Apa yang dimaksudkan dengan pernikahan? Di
bawah ini ada beberapa pendapat/refleksi mengenai pernikahan dari sudut pandang
kekristenan yang mencoba menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan pernikahan.
-Pernikahan
adalah kesempatan untuk belajar tentang cinta
-Pernikahan
adalah perjalanan yang harus kita lalui dengan berbagai pilihan dan konsekuensi
-Pernikahan
lebih banyak dipengaruhi oleh komunikasi batiniah daripada komunikasi lahiriah
-Pernikahan
lebih banyak dipengaruhi oleh masalah masa lampau yang tak terselesaikan,
tetapi hal ini jarang kita sadari
-Pernikahan
adalah panggilan untuk melayani
-Pernikahan
adalah panggilan untuk bersahabat
-Pernikahan
adalah panggilan untuk menderita
-Pernikahan
adalah panggilan untuk saling berbagi dan memberi
-Pernikahan
adalah proses pemurnian;
suatu kesempatan untuk dibentuk Allah menjadi
pribadi yang dikehendakiNya
Jadi, pernikahan mempunyai makna yang luas.
Ia tidak sekedar persatuan tubuh antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan. Pernikahan adalah sebuah persekutuan hidup yang utuh, yang tak
terpisahkan antara dua pribadi, laki-laki dan perempuan, yang dipersatukan
menjadi suami-istri. Pernikahan ada dalam rencana Tuhan dan Tuhan melihat
persekutuan hidup tersebut sebagai sesuatu yang indah dan baik. Oleh sebab itu,
sangat penting bagi setiap pasangan yang akan menikah memahami dasar teologis
pernikahan. Hal ini perlu dimengerti, dihayati, dan dilakukan agar hidup
pernikahan yang akan dijalani adalah sebuah pernikahan yang kokoh.
DASAR
TEOLOGIS PERNIKAHAN
Di dalam Alkitab Perjanjian Lama kita dapat
melihat bahwa lembaga sosial pertama yang dibentuk Allah bagi manusia ialah
keluarga yang terbentuk melalui sebuah pernikahan (Kejadian 2: 18-25). Lembaga ini Allah dirikan bagi manusia
sebelum jatuh ke dalam dosa. Dengan demikian
kita dapat mengatakan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang baik di mata
Allah. Menikah dan membangun sebuah keluarga bukanlah dosa. Bahkan kita dapat
mengatakan bahwa pernikahan yang diadakan Allah bagi manusia bersifat kudus.
Beberapa ayat Alkitab yang mendukung pandangan di atas adalah Kejadian 1:22;
Matius 19:5; Yohanes 2:1-11. Pernikahan itu sendiri merupakan persekutuan kasih
yang paling istimewa diantara manusia.
Pernikahan manusia berbeda dengan pernikahan
binatang/hewan meskipun kita melihat bahwa hewan pun diciptakan
berpasang-pasangan: jantan dan betina. Manusia melebihi binatang dalam hal akal
budi, kebebasan kehendak, bahasa, kesadaran akan dirinya sendiri, kesadaran akan
Tuhan dan suara hati yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat.
Walaupun pernikahan manusia itu mencakup naluri dan nafsu, seperti yang
terdapat pada binatang, tetapi pernikahan manusia merupakan suatu hubungan yang
jauh lebih kaya dan agung dari pada pernikahan mahluk lain. Dasarnya ialah
karena,“Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya; menurut gambar Allah
dijadikan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka (Kejadian 1:
27).
Kejadian 2:
18 menyatakan, “ Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan
menjadikan penolong yang sepadan dengan dia.” Penolong yang sepadan berarti
penolong yang dapat saling menunjang, saling melengkapi di dalam kedudukannya
yang sederajad. Seorang pria kedudukannnya tidak lebih tinggi dari kedudukan
seorang wanita. Demikian juga sebaliknya. Allah menciptakan laki-laki dan
perempuan dalam derajad yang sama. Keduanya bukanlah unsur yang bertentangan
melainkan unsur yang saling melengkapi.
Pada Kejadian 2: 24 Tuhan berfirman, “ Sebab
itu seorang laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu
dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi
satu daging.” Dari ayat tersebut kita dapat melihat dasar-dasar yang Tuhan
tanamkan pada setiap orang dalam mencapai kebahagiaan hidup pernikahannya,
yaitu:
1. “Meninggalkan orang tua”
Ungkapan ini tidak berarti pasangan yang
telah menikah tidak lagi menghormati dan mengasihi orangtua mereka
masing-masing. Mereka harus tetap mengasihi orangtua mereka. Tetapi yang dimaksudkan ialah setiap pasangan
yang telah menikah harus mandiri dalam segala hal. Baik dalam hal keuangan
maupun dalam pengambilan keputusan. Saran orangtua sebagai masukan yang
berharga. Tetapi keputusan harus bersumber dari pemikiran yang matang dari
kedua insan yang telah bersatu dalam pernikahan. Sayangnya, banyak orang yang
tidak mampu melakukan hal ini. Mereka meninggalkan rumah secara fisik tetapi
tidak secara psikologis. Kelekatan pada orangtua seharusnya digantikan dengan
kelekatan pada pasangan hidupnya tanpa mengabaikan kehadiran orangtua
masing-masing dalam kehidupan mereka.
2. “Bersatu dengan istri/suami”
Kesatuan suami dan istri dapat diibaratkan
dengan dua lembar kertas yang dilem dengan rapih. Diantara kedua lembar kertas
tersebut tidak boleh diselipkan unsur ketiga, baik yang berupa orangtua, karir, hobbi, sahabat dan sebagainya. Yang menjadi perekat mereka adalah cinta
kasih mereka yang tulus terhadap yang lain.
Suami dan
istri harus menjadi satu dalam pikiran, cita-cita dan segala hal yang
bersangkutan dengan rumah tangga mereka. Di dalam kesatuan ini mereka pun harus
memperlihatkan sikap hidup saling memberi dan bukannya sikap saling menuntut.
Apabila semuanya saling menuntut maka rumah tangga itu akan berubah menjadi
rumah pengadilan. Bukankah cinta berarti siap memberikan yang terbaik buat
pasangan hidupnya! Bersatu dengan istri/suami merupakan komitmen dalam aspek
intelektual, emosional, spiritual dan jasmani dari hubungan yang terjalin di
antara suami-istri.
3. “Menjadi satu daging”
Menjadi satu daging atau melakukan hubungan
seksual adalah unsur ketiga yang dapat terjadi apabila mereka telah “meninggalkan’ dan “bersatu” secara
sah. Tanpa unsur pertama dan kedua tersebut di atas maka persetubuhan adalah
pelanggaran atau dosa dihadapan Allah. Tetapi di bawah kemah pernikahan,
persetubuhan merupakan ungkapan kasih yang dalam yang memperlihatkan kesatuan
antara suami dan istri.
Walter Trobish dalam bukunya, ”I Married
You”, mengatakan bahwa menjadi satu daging berarti sepakat untuk membagi segala
sesuatu yang mereka miliki, bukan hanya tubuh mereka, tetapi juga pikiran,
perasaan, sukacita, pergumulan, penderitaan, pengharapan,ketakutan,
keberhasilan, dan kegagalan mereka. Jadi, “menjadi satu daging” juga menunjuk
kepada persekutuan hidup yang lengkap dan menyangkut semua aspek kehidupan.
Persekutuan hidup dalam bentuk pernikahan adalah kehendak Tuhan yang
menguntungkan manusia yang ada dalam lembaga khusus, yang diciptakanNya.
Ketiga unsur tersebut di atas adalah segi
tiga yang sempurna; yang salah satu seginya tidak dapat dihilangkan. Ketiga
unsur itu menyatukan suami dan istri dalam segala hal: baik dalam suka maupun
duka, dalam sehat maupun sakit, dalam kekuatiran dan kepastian, keberhasilan
dan kegagalan. Oleh sebab itu, persekutuan suami-istri bukanlah persekutuan
yang sepele, bahkan bukan hanya merupakan suatu hubungan kontrak yang dapat
diputuskan apabila salah satu dari mereka sudah tidak suka terhadap
pasangannya. Persekutuan antara suami dan istri adalah persekutuan yang erat
dan sangat tinggi nilainya. Karena itu, Tuhan Yesus pernah mengatakan apa yang
telah dipersatukan oleh Allah
jangan dipisahkan oleh
manusia ( Mat. 19: 1-12; Mrk. 10: 2-9).
Dari seluruh pembahasan tersebut di atas
kita dapat melihat tiga hal penting yang dapat kita sebut sebagai sebuah
keunikan pernikahan Kristen, yaitu:
Pernikahan Kristen adalah persekutuan
seumur hidup. Ketika seorang pria dan wanita memutuskan untuk bersatu dalam
pernikahan harus tidak ada lagi pemisahan. Pernikahan adalah persekutuan seumur
hidup.
Pernikahan harus monogami dengan kasih
Kristus Yesus yang mempersatukan kasih diantara suami-istri. Seorang pria atau
wanita tidak akan pernah menjadi satu daging seutuhnya apabila dalam kehidupan
mereka terdapat “WIL” dan “PIL”.(Wanita Idaman Lain dan Pria Idaman Lain)
Pernikahan Kristen menuntut kesetiaan.
Bukankah gambaran Alkitab mengenai pernikahan adalah tentang keintiman yang
dalam dan abadi, hubungan yang saling membahagiakan dan memberi kesejahteraan.
Sedangkan penyelewengan dalam pernikahan adalah pembalikan dari seluruh prinsip
pernikahan kristiani.
Di dalam dan melalui pernikahan yang kita
jalani nama Tuhan dimuliakan dan orang-orang lain melihat bahwa Tuhan hadir
dalam rumah tangga kita. Dengan demikian, kita menggunakan pernikahan sebagai
kesempatan untuk bersaksi tentang Tuhan. Pernikahan Kristen mempunyai kelebihan
lain karena kehadiran Allah, Kristus Yesus, sebagai kepala.
Jika tidak demikian, itu bukanlah pernikahan
yang sesuai dengan kehendak Allah. Kurang dari itu hidup pernikahan yang
dijalani akan mudah kandas. Tetapi jika
seorang pria dan wanita ketika menikah ia berkomitmen kepada Allah, kepada
pasangannya, dan kepada dirinya sendiri untuk menjalani kehidupan pernikahan
sesuai kehendak Allah, pernikahan yang dijalaninya akan menjadi sebuah
perjalanan yang membahagiakan dan mensejahterakan,
Faktor-faktor penyebab kegagalan dalam
pernikahan
Ada beberapa
faktor yang menjadi pemicu kegagalan dalam kehidupan pernikahan, di antaranya
sebagai berikut:
Motivasi yang keliru dalam menikah,
misalnya:
Menikah karena dorongan kebutuhan
seksual. Menikah hanya karena sudah “ngebet” untuk memenuhi kebutuhan seksual
tidak akan melahirkan pernikahan yang langgeng.
Mengapa? Dalam pernikahan yang dimotivasi oleh hal tersebut pasangan hidup
dilihat hanya sebagai obyek pemuas nafsu seksualitas semata. Tidak lebih tidak
kurang.
Pelarian dari suatu masalah hidup yang
sedang dihadapi, misalnya himpitan kebutuhan ekonomi, karena putus cinta, dan
sebagainya.
Menikah karena takut dicemooh, menjadi
perawan tua, perjaka tua, jomblo, dan sebagainya.
Menikah karena mengharapkan kelimpahan
material dari pasangan hidupnya. Perlu diingat bahwa harta kekayaan bukan
jaminan untuk dapat hidup bahagia.
Untuk langgengnya sebuah pernikahan maka
dalam pernikahan kristen itu harus ada usaha dari kedua belah pihak
(suami-istri) untuk:
Hidup saling mengasihi.
Hidup saling menerima pasangan hidupnya
dengan segala kelemahan dan kelebihannya, kegagalan dan keberhasilan, serta
dalam sakit dan sehat.
Hidup saling mengampuni/memaafkan.
Hidup saling melayani.
Kata “saling” di sini berarti kita berbuat
sesuatu tanpa harus menunggu pasangan hidup kita yang terlebih dahulu berbuat
demikian. Karena dengan menunggu berarti kita telah membuat suatu persyaratan;
dan kasih kita kepada pasangan hidup kita tidak murni dan tulus.
Jadi,
Pernikahan yang langgeng itu bukan karena faktor keberuntungan atau kebetulan. –0--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar