Senin, 18 Juli 2016

Uang Tidak Boleh Di Cintai.


Nast: 1 Timotius 6:7-11
"Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia
dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar.
Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah, dst....(baca selanjutnya)

UANG DI DUNIA MODEREN
Bila kita boleh berkata apa adanya, bagi kita yang hidup di masyarakat moderen, uang (hepeng, istilah batak lebih halus: sihumisik) adalah sesuatu yang bukan saja sangat penting, tetapi benar-benar penting dan bahkan menentukan. Tanpa uang praktis kita tidak bisa melakukan apa-apa dan bahkan hidup. Jujur saja, mustahil kita bisa hidup di kota atau bahkan juga di desa jaman kini tanpa uang sama sekali. Semua atau hampir semua aktivitas hidup kita membutuhkan uang.
Namun bagi sebagian besar orang termasuk kita, uang bukan saja penting, tetapi terbukti sangat berkuasa. Uang bisa membeli, menciptakan, mengubah, dan menyelesaikan “hampir” semua masalah. Kita mungkin semua tahu pameo khas Batak yang menunjukkan betapa hebatnya uang: Ise do na mangatur nagara on? Hepeng! ( Terjemahannya: “Siapa yang mengatur negara ini? Uang! ). Di sebuah negeri yang penuh dengan korupsi dan suap seperti Indonesia (jangan sakit hati: Indonesia menurut banyak survey lembaga internasinal juara dunia di bidang korupsi!), uang kadang bisa lebih kuat dari hukum. Ada pameo lain juga berasal dari Medan: SUMUT. Bukan kependekan dari propinsi Sumatera Utara, tetapi Semua Urusan Mesti Uang Tunai. Ada uang ada barang, tidak ada uang abang melayang. Ada satu pameo: kalau bisa dipersulit untuk apa dipermudah? Apa lagi maksudnya kalau bukan UUD: Ujung-Ujungnya Duit?!
Lantas bagaimana kita mengartikan ayat 1 Timotius 6:7-11?

PERTAMA: TUHAN MEMINTA KITA MENCARI UANG DENGAN BAIK DAN BENAR.
Tuhan tidak mengharamkan umatnya menjadi kaya-raya, namun Dia tidak menghendaki umatNya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang atau kekayaan itu. Dia sangat mau tahu asal-muasal atau sumber atau cara kita memperoleh uang tersebut.
Satu dari antara Sepuluh Hukum Tuhan (Dasa Titah) adalah: Jangan Mencuri. Perintah itu jelas-jelas merupakan prinsip atau tiang kehidupan yang tidak bisa dilanggar oleh orang Kristen tanpa kecuali termasuk kita hari ini. Allah tahu kita sangat dan sangat butuh uang, tetapi Dia tidak mengijinkan kita memperoleh uang itu dengan melanggar hukum, membuat orang lain menderita, atau malah dengan mencelakakan diri sendiri. Dengan kata lain kebutuhan tidak bisa dijadikan alasan untuk mencuri atau mengambil apa yang bukan menjadi hak dan bagian kita.
Kita sangat sadar bahwa kita sekarang hidup di dunia yang penuh dengan tawaran, godaan dan atau tekanan. Kita sendiri adalah orang berdosa, yang seringkali terlalu lemah melawan niat jahat dalam hati terutama bila ada kesempatan untuk berbuat salah. Banyak orang, sebagian karena sudah menjadi kebiasaan, tidak dapat hidup sederhana, dan karena itu menganggap kekurangan uang sebagai penderitaan terberat yang seolah tidak tertanggungkan. Banyak orang sejak anak-anak terbiasa hidup berfoya-foya dan karena itu selalu lebih besar pasak (pengeluaran) dari tiang (pemasukan). Selain itu jangan-jangan kita juga mendapat ajaran kekristenan yang salah, entah dari mana, yang mengatakan seolah kekayaan adalah otomatis berkat Tuhan. Itulah yang membuat kita seringkali tanpa sadar tidak peka apalagi perduli kepada ajaran Tuhan agar mencari uang dengan baik dan benar.
Salah satu hal yang patut kita waspadai sebagai orang moderen adalah sifat serakah, atau nafsu yang tidak terkendali untuk meraup uang. Penulis Amsal menggambarkan orang semacam itu seperti lintah penghisap darah yang tidak pernah merasa cukup. Orang-orang serakah ini tentu saja tidak mampu menghayati doa yang diajarkan Yesus: “Berilah kami pada hari ini makanan yang secukupnya”.
Penulis Surat Timotius mengingatkan kita bahwa keinginan untuk mendapatkan uang dalam jumlah besar, secara cepat dan mudah, bisa menggoda kita melakukan kejahatan atau malah jatuh ke dalam berbagai penderitaan. Terlalu banyak contoh yang dapat kita ambil dari kehidupan sehari-hari tentang orang-orang yang menderita dan bahkan akhirnya hancur karena ingin kaya mendadak.
KEDUA: TUHAN MENGAJAK KITA MENGGUNAKAN UANG KITA DENGAN BAIK DAN BENAR.
Memiliki uang pada umumnya adalah baik. Tetapi pertanyaan selanjutnya: kalau memiliki uang untuk apa? Tentu saja banyak orang akan segera menjawab untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, membuat kehidupan lebih sejahtera dan menyenangkan, dan menabungnya untuk persiapan masa depan. Semua itu baik dan sah. Tetapi belum cukup. Alkitab juga mengajak kita agar memakai uang atau benda kita untuk memuliakan Tuhan dan melakukan hal-hal yang baik bagi orang lain (tidak hanya diri sendiri).
Yesus bersabda “dimana hartamu berada di situ hatimu berada”. Artinya: penggunaan uang menunjukkan hati kita sebenarnya. Sebab itu jika ingin tahu isi hati kita yang sebenarnya mari kita memeriksa anggaran pengeluaran kita. Kemana uang itu paling banyak dikeluarkan kesitulah sesungguhnya hati kita tertuju. Contoh: jika kita sangat banyak dihabiskan untuk pendidikan anak-anak itu artinya hati kita memang tertuju kepentingan masa depan anak-anak. Jika uang kita lebih banyak dibelanjakan untuk membeli hiasan keramik daripada buku, itu karena hati kita memang lebih besar kepada keramik dibanding buku, dan seterusnya.
Pada jaman sekarang dikenal apa yang dinamakan kecerdasan finansial. Maksudnya: kemampuan atau ketrampilan dibidang keuangan yang bisa dan harus dipelajari. Orang moderen sadar bahwa semua orang harus belajar bukan hanya mendapatkan tetapi juga mengelola dan mengembangkan uang. Kecerdasan finansial atau “melek uang” itu harus dipelajari sejak dini. Sebab itulah anak-anak harus dididik untuk berdisiplin, berhemat, menabung, mengelola uang mingguan/ bulanan, menghargai uang dan lain-lain agar setelah dewasa benar-benar cerdas dan trampil menggunakannya.
Orang moderen selalu bergumul sengit sebab mereka, dalam lubuk hatinya, menganggap uangnya sebagai upah kerja keras dan prestasinya dan bukan anugerah Tuhan. Jika memang hasil kerja keras, tentu hak mutlak kita mengendalikan uang kita. Namun Alkitab mengatakan: Tuhanlah yang memberi kita modal, kesempatan, kesehatan dan lain2 sehingga kita bisa mendapatkan uang itu. Sebab itu kita harus tunduk dan selalu
bertanya kepada Tuhan termasuk dalam menggunakan uang kita.

KETIGA: TUHAN MENGAJAK KITA MENJADIKAN MEMILIKI ATAU TIDAK MEMILIKI UANG SEBAGAI BERKAT ATAU KESEMPATAN.
Uang bukanlah otomatis berkat Tuhan dan ketidaaan uang juga tidak otomatis merupakan kutuk atau bencana. Memiliki atau tidak memiliki uang tidak otomatis memperbaiki kualitas hidup seseorang. Sebagian orang bertambah baik dengan memiliki uang, namun sebagian orang lagi malah bertambah buruk. Ada orang yang mendekat kepada Tuhan saat kaya, namun menjauh dari Tuhan saat miskin. Sebagian lagi justru dekat kepada Tuhan saat miskin dan menjauh dari Tuhan justru setelah kaya. Bagaimana dengan Saudara dan saya? Apakah Saudara dan saya semakin baik bila memiliki uang? Apakah Saudara dan saya semakin baik bila tidak memiliki uang?
Penulis kitab Amsal (Ams 30:7-9) mengingatkan kita bahwa kekayaan atau kemiskinan, memiliki atau tidak memiliki uang sama bahaya atau resikonya. Orang yang kaya atau memiliki uang banyak bisa tergoda menyangkal atau merasa tidak memerlukan Allah, sebaliknya orang miskin atau tak punya uang bisa tergoda mencuri. Menurut saya harus ditambah: orang kaya juga bisa tergoda mencuri dan orang miskin (karena kemiskinannya) bisa tergoda juga menyangkal bahwa Allah itu ada.
KEEMPAT: TUHAN MENGAJAK KITA MENJADIKAN UANG SEBAGAI HAMBA ATAU ALAT MELAKUKAN KEBAIKAN.
Ini pertanyaan terpenting: bagaimanakah relasi kita dengan uang? Siapakah sebenarnya tuan dan siapakah hamba. Jika uang itu, sadar atau tidak sadar, telah menjadi tuan atau majikan yang mengatur hidup kita maka uang itu akan menjadi tuan yang paling jahat atau kejam. Namun sebaliknya jika kita berhasil menaklukkan uang itu dan menjadikannya sebagai alat atau hamba, maka itu bisa menjadi alat dan hamba yang sangat berguna.
Yesus mengatakan kita tidak dapat mengabdi kepada dua tuan atau majikan. Kita tidak bisa menjadikan Tuhan dan uang sebagai majikan. Kita akan mentaati yang satu dan membenci yang lain. Ketika kita, mungkin tanpa sadar, menjadikan uang sebagai tuan atau majikan kita, maka kita tidak lagi mennuruti perintah-perintah Tuhan dan malah melanggarnya demi mengikuti perintah Uang tersebut.
Sebab itulah kita diingatkan bahwa pembinaan karakter melampaui pentingnya pemilikan uang. Hal ini harus sungguh-sungguh kita ajarkan kepada anak-anak kita. Orang yang sungguh2 memiliki karakter tidak akan diperhamba oleh uangnya. Namun pertanyaannya: bagaimana mungkin kita dapat membangun karakter jika yang ada di kepala dan hati kita hanya: uang, uang dan uang?
Dengan bahasa lain: Tuhan tidak mengijinkan kita menjadikan uang sebagai tujuan akhir hidup kita. Mesti ada tujuan lain yang lebih mulia daripada sekadar pemilikan uang itu. Yaitu: keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan. (1 Tim 6:11). Ini menantang kita agar berani meninjau nilai tertinggi dalam hidup kita. Apa atau siapakah nilai tertinggi dalam hidup kita? Tuhan atau uang? Kebenaran atau pemilikan uang? Kasih atau kekayaan? Orang yang menjadikan uang sebagai nilai tertinggi tentu akan rela mengorbankan apa saja, termasuk keluarga, iman, cinta demi uang.

Sebaliknya orang yang menganggap keluarga lebih penting dari uang, tentu tidak akan rela hancur keluarganya. Orang yang mengaggap hati nurani lebih berharga daripada uang tentu tidak akan rela mengorbankan nuraninya demi mendapatkan uang. Sebaliknya juga. Bagaimana dengan Saudara dan saya?
Itulah sebabnya penulis surat Timotius mengatakan: akar segala kejahatan ialah cinta uang. Ketika kita mencintai uang seperti kita mencintai Tuhan dan sesama, maka kita akan didorong untuk melakukan berbagai kejahatan. Sebab itu uang tidak boleh dicintai seperti mencintai manusia apalagi Tuhan!
Betapa pun menggiurkan atau dibutuhkan, uang itu tidak abadi. Alkitab mengatakan kita datang ke dan pergi meninggalkan dunia tanpa uang sama sekali. Kita dipanggil ke dalam hidup abadi atau kekal yang hanya bisa kita dapatkan dalam iman kepada Yesus. Kata-kata bijak juga mengingatkan kita bahwa uang sebenarnya juga terbatas kekuasaannya. Selain hidup kekal dan abadi bersama Yesus, dan surga, ada banyak hal yang juga tidak bisa dibeli dengan uang. Antara lain: kebahagiaan, cinta sejati, damai sejahtera, persekutuan, rasa aman dan ketenangan batin, sukacita permanen, keutuhan rumah tangga, dan juga hubungan dengan anak-anak. Uang, betapa pun besarnya, tidak mampu membeli semua itu.
Terakhir sekali baiklah kita catat kata-kata Amsal: ada orang menyebar uang namun bertambah kaya. Namun ada yang menghemat luar biasa namun semakin miskin saja. Orang-orang yang melakukan sebanyak-banyaknya kebaikan dengan uangnya inilah yang dinamakan Yesus mengumpulkan harta di surga, dimana hartanya tidak pernah bisa hilang, lapuk dimakan rayap, atau berkarat.         AMIN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar