan keamanan dan kemakmuran, sebaliknya kalau tidak setia dan murtad mereka akan menderita kutukan. Tetapi ada tambahan dalam doa Salomo, yaitu permohonan bahwa apabila bangsa itu berbuat dosa kemudian bertobat dan kembali kepada Tuhan supaya mereka diampuni. Tuhan mendengar doa Salomo itu. "Doamu sudah Kudengar, dan dengan ini rumah yang telah kau dirikan ini Kunyatakan menjadi tempat khusus untuk beribadat kepada-Ku selama-lamanya. Aku akan selalu memperhatikan dan menjaga tempat ini" (1Raj. 9:3, BIMK). Sayangnya, bangsa Israel gagal mempertahankan kesetiaan mereka sehingga hukuman-hukuman yang disebutkan dalam doa Salomo itu menimpa mereka.
Pena inspirasi menulis: "Bersiaplah untuk bertemu Tuhan-mu. Ada dosa-dosa yang harus diakui, dan kesalahan-kesalahan untuk diluruskan. Sekarang ini waktu harus digunakan untuk persiapan yang sungguh bagi Tuhan. Di masa pertobatan yang khidmat ini kita harus merendahkan hati kita di hadapan Allah dan mengakui dosa-dosa kita. Kita mesti memiliki iman yang sesuai dengan kebenaran-kebenaran penting dan serius yang kita miliki. Inilah satu-satunya bukti yang dapat kita berikan kepada dunia untuk menunjukkan bahwa agama kita itu murni" (Ellen G. White, Review and Herald, 11 Juli 1899).
Apa yang kita pelajari tentang Israel yang harus bertemu dengan Tuhan?1. Amaran nabi Amos kepada Israel agar bersiap untuk bertemu dengan Allah adalah panggilan untuk mempertanggungjawabkan cara hidup mereka yang jahat. Itu adalah pertanda yang buruk bagi bangsa yang murtad itu.
2. Salomo, raja terdahulu ketika bangsa itu masih bersatu, telah memohon kepada Allah agar sekiranya di kemudian hari umat itu berbuat dosa Tuhan mau mengampuni bila mereka bertobat. Tuhan menerima permohonan itu, tetapi mereka tidak memanfaatkan kesempatan untuk bertobat.
3. Allah yang sama juga telah berjanji untuk memberi pengampunan kepada umat-Nya di zaman akhir bila mereka bertobat dari kejahatan dan dosa (2Ptr. 3:9; Luk. 5:32). Pertanyaannya: apakah kita akan memanfaatkan kesempatan itu, atau mengabaikannya seperti bangsa Israel purba sampai dipanggil menghadap Tuhan?
5. HUKUMAN ATAS ORANG SOMBONG (Kesombongan yang Menuntun Kepada Kejatuhan)
Saudara tapi juga musuh. Pekabaran nabi Obaja bukan kepada kerajaan Israel maupun Yehuda, melainkan khusus ditujukan bagi bangsa Edom. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bangsa Edom adalah keturunan Esau, kakak kembar dari Yakub yang menjadi nenek moyang bangsa Israel dan Yehuda. Jadi, bangsa Edom dan bangsa Israel merupakan dua bangsa kakak-beradik yang berasal dari satu darah, yaitu Ishak, ayah dari Esau dan Yakub. Esau pernah begitu marah terhadap adiknya itu karena Yakub, dengan arahan dan bantuan ibunya, telah merebut berkat kesulungan dengan memperdayai ayah mereka sehingga dia berniat untuk membunuh Yakub (Kej. 27:41). Tapi belakangan kedua saudara kembar itu telah rujuk ketika Yakub pulang dari perantauan dan bertemu dengan Esau dalam suasana persaudaraan yang mesra (Kej. 33:4). Namun hubungan persaudaraan itu tidak berlanjut pada keturunan Esau, bangsa Edom. Bahkan keturunan lain dari seorang cucu Esau, Amalek, menjadi salah satu musuh bebuyutan Israel juga (Kej. 36:12).
Dr. Zdravko Stefanovic, penyusun pelajaran SS ini, tampaknya sekadar menyelipkan kitab Obaja--hanya untuk satu hari pembahasan saja dari seluruh 13 pelajaran triwulan ini--mungkin karena sasaran pekabarannya cuma ditujukan kepada satu bangsa di luar Israel, yakni bangsa Edom (Ob. 1). Meskipun begitu, inti pekabarannya tetap relevan bagi umat Tuhan masa kini, khususnya perihal kesombongan. Nama Obaja berarti "Hamba Tuhan" tetapi tidak diketahui pasti apakah itu nama asli atau hanya julukan saja. Para peneliti Alkitab berkesimpulan bahwa nabi ini bernubuat sekitar tahun 586 SM saat raja Nebukadnezar menyerbu Yehuda dan menawan para pemuda dan sebagian besar rakyat ke Babel, meninggalkan orang-orang tua, kaum wanita dan anak-anak di Yerusalem. Gantinya merasa kasihan dan menolong tetangga sekaligus saudara mereka yang malang itu, orang-orang Edom justeru menjadikan mereka sasaran kekejaman. Perlakuan Edom atas Yehuda itu terekam dalam kitab Yehezkiel 25, 35, 36 dan disinggung dalam Mazmur 137.
"Obaja adalah kitab terpendek dalam Perjanjian Lama, dan kitab itu melaporkan penglihatan nubuat tentang penghakiman Allah atas negeri Edom. Pekabaran dari kitab ini terpusat pada tiga perkara: Kesombongan Edom (ay. 1-4), penghinaan yang akan datang atas Edom (ay. 5-9), dan tindak kekejaman Edom terhadap Yehuda (ay. 10-14)" [alinea pertama].
Amaran terhadap kesombongan. Edom waktu itu memang sangat makmur berkat posisi geografisnya di mana wilayah mereka menjadi jalur utama perdagangan internasional di kawasan itu. Sebagai negara yang menguasai lintasan perdagangan, Edom memiliki banyak sahabat dari bangsa-bangsa sekitar. Selain itu, kota-kota yang mereka dirikan di wilayah-wilayah pegunungan membuat sistem pertahanan militer mereka terbilang kuat dan sulit ditembus oleh musuh. Kedua hal ini--kemakmuran dan ketangguhan--membuat mereka menjadi bangsa yang sombong dan cenderung suka merendahkan bangsa lain. Dua keunggulan tersebut telah menjadi jerat bagi bangsa itu, dan Tuhan bertindak menghukum mereka. Tetapi bukankah hal yang sama terjadi juga pada banyak umat Tuhan dewasa ini, yaitu orang-orang yang merasa dirinya "kaya" dan "kuat" lalu menjadi sombong?
"Allah menuntut tanggung jawab dari mereka yang mengambil keuntungan atas orang-orang lain di masa kesukaran mereka. Obaja mengamarkan orang-orang Edom yang sombong bahwa Allah akan mendatangkan kehinaan ke atas mereka. Tidak ada tempat untuk luput dari Tuhan (Am. 9:2-3). Hari Tuhan yang akan datang itu bakal membawa baik pehukuman maupun keselamatan. Edom akan meminum cawan murka Allah, sedangkan keberuntungan umat Allah akan dipulihkan" [alinea terakhir].
Betapa sering kita melihat sifat-sifat Edom dipantulkan dalam kehidupan dan kelakuan umat Allah bahkan hamba-hamba Tuhan di zaman akhir ini. Banyak di antara kita yang memanfaatkan posisi demi keuntungan diri sendiri dan pada waktu yang sama menindas orang lain. Pena inspirasi mengamarkan: "Karena mereka memiliki kekuasaan, mereka menuntut lebih dari apa yang adil dan jujur, dan dengan demikian menjadi penindas-penindas. Firman Allah harus menjadi aturan dalam urusan-urusan...Tuhan akan menghakimi dan menghukum; Dia akan mendengar teriakan orang yang tertindas, dan akan membalas si penindas itu sesuai dengan perbuatannya" (Ellen G. White, Review and Herald, 11 Maret 1884).
Apa yang kita pelajari tentang kesombongan dan kejatuhan Edom?1. Bangsa Edom pada zaman nabi Obaja adalah bangsa yang makmur dan tangguh, tetapi keunggulan mereka itu tidak dimanfaatkan untuk menolong Yehuda yang sedang mengalami keterpurukan. Justeru orang Edom memanfaatkan kemalangan saudara mereka itu untuk tambah menindas.
2. Kondisi Edom yang makmur dan tangguh itu telah membuat mereka menjadi bangsa yang sombong dan takabur (Ob. 3). Tetapi Allah akan menghukum dengan menghinakan serta memusnahkan mereka (ay. 4, 10), dan perbuatan mereka akan berbalas (ay. 15).
3. Karakteristik dari dosa bangsa Edom tersebut kerap tercermin dalam sepak terjang sebagian umat Tuhan masa kini, yaitu sombong karena kekayaan atau kedudukan mereka. Pekabaran nabi Obaja dan ancaman pembalasan dari Tuhan kiranya menjadi amaran yang relevan bagi kita semua.
PENUTUP
Keistimewaan bisa menjerumuskan. Sebagaimana posisi bangsa Israel sebagai umat pilihan Tuhan telah menimbulkan perasaan istimewa yang menjerumuskan bagi mereka, demikian pula posisi sebagai umat pilihan Allah zaman akhir dapat menjerumuskan kita. Sebagai umat pilihan, kita memang umat yang istimewa (peculiar people). Khas, eksklusif, dan berbeda. Namun perbedaan ini bukanlah suatu keunggulan untuk disombongkan, melainkan untuk menyadarkan kita agar senantiasa berhati-hati dalam hal bagaimana kita hidup supaya selalu memantulkan sifat-sifat Kristus yang suci dan tak bercela. Setiap orang Kristen harus menyadari bahwa kehidupannya adalah semacam "surat Kristus...ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup" (2Kor. 3:3).
"Dari permulaan agama orang Israel keyakinan bahwa Allah sudah memilih umat yang istimewa ini untuk melaksanakan missi-Nya telah menjadi fondasi iman orang Ibrani maupun penghiburan pada masa-masa kesulitan. Namun demikian, nabi-nabi itu merasa bahwa bagi banyak orang di zaman mereka fondasi ini adalah sebuah batu sandungan, dan penghiburan ini adalah sebuah pelarian. Mereka harus mengingatkan bangsa itu bahwa keterpilihan tidak boleh disalah-artikan sebagai sikap pilih kasih ilahi atau kekebalan dari hukuman, tapi sebaliknya hal itu berarti menjadi lebih tak terlindung terhadap penghakiman dan pehukuman ilahi..." [alinea kedua].
Secara kolektif, posisi sebagai umat pilihan dapat menjadi sebuah keistimewaan yang bisa menjerumuskan kalau kita keliru menilai dan memahami arti kedudukan kita sebagai satu umat di tengah kancah pergaulan yang luas di dunia ini. Secara perorangan, posisi sebagai orang-orang yang terpilih oleh Tuhan dan organisasi untuk menduduki suatu jabatan struktural ataupun tugas fungsional juga dapat menjerumuskan kita kalau kita salah dalam memaknai keterpilihan kita di lingkungan pekerjaan Tuhan!
Posisi dan kedudukan dapat menjadi jerat bagi mereka yang tidak menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dalam kerendahan hati untuk dibimbing oleh Roh-Nya, dan mereka yang tidak bertobat tetapi terus memelihara sifat dan ambisi keduniawiannya segera akan terbukti menjadi alat Setan yang merongrong pekerjaan Tuhan. Pekabaran nabi Amos dan nabi Obaja adalah pekabaran Allah yang juga ditujukan kepada kita semua dewasa ini.
"Ia mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan penyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus,
yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik" (Tit. 2:12-14).
Sumber:
1. Zdravko Stefanofic, Profesor bidang studi Ibrani dan Perjanjian Lama, Universitas Walla Walla,U.S.A--- Penuntun Guru Pelajaran Sekolah Sabat Dewasa, Trw.II, 2013. Bandung: Indonesia Publishing House.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar