Selasa, 11 November 2014

Keluarga Kristen (The Christian Family)



   Tuhan adalah Oknum pembentuk sebuah keluarga. Tentu Dia memberikan pemahaman kepada kita tentang bagaimana seharusnya fungsi sebuah keluarga dan Dia sanggup mengingatkan kita akan bahaya-bahaya yang dapat menghancurkan keutuhan keluarga. Memang, Tuhan telah memberikan banyak prinsip dalam FirmanNya mengenai struktur keluarga dan peranan yang harus dipikul oleh tiap anggota. Ketika perintah-perintah dalam Alkitab ditaati, maka keluarga-keluarga akan menikmati semua berkat yang Allah mau mereka dapatkan. Ketika perintah dilanggar, muncullah kekacauan dan sakit-hati.

Peranan Suami dan Istri (The Role of Husband and Wife)

Allah telah merancang keluarga Kristen agar mengikuti struktur tertentu. Karena kerangka ini memberikan stabilitas bagi kehidupan keluarga, Setan bekeja keras untuk mengacaukan rancangan maksud Allah.

Pertama, Allah telah menetapkan bahwa suami menjadi kepala keluarga. Hal ini tidak memberikan hak kepada suami untuk secara egois mendominasi istri dan anak-anaknya. Allah memanggil suami untuk mengasihi, melindungi, mencukupi kebutuhan, dan memimpin keluarganya sebagai kepala keluarga. Allah juga menghendaki agar istri menyerah kepada pimpinan suaminya. Hal itu jelas dinyatakan dalam Alkitab:

Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. (Efesus 5:22-24).

Suami bukanlah kepala rohani dari istrinya —Yesus adalah Pribadi yang memenuhi peran itu. Yesus adalah kepala rohani dari gerejanya, dan istri Kristen adalah anggota gereja, sama halnya dengan suami Kristen. Tetapi, di dalam keluarga, suami Kristen adalah kepala dari istri dan anak-anaknya, dan ia harus berserah kepada otoritas yang diberikan oleh Allah.

Sampai sejauh mana istri menyerah kepada suaminya? Ia harus tunduk kepada suami dalam segala sesuatu, seperti kata Paulus. Kecuali jika suaminya mengharapkannya untuk tidak menaati Firman Tuhan atau melakukan sesuatu yang melanggar kata-hatinya. Sudah tentu, tidak ada suami Kristen pernah berharap istrinya untuk melakukan sesuatu yang melanggar Firman Tuhan atau kata-hati istrinya. Suami bukanlah tuhan bagi istrinya —hanya Yesus yang memiliki tempat itu dalam kehidupan sang istri. Jika harus memilih siapa yang akan ditaati, sang istri harus memilih Yesus.

Suami harus ingat bahwa Allah tidak secara langsung selalu “berpihak kepada suami.” Allah pernah berkata kepada Abraham untuk melakukan apa kata istrinya Sarah kepadanya (lihat Kejadian 21:10-12). Alkitab juga mencatat bahwa Abigail tidak menaati suaminya yang bodoh, Nabal, dan menimbulkan bencana (lihat 1 Samuel 25:2-38).

Firman Tuhan kepada Para Suami (God’s Word to Husbands)

Kepada setiap suami, Allah berkata:

Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya ….. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri : Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, 30 karena kita adalah anggota tubuh-Nya. ….Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya. (Efesus 5:25, 28-30, 33).

Suami diperintahkan untuk mengasihi istrinya seperti Kristus mengasihi gereja. Itu bukanlah tanggung-jawab kecil! Dengan senang hati, setiap istri tunduk kepada orang yang mencintainya persis seperti yang Yesus lakukan —yang memberikan kehidupanNya dalam kasihNya yang penuh pengorbanan. Seperti Kristus mengasihi gerejaNya, demikian juga suami harus mengasihi istri yang olehnya ia menjadi “satu daging” (Efesus5:31). Jika suami Kristen mengasihi istrinya sebagaimana seharusnya, maka ia akan menyediakan kebutuhan, mempedulikan, menghormati, menolong, memberi dorongan, dan meluangkan waktu untuk istrinya. Jika tak sanggup bertanggung-jawab mengasihi istrinya, suami itu berada dalam bahaya karena akan menghambat jawaban atas doa-doanya:

Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai [kaum] yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang. (1 Petrus 3:7, tambahkan penekanan).

Tentu, belum pernah ada pernikahan yang tak pernah mengalami konflik dan pertengkaran. Tetapi, melalui komitmen dan perkembangan buah-buah roh dalam kehidupan, suami dan istri dapat belajar hidup secara harmoni dan mengalami keberkatan yang terus-menerus dalam pernikahan Kristen. Melalui permasalahan yang tak dapat dihindarkan yang muncul dalam tiap pernikahan, setiap pasangan dapat belajar bertumbuh makin dewasa menjadi serupa dengan Kristus.

Untuk menyelidiki lebih lanjut tentang kewajiban suami dan istri, lihat Kejadian 2:15-25; Amsal 19:13;21:9, 19; 27:15-16; 31:10-31; 1 Korintus 11:3; 13:1-8; Kolose 3:18-19; 1 Timotius 3:4-5; Titus 2:3-5; 1 Petrus 3:17.

Seks dalam Pernikahan (Sex in Marriage)

Allah adalah oknum yang menemukan seks, dan Ia menciptakan seks demi kesenangan juga untuk menghasilkan keturunan. Tetapi, Alkitab tegas-tegas berkata bahwa hubungan seks harus dinikmati hanya oleh mereka yang telah menyatukan diri mereka dalam ikatan pernikahan seumur-hidup.

Hubungan seks tanpa ikatan pernikahan digolongkan sebagai perzinahan atau perselingkuhan. Rasul Paulus menyatakan bahwa mereka yang melakukan hal-hal itu tidak akan mewarisi Kerajaan Allah (lihat 1 Korintus 6:9-11). Walaupun orang Kristen dapat dicobai dan berzinah atau berselingkuh, ia akan merasakan hukuman dalam rohnya yang akan membawanya pada pertobatan.

Paulus juga memberikan beberapa petunjuk khusus tentang tanggung-jawab seks kepada suami dan istri:

Tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri. Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya. Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya. Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak. (1 Korintus 7:2-5).

Ayat-ayat di atas memperjelas bahwa seks tidak boleh digunakan sebagai “hadiah” oleh suami atau istri karena baik suami atau istri tak berkuasa atas tubuhnya sendiri.

Lagipula, seks adalah karunia pemberian Allah, dan seks adalah hal yang suci atau bukan dosa selama dalam batas-batas pernikahan. Paulus mendorong para pasangan nikah Kristen untuk tetap terlibat dalam hubungan seks. Lagipula, kita bisa temukan saran tersebut bagi para suami Kristen dalam kitab Amsal:

Diberkatilah kiranya sendangmu, bersukacitalah dengan isteri masa mudamu: rusa yang manis, kijang yang jelita; biarlah buah dadanya selalu memuaskan engkau, dan engkau senantiasa berahi karena cintanya. (Amsal 5:18-19). [1]

Bila pasangan suami-istri Kristen ingin menikmati hubungan seks yang saling memberi kepuasan, maka keduanya harus memahami bahwa ada perbedaan besar karakter seksual antara pria dan wanita. Bila diperbandingkan, kualitas seksual pria lebih bersifat fisik, sedangkan kualitas seksual wanita terkait dengan emosinya. Secara seksual, pria mudah terangsang oleh stimulasi visual (lihat Matius 5:28), sedangkan secara seksual wanita cenderung terangsang melalui sentuhan (lihat 1 Korintus 7:1). Pria tertarik kepada wanita yang menarik di matanya; sedangkan wanita cenderung tertarik kepada pria yang mereka sanjung karena berbagai alasan, dibandingkan hanya daya-tarik fisik. Jadi, istri yang bijak selalu memperhatikan hal terbaik yang bisa dilakukannya untuk menyenangkan suaminya sepanjang waktu. Suami yang bijak menunjukkan perhatiannya kepada istrinya setiap waktu dengan memberi pelukan dan perhatian penuh, bukannya mengharapkan istrinya untuk tetap “siap setiap saat” dalam sekejap di penghujung hari.

Tingkat dorongan seks pria cenderung meningkat dengan bertambahnya air mani dalam tubuhnya, sedangkan dorongan seks wanita meningkat atau menurun, tergantung pada siklus menstruasinya. Pria punya kapasitas rangsangan seks dan pengalaman klimaks seks dalam hitungan detik atau menit; wanita butuh waktu lebih lama. Walaupun pria biasanya siap secara fisik untuk berhubungan seks dalam beberapa detik, tubuh wanita bisa saja tak siap secara fisik selama setengah jam. Jadi, suami yang bijak menggunakan waktu untuk melakukan permainan seks pendahuluan dengan melakukan pelukan mesra, ciuman dan rangsangan dengan tangan ke bagian-bagian tubuh istri yang akan membuat istri menjadi siap melakukan persetubuhan. Jika tak tahu bagian-bagian tubuh istri, suami perlu bertanya kepada istrinya. Juga, ia harus tahu bahwa walaupun ia mampu mencapai hanya sekali klimaks seks, istrinya mampu mencapai lebih dari sekali klimaks. Suami harus paham agar istri mendapatkan apa yang diinginkannya.

Sangatlah penting agar suami dan istri Kristen saling mendiskusikan kebutuhan mereka dengan jujur dan belajar sebanyak mungkin tentang bagaimana perbedaan masing-masing. Selama berbulan-bulan dan tahunan komunikasi, penemuan dan praktek, hubungan seks antara suami dan istri dapat menghasilkan keberkatan yang semakin meningkat.

Anak-anak Keluarga Kristen (Children of a Christian Family)

Anak-anak harus diajarkan agar tunduk dan taat pada orang-tua Kristen mereka. Dan jika mereka tunduk dan taat, ada janji umur panjang dan berkat-berkat lain bagi mereka:

Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. “Hormatilah ayahmu dan ibumu”—(ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini), “supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi”. (Efesus 6:1-3).

Sebagai kepala keluarga, bapak-bapak Kristen bertanggung-jawab utama untuk mendidik anak-anak mereka:

Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. (Efesus 6:4).

Perlu dicatat bahwa ada dua tanggung-jawab bapak: mendidik anak-anaknya dalam disiplin dan pengajaran Tuhan. Mulanya, perhatikanlah pendisiplinan bagi anak-anak.

Pendisiplinan Anak (Child Discipline)

Anak yang tak pernah didisiplinkan akan tumbuh menjadi egois dan suka memberontak terhadap perintah. Anak harus didisiplinkan kapanpun ia dengan keras kepala tidak menaati aturan yang wajar yang telah ditetapkan sebelumnya oleh orang-tua. Anak tak boleh dihukum karena kesalahan atau karena sikap tidak bertanggung-jawab. Tetapi, anak harus menghadapi konsekwensi kesalahan dan sikap tidak bertanggung-jawabnya, sehingga dapat membantunya untuk siap menghadapi realitas kehidupan dewasa kelak.

Anak kecil harus didisiplinkan dengan memukul pantatnya, sesuai perintah Firman Tuhan. Tentu saja, bayi tak boleh dipukuli pantatnya. Itu tidak berarti bahwa bayi selalu diberikan sesuai kemauannya. Nyatanya, sejak lahirnya, harus jelas bahwa bayi adalah tanggung-jawab ibu dan ayahnya. Pada usia sangat muda, bayi dapat diajari tentang arti kata “tidak” dengan mencegahnya agar tak melakukan apa yang akan atau hampir saja dilakukan. Ketika bayi mulai mengerti arti kata “tidak“, pukulan ringan di pantatnya akan membantunya mengerti dengan lebih baik ketika ia tidak patuh. Jika hal ini dilakukan secara konsisten, anak-anak akan belajar taat pada usia sangat muda.

Orang tua dapat juga melaksanakan kuasanya tanpa melakukan tindakan yang tak diinginkan bagi anaknya, seperti memberi apa yang anak nginkan setiap kali ia menangis. Perlakuan itu akan mengajarkan anak untuk menangis agar setiap keinginannya terkabul. Atau, jika orang tua mengabulkan permintaan anaknya tiap kali amarah atau rengekannya meledak, orang tua itu sebenarnya hanya mendukung perilakunya yang tak diinginkan. Orang tua yang bijak hanya menghargai perilaku yang disukai dalam diri anaknya.

Pukulan di pantat tak boleh membahayakan fisik anak tetapi tentunya memberi cukup rasa sakit agar anak yang bandel dapat menangis sebentar. Sehingga, anak akan belajar mengaitkan ketidaktaatan dengan rasa-sakit. Alkitab menegaskan:

Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya. …. Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya…Jangan menolak didikan dari anakmu ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati. ….. Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya. (Amsal 13:24; 22:15; 23:13-14; 29:15).

Ketika menerapkan aturannya, orang tua tak perlu mengancam anak untuk taat. Jika anak berkeras tidak taat, ia harus dipukuli pantatnya. Jika orang tua hanya mengancam untuk memukul pantat anak bandel itu, ia hanya membuat anak itu tetap tidak taat. Akibatnya, anak itu belajar tak taat sampai ancaman orang-tua mencapai volume tertentu.

Setelah pantatnya dipukul, si anak harus dipeluk dan dijamin bahwa ia layak mendapat kasih sayang orang tuanya.

Mendidik Anak (Train Up a Child)

Orang tua Kristen harus sadar bahwa ia bertanggung-jawab mendidik anaknya, seperti dalam Amsal 22:6: “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” (tambahkan penekanan).

Didikan berwujud hukuman atas ketidaktaatan dan ganjaran untuk perilaku yang baik. Anak perlu diberi pujian yang konsisten dari orang tuanya untuk memperkuat perilakunya yang baik dan sifat-sifat yang diinginkan. Anak perlu diberikan rasa aman agar ia merasa dikasihi, diterima dan dihargai oleh orang-tuanya. Orang tua dapat menunjukkan kasihnya melalui kata-kata pujian, pelukan dan ciuman, dan meluangkan waktu bersama anaknya.

Mendidik” berarti “membuat anak taat.” Karena itu, orang tua Kristen tak boleh memberikan pilihan kepada anaknya apakah ia mau atau tidak mau ke gereja atau berdoa setiap hari dan seterusnya. Anak cukup bertanggung-jawab untuk tahu apa yang terbaik baginya —itu sebabnya Allah memberikan orang-tua kepadanya. Bagi orang tua yang menggunakan usaha dan tenaga untuk melihat agar anaknya mendapat pendidikan yang baik, Allah berjanji bahwa anaknya tak akan menyimpang dari jalan yang benar ketika mereka menjadi dewasa, seperi dalam Amsal 22:6.

Anak harus terus diberikan tanggung-jawab ketika usianya bertambah. Tujuan efektif menjadi orang-tua adalah menyiapkan anak secara bertahap untuk memikul tanggung-jawab penuh menuju kedewasaan. Ketika anak bertambah usia, ia secara bertahap diberi lebih banyak kebebasan untuk membuat keputusannya. Juga, remaja harus mengerti bahwa ia akan menerima tanggung-jawab atas konsekwensi dari keputusannya dan orang tuanya tidak akan selalu ada untuk “menjaminnya keluar” dari kesulitan.

Tanggung-jawab Orang Tua untuk Mendidik (Parents’ Responsibility to Instruct)

Seperti kita baca Efesus 6:4, ayah bertanggung-jawab mendisiplinkan anak dan harus mengajari anak di dalam Tuhan. Gereja tak bertanggung-jawab mengajari hal moralitas yang Alkitabiah kepada anak, karakter Kristen, atau teologi —itu adalah tugas ayahnya. Adalah keliru bila orang tua mengalihkan semua tanggung-jawabnya kepada guru di sekolah Kristen atau Pendeta saja di gereja untuk mengajari anak-anak tentang Allah. Perhatikan bahwa Allah memerintahkan Israel melalui Musa:

Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. (Ulangan 6:6-7, tambahkan penekanan).

Anak harus diperkenalkan kepada Allah, sejak usia dini, oleh orang tua Kristen, dengan menceritakan kepada anak tentang siapa Allah dan betapa Ia mengasihinya. Anak harus diajari kisah tentang Yesus –kelahiran, kehidupan, kematian, dan kebangkitanNya. 

Sepuluh Aturan untuk Mengasihi Anak (Ten Rules for Loving Your Children)

1) Jangan buat anak anda frustrasi (lihat Efesus 6:4). Anak tak boleh diharuskan berperilaku seperti orang dewasa. Jika anda berharap terlalu banyak dari anak, ia tidak akan lagi membuat anda senang, karena ia tahu bahwa hal itu mustahil.

2) Jangan bandingkan anak anda dengan anak lain. Biarkan ia tahu seberapa besar anda menghargai sifat-sifat unik mereka dan karunia-karunia dari Allah.

3) Beri dia tanggung-jawab di rumah sehingga ia akan tahu bahwa ia bagian penting dalam keluarga. Penghargaan adalah bahan bangunan bagi harga diri yang sehat.

4) Luangkan waktu bersama anak. Sehingga anak tahu bahwa ia penting bagi anda. Memberi materi kepada anak tak dapat menggantikan diri anda baginya. Juga, seorang anak banyak dipengaruhi oleh orang yang meluangkan paling banyak waktu bersamanya.

5) Jika anda harus mengatakan sesuatu yang negatif, katakalah secara posifif. Jangan pernah berkata kepada anak Anda  bahwa dia “jelek” ketika ia tak menaati Anda.

6) Sadarilah, kata “tidak” berarti “Saya peduli padamu.” Ketika menemukan caranya, secara intuitif anak tahu anda tak cukup peduli untuk melarangnya.

7) Harapkan agar anak anda meniru anda. Anak belajar dari teladan orang-tuanya. Orang-tua yang bijak tak akan pernah berkata kepada anaknya, “Lakukan apa kataku, bukan apa yang kulakukan.”

8) Jangan beri jaminan kepada anak anda atas masalahnya. Singkirkan batu sandungan; biarkan batu loncatan ada di jalurnya.

9) Layani Allah dengan segenap hati anda. Biasanya, anak, yang orang-tuanya suam-suam kuku, jarang melayani Allah saat ia dewasa kelak. Anak Kristen dari orang tua yang belum selamat dan anak dari orang-tua Kristen yang berkomit-men penuh biasanya tetap melayaniNya ketika berada di luar “tempat asalnya.”

10) Ajarkan Firman Tuhan kepada anak. Orang tua sering memprioritaskan pendidikan anaknya tetapi gagal memberikan pendidikan terpenting yang bisa diperoleh anak itu, yakni pendidikan Alkitab.

Prioritas Pelayanan, Pernikahan dan Keluarga (The Priorities of Ministry, Marriage and Family)

Mungkin kesalahan yang paling sering muncul yang dilakukan oleh tiap pemimpin Kristen adalah meremehkan pernikahan dan keluarganya karena pengabdian kepada pelayanannya. Pemimpin itu membenarkan dirinya dengan berkata bahwa pengorbanannya adalah “untuk pekerjaan Tuhan.”

Kesalahan itu diperbaiki ketika pelayan pemuridan menyadari bahwa ketaatan dan pengabdiannya yang sejati kepada Allah tercermin oleh hubungannya dengan pasangan hidupnya dan anak-anaknya. Seorang pendeta tak dapat berkata bahwa ia mengabdi kepada Allah jika ia tidak mengasihi istrinya seperti Kristus mengasihi gerejaNya, atau jika ia tak mau meluangkan waktu untuk bercengkerama dengan anak-anaknya demi mendidik mereka agar tunduk pada pengawasan dan peringatan dari Tuhan.

Lagipula, biasanya, tanda pelayanan yang bersifat kedagingan yang dilakukan dengan kekuatan diri sendiri adalah sikap tidak mempedulikan pasangan nikah dan anak-anak demi “pelayanan”. Ada banyak pendeta gereja/ lembaga yang memikul beban kerja berat, karena mereka membuat diri mereka lelah demi tetap menjalankan semua program gereja.

Yesus berjanji bahwa bebanNya ringan dan kukNya enak (lihat Matius 11:30). Ia tidak memanggil pelayan untuk menunjukkan pengabdiannya bagi dunia atau gereja dengan mengorbankan cintanya kepada keluarganya. Ternyata, satu syarat untuk menjadi penatua adalah ia “harus menjadi kepala keluarga yang baik” (1 Timotius 3:4). Hubungan dengan keluarganya adalah ujian bagi kelayakannya dalam pelayanan.

Terkadang, orang yang terpanggil untuk melakukan pelayanan berpindah-pindah dan harus berada jauh harus menghabiskan waktu ekstra untuk fokus pada keluarganya ketika berada di rumah. Setiap rekan sesama tubuh Kristus harus melakukan hal dalam kuasanya sehingga tugas tersebut terlaksana. Pelayan pemuridan sadar bahwa anak-anaknya adalah murid-murid utamanya. Jika ia gagal memuridkan anak-anaknya, ia tak berhak untuk mencoba melakukan pemuridan di luar rumahnya.  Hms.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar