Sabtu, 30 Juli 2016

Kenikmatan Otak Karena Gadget



 
    Seorang anak protes kepada ayah-ibu nya karena pada saat ia bercerita tentang balok yang sedang disusunnya, mereka selalu sibuk dengan gadget di tangannya.  “Ayah-ibu, sms-an nya udah dong. Aku lagi cerita ni!”
   Kemudian, sang  ayah-ibu melirik sebentar kepada anaknya, seakan mendengarkan si anak bicara sambil tetap memencet tombol-tombol di gadget nya. Setelah si anak selesai bercerita, ayah-ibu berkata “ohh…begitu. Hebat..bagus”, dan mereka kembali sibuk dengan gadget nya.
   Ternyata orang dewasa juga bisa terancam kecanduan gadget. Kenapa?  Ini adalah karena otak kita sudah mendapat kenikmatan.
   Para ahli mengatakan bahwa seringnya orang dewasa mengecek email, telpon masuk, twitter, fb, dan informasi lainnya yang masuk melalui gadget, dapat mengubah bagaimana orang berpikir dan berprilaku. Mereka mengatakan bahwa kemampuan kita untuk fokus sedang dirusak oleh luapan informasi.
   Kegiatan bergulat dengan luapan informasi ini berkaitan dengan impuls otak untuk merespon segera akan kesempatan dan ancaman. Stimulasi ini menimbulkan kenikmatan di otak – otak kita menyemburkan dopamine – para peneliti mengatakan bahwa ini dapat menyebabkan kecanduan.
   Jika tidak ada semburan ini, orang akan merasa bosan.
   Dari beberapa hasil penelitian tentang anak-anak yang kecanduan games dan pornografi, efek dopamine ini juga yang menjadi penyebab terjadinya kecanduan tersebut.
   Hasil dari distraksi ini dapat berakibat fatal, sama seperti penggunaan telepon genggam sambil berkendara yang dapat menyebabkan tabrakan.       Bagi kehidupan keluarga, hasil penelitian diatas dapat menyebabkan goresan-goresan pada kreativitas dan kemampuan berpikir lebih dalam, menginterupsi kehidupan kerja dan keluarga.
   Banyak orang berpendapat bahwa multitasking (mengerjakan banyak hal dalam satu waktu), membuat mereka lebih produktif, berbeda dengan jaman dimana tehnologi masih terbatas, multitasking di era tehnologi melibatkan penggunaan gadget, bahkan lebih dari satu gadget dalam satu waktu. Para ilmuwan dan peneliti mengatakan bahwa pelaku multitasking sebenarnya lebih bermasalah pada fokus dan kesulitan menghentikan informasi yang tidak penting, dan mereka lebih sering mengalami stress.   Selain itu, ilmuwan juga menemukan bahwa bahkan setelah multasking selesai, para pelaku multitasking ini tetap mengalami berpikir patah (seperti pada patah tulang) dan kesulitan untuk fokus. Dengan kata lain, ini juga terjadi pada saat otak kita lepas dari gadget.
   “Tehnologi mengubah susunan otak kita,” demikian pendapat Nora Volkow, direktur National Institute of Drug Abuse, dan juga seorang ilmuwan dunia yang terkenal dalam penelitian tentang otak. Ia dan beberapa peneliti menunjukkan bahwa efek stimulasi digital memang tidak separah kecanduan narkoba dan alkohol, tapi tetap saja berimbas pada kehidupan keluarga yang kontraproduktif.
   Bagaimana dengan interaksi orangtua-anak dimana orangtua nya tidak bisa lepas dari gadget? Smartphone ternyata berdampak pada kualitas bahasa pada anak, terutama anak usia dini. Dr Diana Suskind, seorang peneliti dan dokter bedah di University of Chicago, melakukan penelitian dengan merekam pembicaraan orangtua-anak di 6 rumah di Chicago, dimana orangtua mengatakan bahwa mereka sering melihat smartphone mereka. Dr Suskind merekam setiap keluarga setidaknya 2 kali – satu kali dengan smartphone dan komputer menyala dan yang kedua alat tersebut dalam keadaan mati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mematikan smartphones dan laptop memiliki dampak kuat pada interaksi verbal antara orangtua-anak dirumah. Anak dengan orangtua yang meminimalkan penggunaan gadget pada saat berinteraksi dengan anak, memiliki jumlah kata yang diucapkan jauh lebih banyak daripada anak yang berinteraksi dengan orangtua yang selalu “menatap layar” gadget. Penting bagi orangtua untuk mengetahui pada saat mereka berbicara pada anak, mereka sedang mentransfer perasaan sayang dan juga kata-kata.
   Ketika kita bicara pada orang, selalu ada pesan yang bisa dirasakan, “Aku suka berbicara denganmu” atau “aku tidak suka berbicara denganmu.”
   Meredith Sinclair, seorang ibu dan blogger, mengatakan bahwa dia tidak pernah menyangka bagaimana kegiatannya yang ia sebut “kecanduan email dan website sosial media” ternyata mengganggu anaknya sampai ia membuat peraturan “jam tanpa email dan internet” antara jam 4 sore – 8 malam. Anaknya pun merespon dengan perasaan gembira. “Ketika aku mengatakan peraturan itu, anakku yang berusia 12 tahun, langsung berkata “YES!”.
   “Kita tidak bisa melakukan keduanya,” ia menambahkan. “Jika aku selalu terhubung dengan internet, itu sangat menggoda. Aku butuh untuk membuat pilihan yang jelas.”
   Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah membuat pilihan yang jelas?
  
Disadur dari
YOUR BRAIN ON COMPUTERS
Attached to Technology and Paying a Price
dan The Risks of Parenting While Plugged In

Tidak ada komentar:

Posting Komentar