Kamis, 20 November 2014

Pandangan Teologis Mengenai Pernikahan.


Apa yang dimaksudkan dengan pernikahan? Di bawah ini ada beberapa pendapat/refleksi mengenai pernikahan dari sudut pandang kekristenan yang mencoba menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan pernikahan.

-Pernikahan adalah kesempatan untuk belajar tentang cinta
-Pernikahan adalah perjalanan yang harus kita lalui dengan berbagai pilihan dan konsekuensi
-Pernikahan lebih banyak dipengaruhi oleh komunikasi batiniah daripada  komunikasi lahiriah
-Pernikahan lebih banyak dipengaruhi oleh masalah masa lampau yang tak terselesaikan, tetapi hal ini jarang  kita sadari
-Pernikahan adalah panggilan untuk melayani
-Pernikahan adalah panggilan untuk bersahabat
-Pernikahan adalah panggilan untuk menderita
-Pernikahan adalah panggilan untuk saling berbagi dan memberi
-Pernikahan adalah proses pemurnian;
 suatu kesempatan untuk dibentuk Allah menjadi pribadi yang dikehendakiNya

   Jadi, pernikahan mempunyai makna yang luas. Ia tidak sekedar persatuan tubuh antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Pernikahan adalah sebuah persekutuan hidup yang utuh, yang tak terpisahkan antara dua pribadi, laki-laki dan perempuan, yang dipersatukan menjadi suami-istri. Pernikahan ada dalam rencana Tuhan dan Tuhan melihat persekutuan hidup tersebut sebagai sesuatu yang indah dan baik. Oleh sebab itu, sangat penting bagi setiap pasangan yang akan menikah memahami dasar teologis pernikahan. Hal ini perlu dimengerti, dihayati, dan dilakukan agar hidup pernikahan yang akan dijalani adalah sebuah pernikahan yang kokoh.

   DASAR TEOLOGIS PERNIKAHAN
  
    Di dalam Alkitab Perjanjian Lama kita dapat melihat bahwa lembaga sosial pertama yang dibentuk Allah bagi manusia ialah keluarga yang terbentuk melalui sebuah pernikahan (Kejadian 2: 18-25).  Lembaga ini Allah dirikan bagi manusia sebelum jatuh ke dalam dosa. Dengan demikian  kita dapat mengatakan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang baik di mata Allah. Menikah dan membangun sebuah keluarga bukanlah dosa. Bahkan kita dapat mengatakan bahwa pernikahan yang diadakan Allah bagi manusia bersifat kudus. Beberapa ayat Alkitab yang mendukung pandangan di atas adalah Kejadian 1:22; Matius 19:5; Yohanes 2:1-11. Pernikahan itu sendiri merupakan persekutuan kasih yang paling istimewa diantara manusia.
   Pernikahan manusia berbeda dengan pernikahan binatang/hewan meskipun kita melihat bahwa hewan pun diciptakan berpasang-pasangan: jantan dan betina. Manusia melebihi binatang dalam hal akal budi, kebebasan kehendak, bahasa, kesadaran akan dirinya sendiri, kesadaran akan Tuhan dan suara hati yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Walaupun pernikahan manusia itu mencakup naluri dan nafsu, seperti yang terdapat pada binatang, tetapi pernikahan manusia merupakan suatu hubungan yang jauh lebih kaya dan agung dari pada pernikahan mahluk lain. Dasarnya ialah karena,“Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya; menurut gambar Allah dijadikan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka (Kejadian 1: 27).
   Kejadian 2: 18 menyatakan, “ Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong yang sepadan dengan dia.” Penolong yang sepadan berarti penolong yang dapat saling menunjang, saling melengkapi di dalam kedudukannya yang sederajad. Seorang pria kedudukannnya tidak lebih tinggi dari kedudukan seorang wanita. Demikian juga sebaliknya. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam derajad yang sama. Keduanya bukanlah unsur yang bertentangan melainkan unsur yang saling melengkapi.
 
   Pada Kejadian 2: 24 Tuhan berfirman, “ Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Dari ayat tersebut kita dapat melihat dasar-dasar yang Tuhan tanamkan pada setiap orang dalam mencapai kebahagiaan hidup pernikahannya, yaitu:
   1. “Meninggalkan orang tua”
   Ungkapan ini tidak berarti pasangan yang telah menikah tidak lagi menghormati dan mengasihi orangtua mereka masing-masing. Mereka harus tetap mengasihi orangtua mereka.  Tetapi yang dimaksudkan ialah setiap pasangan yang telah menikah harus mandiri dalam segala hal. Baik dalam hal keuangan maupun dalam pengambilan keputusan. Saran orangtua sebagai masukan yang berharga. Tetapi keputusan harus bersumber dari pemikiran yang matang dari kedua insan yang telah bersatu dalam pernikahan. Sayangnya, banyak orang yang tidak mampu melakukan hal ini. Mereka meninggalkan rumah secara fisik tetapi tidak secara psikologis. Kelekatan pada orangtua seharusnya digantikan dengan kelekatan pada pasangan hidupnya tanpa mengabaikan kehadiran orangtua masing-masing dalam kehidupan mereka.

2. “Bersatu dengan istri/suami”
   Kesatuan suami dan istri dapat diibaratkan dengan dua lembar kertas yang dilem dengan rapih. Diantara kedua lembar kertas tersebut tidak boleh diselipkan unsur ketiga, baik yang berupa orangtua,  karir, hobbi, sahabat dan sebagainya.   Yang menjadi perekat mereka adalah cinta kasih mereka yang tulus terhadap yang lain.
   Suami dan istri harus menjadi satu dalam pikiran, cita-cita dan segala hal yang bersangkutan dengan rumah tangga mereka. Di dalam kesatuan ini mereka pun harus memperlihatkan sikap hidup saling memberi dan bukannya sikap saling menuntut. Apabila semuanya saling menuntut maka rumah tangga itu akan berubah menjadi rumah pengadilan. Bukankah cinta berarti siap memberikan yang terbaik buat pasangan hidupnya! Bersatu dengan istri/suami merupakan komitmen dalam aspek intelektual, emosional, spiritual dan jasmani dari hubungan yang terjalin di antara suami-istri.
   3. “Menjadi satu daging”

   Menjadi satu daging atau melakukan hubungan seksual adalah unsur ketiga yang dapat terjadi apabila mereka telah “meninggalkan’ dan “bersatu” secara sah. Tanpa unsur pertama dan kedua tersebut di atas maka persetubuhan adalah pelanggaran atau dosa dihadapan Allah. Tetapi di bawah kemah pernikahan, persetubuhan merupakan ungkapan kasih yang dalam yang memperlihatkan kesatuan antara suami dan istri.
   Walter Trobish dalam bukunya, ”I Married You”, mengatakan bahwa menjadi satu daging berarti sepakat untuk membagi segala sesuatu yang mereka miliki, bukan hanya tubuh mereka, tetapi juga pikiran, perasaan, sukacita, pergumulan, penderitaan, pengharapan,ketakutan, keberhasilan, dan kegagalan mereka. Jadi, “menjadi satu daging” juga menunjuk kepada persekutuan hidup yang lengkap dan menyangkut semua aspek kehidupan. Persekutuan hidup dalam bentuk pernikahan adalah kehendak Tuhan yang menguntungkan manusia yang ada dalam lembaga khusus, yang diciptakanNya.
  
   Ketiga unsur tersebut di atas adalah segi tiga yang sempurna; yang salah satu seginya tidak dapat dihilangkan. Ketiga unsur itu menyatukan suami dan istri dalam segala hal: baik dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, dalam kekuatiran dan kepastian, keberhasilan dan kegagalan. Oleh sebab itu, persekutuan suami-istri bukanlah persekutuan yang sepele, bahkan bukan hanya merupakan suatu hubungan kontrak yang dapat diputuskan apabila salah satu dari mereka sudah tidak suka terhadap pasangannya. Persekutuan antara suami dan istri adalah persekutuan yang erat dan sangat tinggi nilainya. Karena itu, Tuhan Yesus pernah mengatakan apa yang telah dipersatukan oleh Allah  jangan  dipisahkan  oleh  manusia ( Mat. 19: 1-12; Mrk. 10: 2-9).
   Dari seluruh pembahasan tersebut di atas kita dapat melihat tiga hal penting yang dapat kita sebut sebagai sebuah keunikan pernikahan Kristen, yaitu:

   Pernikahan Kristen adalah persekutuan seumur hidup. Ketika seorang pria dan wanita memutuskan untuk bersatu dalam pernikahan harus tidak ada lagi pemisahan. Pernikahan adalah persekutuan seumur hidup.
   Pernikahan harus monogami dengan kasih Kristus Yesus yang mempersatukan kasih diantara suami-istri. Seorang pria atau wanita tidak akan pernah menjadi satu daging seutuhnya apabila dalam kehidupan mereka terdapat “WIL” dan “PIL”.(Wanita Idaman Lain dan Pria Idaman Lain)
  
   Pernikahan Kristen menuntut kesetiaan. Bukankah gambaran Alkitab mengenai pernikahan adalah tentang keintiman yang dalam dan abadi, hubungan yang saling membahagiakan dan memberi kesejahteraan. Sedangkan penyelewengan dalam pernikahan adalah pembalikan dari seluruh prinsip pernikahan kristiani.
   Di dalam dan melalui pernikahan yang kita jalani nama Tuhan dimuliakan dan orang-orang lain melihat bahwa Tuhan hadir dalam rumah tangga kita. Dengan demikian, kita menggunakan pernikahan sebagai kesempatan untuk bersaksi tentang Tuhan. Pernikahan Kristen mempunyai kelebihan lain karena kehadiran Allah, Kristus Yesus, sebagai kepala.
   Jika tidak demikian, itu bukanlah pernikahan yang sesuai dengan kehendak Allah. Kurang dari itu hidup pernikahan yang dijalani akan mudah kandas.  Tetapi jika seorang pria dan wanita ketika menikah ia berkomitmen kepada Allah, kepada pasangannya, dan kepada dirinya sendiri untuk menjalani kehidupan pernikahan sesuai kehendak Allah, pernikahan yang dijalaninya akan menjadi sebuah perjalanan yang membahagiakan dan mensejahterakan,
   Faktor-faktor penyebab kegagalan dalam pernikahan
   Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu kegagalan dalam kehidupan pernikahan, di antaranya sebagai berikut:
   Motivasi yang keliru dalam menikah, misalnya:
   Menikah karena dorongan kebutuhan seksual. Menikah hanya karena sudah “ngebet” untuk memenuhi kebutuhan seksual tidak akan melahirkan pernikahan yang langgeng.  Mengapa? Dalam pernikahan yang dimotivasi oleh hal tersebut pasangan hidup dilihat hanya sebagai obyek pemuas nafsu seksualitas semata. Tidak lebih tidak kurang.
    Pelarian dari suatu masalah hidup yang sedang dihadapi, misalnya himpitan kebutuhan ekonomi, karena putus cinta, dan sebagainya.
    Menikah karena takut dicemooh, menjadi perawan tua, perjaka tua, jomblo, dan sebagainya.
    Menikah karena mengharapkan kelimpahan material dari pasangan hidupnya. Perlu diingat bahwa harta kekayaan bukan jaminan untuk dapat hidup bahagia.
   Untuk langgengnya sebuah pernikahan maka dalam pernikahan kristen itu harus ada usaha dari kedua belah pihak (suami-istri) untuk:
   Hidup saling mengasihi.
   Hidup saling menerima pasangan hidupnya dengan segala kelemahan dan kelebihannya, kegagalan dan keberhasilan, serta dalam sakit dan sehat.
   Hidup saling mengampuni/memaafkan.
   Hidup saling melayani.
   Kata “saling” di sini berarti kita berbuat sesuatu tanpa harus menunggu pasangan hidup kita yang terlebih dahulu berbuat demikian. Karena dengan menunggu berarti kita telah membuat suatu persyaratan; dan kasih kita kepada pasangan hidup kita tidak murni dan tulus.  

   Jadi, Pernikahan yang langgeng itu bukan karena faktor keberuntungan atau kebetulan.                        –0--


Tidak ada komentar:

Posting Komentar