Seorang anak protes kepada ayah-ibu nya
karena pada saat ia bercerita tentang balok yang sedang disusunnya, mereka
selalu sibuk dengan gadget di tangannya. “Ayah-ibu, sms-an nya udah dong. Aku lagi cerita
ni!”
Kemudian, sang ayah-ibu melirik sebentar kepada anaknya,
seakan mendengarkan si anak bicara sambil tetap memencet tombol-tombol di
gadget nya. Setelah si anak selesai bercerita, ayah-ibu berkata “ohh…begitu.
Hebat..bagus”, dan mereka kembali sibuk dengan gadget nya.
Ternyata orang dewasa juga bisa terancam
kecanduan gadget. Kenapa? Ini adalah
karena otak kita sudah mendapat kenikmatan.
Para ahli mengatakan bahwa seringnya orang
dewasa mengecek email, telpon masuk, twitter, fb, dan informasi lainnya yang
masuk melalui gadget, dapat mengubah bagaimana orang berpikir dan berprilaku.
Mereka mengatakan bahwa kemampuan kita untuk fokus sedang dirusak oleh luapan
informasi.
Kegiatan bergulat dengan luapan informasi
ini berkaitan dengan impuls otak untuk merespon segera akan kesempatan dan
ancaman. Stimulasi ini menimbulkan kenikmatan di otak – otak kita menyemburkan dopamine – para peneliti mengatakan
bahwa ini dapat menyebabkan kecanduan.
Jika tidak ada semburan ini, orang akan
merasa bosan.
Dari beberapa hasil penelitian tentang
anak-anak yang kecanduan games dan pornografi, efek dopamine ini juga yang
menjadi penyebab terjadinya kecanduan tersebut.
Hasil dari distraksi ini dapat berakibat
fatal, sama seperti penggunaan telepon genggam sambil berkendara yang dapat
menyebabkan tabrakan. Bagi
kehidupan keluarga, hasil penelitian diatas dapat menyebabkan goresan-goresan
pada kreativitas dan kemampuan berpikir lebih dalam, menginterupsi kehidupan
kerja dan keluarga.
Banyak orang berpendapat bahwa multitasking (mengerjakan banyak hal
dalam satu waktu), membuat mereka lebih produktif, berbeda dengan jaman dimana
tehnologi masih terbatas, multitasking di era tehnologi melibatkan penggunaan
gadget, bahkan lebih dari satu gadget dalam satu waktu. Para ilmuwan dan
peneliti mengatakan bahwa pelaku multitasking sebenarnya lebih bermasalah pada
fokus dan kesulitan menghentikan informasi yang tidak penting, dan mereka lebih
sering mengalami stress. Selain itu,
ilmuwan juga menemukan bahwa bahkan setelah multasking selesai, para pelaku
multitasking ini tetap mengalami berpikir patah (seperti pada patah tulang) dan
kesulitan untuk fokus. Dengan kata lain, ini juga terjadi pada saat otak kita
lepas dari gadget.
“Tehnologi mengubah susunan otak kita,”
demikian pendapat Nora Volkow, direktur National Institute of Drug Abuse, dan
juga seorang ilmuwan dunia yang terkenal dalam penelitian tentang otak. Ia dan
beberapa peneliti menunjukkan bahwa efek stimulasi digital memang tidak separah
kecanduan narkoba dan alkohol, tapi tetap saja berimbas pada kehidupan keluarga
yang kontraproduktif.
Bagaimana dengan interaksi orangtua-anak
dimana orangtua nya tidak bisa lepas dari gadget? Smartphone ternyata berdampak
pada kualitas bahasa pada anak, terutama anak usia dini. Dr Diana Suskind,
seorang peneliti dan dokter bedah di University of Chicago, melakukan
penelitian dengan merekam pembicaraan orangtua-anak di 6 rumah di Chicago,
dimana orangtua mengatakan bahwa mereka sering melihat smartphone mereka. Dr
Suskind merekam setiap keluarga setidaknya 2 kali – satu kali dengan smartphone
dan komputer menyala dan yang kedua alat tersebut dalam keadaan mati. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa mematikan smartphones dan laptop memiliki dampak
kuat pada interaksi verbal antara orangtua-anak dirumah. Anak dengan orangtua
yang meminimalkan penggunaan gadget pada saat berinteraksi dengan anak,
memiliki jumlah kata yang diucapkan jauh lebih banyak daripada anak yang
berinteraksi dengan orangtua yang selalu “menatap layar” gadget. Penting bagi
orangtua untuk mengetahui pada saat mereka berbicara pada anak, mereka sedang
mentransfer perasaan sayang dan juga kata-kata.
Ketika kita bicara pada orang, selalu ada
pesan yang bisa dirasakan, “Aku suka berbicara denganmu” atau “aku tidak suka
berbicara denganmu.”
Meredith Sinclair, seorang ibu dan blogger,
mengatakan bahwa dia tidak pernah menyangka bagaimana kegiatannya yang ia sebut
“kecanduan email dan website sosial media” ternyata mengganggu anaknya sampai
ia membuat peraturan “jam tanpa email dan internet” antara jam 4 sore – 8
malam. Anaknya pun merespon dengan perasaan gembira. “Ketika aku mengatakan peraturan
itu, anakku yang berusia 12 tahun, langsung berkata “YES!”.
“Kita tidak bisa melakukan keduanya,” ia
menambahkan. “Jika aku selalu terhubung dengan internet, itu sangat menggoda.
Aku butuh untuk membuat pilihan yang jelas.”
Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah
membuat pilihan yang jelas?
Disadur dari
YOUR BRAIN ON COMPUTERS
Attached to Technology and Paying a Price
dan The Risks of Parenting While Plugged In