Nast: 1 Timotius 6:7-11
"Sebab kita tidak membawa sesuatu apa
ke dalam dunia
dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar.
Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah, dst....(baca selanjutnya)
dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar.
Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah, dst....(baca selanjutnya)
UANG DI DUNIA MODEREN
Bila kita boleh berkata apa adanya, bagi kita yang
hidup di masyarakat moderen, uang (hepeng, istilah batak lebih halus:
sihumisik) adalah sesuatu yang bukan saja sangat penting, tetapi benar-benar
penting dan bahkan menentukan. Tanpa uang praktis kita tidak bisa melakukan
apa-apa dan bahkan hidup. Jujur saja, mustahil kita bisa hidup di kota atau
bahkan juga di desa jaman kini tanpa uang sama sekali. Semua atau hampir semua
aktivitas hidup kita membutuhkan uang.
Namun bagi sebagian besar orang termasuk kita,
uang bukan saja penting, tetapi terbukti sangat berkuasa. Uang bisa membeli,
menciptakan, mengubah, dan menyelesaikan “hampir” semua masalah. Kita mungkin
semua tahu pameo khas Batak yang menunjukkan betapa hebatnya uang: Ise do na
mangatur nagara on? Hepeng! ( Terjemahannya: “Siapa yang mengatur negara ini?
Uang! ). Di sebuah negeri yang penuh dengan korupsi dan suap seperti Indonesia
(jangan sakit hati: Indonesia menurut banyak survey lembaga internasinal juara
dunia di bidang korupsi!), uang kadang bisa lebih kuat dari hukum. Ada pameo
lain juga berasal dari Medan: SUMUT. Bukan kependekan dari propinsi Sumatera
Utara, tetapi Semua Urusan Mesti Uang Tunai. Ada uang ada barang, tidak ada
uang abang melayang. Ada satu pameo: kalau bisa dipersulit untuk apa
dipermudah? Apa lagi maksudnya kalau bukan UUD: Ujung-Ujungnya Duit?!
Lantas bagaimana kita mengartikan ayat 1 Timotius
6:7-11?
PERTAMA: TUHAN MEMINTA KITA MENCARI UANG DENGAN BAIK DAN BENAR.
Tuhan tidak mengharamkan umatnya menjadi
kaya-raya, namun Dia tidak menghendaki umatNya menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan uang atau kekayaan itu. Dia sangat mau tahu asal-muasal atau sumber
atau cara kita memperoleh uang tersebut.
Satu dari antara Sepuluh Hukum Tuhan (Dasa Titah)
adalah: Jangan Mencuri. Perintah itu jelas-jelas merupakan prinsip atau tiang
kehidupan yang tidak bisa dilanggar oleh orang Kristen tanpa kecuali termasuk
kita hari ini. Allah tahu kita sangat dan sangat butuh uang, tetapi Dia tidak
mengijinkan kita memperoleh uang itu dengan melanggar hukum, membuat orang lain
menderita, atau malah dengan mencelakakan diri sendiri. Dengan kata lain
kebutuhan tidak bisa dijadikan alasan untuk mencuri atau mengambil apa yang
bukan menjadi hak dan bagian kita.
Kita sangat sadar bahwa kita sekarang hidup di
dunia yang penuh dengan tawaran, godaan dan atau tekanan. Kita sendiri adalah
orang berdosa, yang seringkali terlalu lemah melawan niat jahat dalam hati
terutama bila ada kesempatan untuk berbuat salah. Banyak orang, sebagian karena
sudah menjadi kebiasaan, tidak dapat hidup sederhana, dan karena itu menganggap
kekurangan uang sebagai penderitaan terberat yang seolah tidak tertanggungkan.
Banyak orang sejak anak-anak terbiasa hidup berfoya-foya dan karena itu selalu
lebih besar pasak (pengeluaran) dari tiang (pemasukan). Selain itu
jangan-jangan kita juga mendapat ajaran kekristenan yang salah, entah dari
mana, yang mengatakan seolah kekayaan adalah otomatis berkat Tuhan. Itulah yang
membuat kita seringkali tanpa sadar tidak peka apalagi perduli kepada ajaran
Tuhan agar mencari uang dengan baik dan benar.
Salah satu hal yang patut kita waspadai sebagai
orang moderen adalah sifat serakah, atau nafsu yang tidak terkendali untuk
meraup uang. Penulis Amsal menggambarkan orang semacam itu seperti lintah
penghisap darah yang tidak pernah merasa cukup. Orang-orang serakah ini tentu
saja tidak mampu menghayati doa yang diajarkan Yesus: “Berilah kami pada hari
ini makanan yang secukupnya”.
Penulis Surat Timotius mengingatkan kita bahwa
keinginan untuk mendapatkan uang dalam jumlah besar, secara cepat dan mudah,
bisa menggoda kita melakukan kejahatan atau malah jatuh ke dalam berbagai
penderitaan. Terlalu banyak contoh yang dapat kita ambil dari kehidupan sehari-hari
tentang orang-orang yang menderita dan bahkan akhirnya hancur karena ingin kaya
mendadak.
KEDUA: TUHAN MENGAJAK KITA MENGGUNAKAN
UANG KITA DENGAN BAIK DAN BENAR.
Memiliki uang pada umumnya adalah baik. Tetapi
pertanyaan selanjutnya: kalau memiliki uang untuk apa? Tentu saja banyak orang
akan segera menjawab untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, membuat kehidupan
lebih sejahtera dan menyenangkan, dan menabungnya untuk persiapan masa depan.
Semua itu baik dan sah. Tetapi belum cukup. Alkitab juga mengajak kita agar
memakai uang atau benda kita untuk memuliakan Tuhan dan melakukan hal-hal yang
baik bagi orang lain (tidak hanya diri sendiri).
Yesus bersabda “dimana hartamu berada di situ
hatimu berada”. Artinya: penggunaan uang menunjukkan hati kita sebenarnya.
Sebab itu jika ingin tahu isi hati kita yang sebenarnya mari kita memeriksa
anggaran pengeluaran kita. Kemana uang itu paling banyak dikeluarkan kesitulah
sesungguhnya hati kita tertuju. Contoh: jika kita sangat banyak dihabiskan
untuk pendidikan anak-anak itu artinya hati kita memang tertuju kepentingan
masa depan anak-anak. Jika uang kita lebih banyak dibelanjakan untuk membeli
hiasan keramik daripada buku, itu karena hati kita memang lebih besar kepada
keramik dibanding buku, dan seterusnya.
Pada jaman sekarang dikenal apa yang dinamakan
kecerdasan finansial. Maksudnya: kemampuan atau ketrampilan dibidang keuangan
yang bisa dan harus dipelajari. Orang moderen sadar bahwa semua orang harus
belajar bukan hanya mendapatkan tetapi juga mengelola dan mengembangkan uang.
Kecerdasan finansial atau “melek uang” itu harus dipelajari sejak dini. Sebab
itulah anak-anak harus dididik untuk berdisiplin, berhemat, menabung, mengelola
uang mingguan/ bulanan, menghargai uang dan lain-lain agar setelah dewasa
benar-benar cerdas dan trampil menggunakannya.
Orang moderen selalu bergumul sengit sebab mereka,
dalam lubuk hatinya, menganggap uangnya sebagai upah kerja keras dan
prestasinya dan bukan anugerah Tuhan. Jika memang hasil kerja keras, tentu hak
mutlak kita mengendalikan uang kita. Namun Alkitab mengatakan: Tuhanlah yang
memberi kita modal, kesempatan, kesehatan dan lain2 sehingga kita bisa
mendapatkan uang itu. Sebab itu kita harus tunduk dan selalu
bertanya kepada Tuhan termasuk dalam menggunakan uang kita.
bertanya kepada Tuhan termasuk dalam menggunakan uang kita.
KETIGA: TUHAN MENGAJAK KITA MENJADIKAN MEMILIKI ATAU TIDAK MEMILIKI UANG SEBAGAI BERKAT ATAU KESEMPATAN.
Uang bukanlah otomatis berkat Tuhan dan ketidaaan
uang juga tidak otomatis merupakan kutuk atau bencana. Memiliki atau tidak
memiliki uang tidak otomatis memperbaiki kualitas hidup seseorang. Sebagian
orang bertambah baik dengan memiliki uang, namun sebagian orang lagi malah
bertambah buruk. Ada orang yang mendekat kepada Tuhan saat kaya, namun menjauh
dari Tuhan saat miskin. Sebagian lagi justru dekat kepada Tuhan saat miskin dan
menjauh dari Tuhan justru setelah kaya. Bagaimana dengan Saudara dan saya?
Apakah Saudara dan saya semakin baik bila memiliki uang? Apakah Saudara dan
saya semakin baik bila tidak memiliki uang?
Penulis kitab Amsal (Ams 30:7-9) mengingatkan kita
bahwa kekayaan atau kemiskinan, memiliki atau tidak memiliki uang sama bahaya
atau resikonya. Orang yang kaya atau memiliki uang banyak bisa tergoda
menyangkal atau merasa tidak memerlukan Allah, sebaliknya orang miskin atau tak
punya uang bisa tergoda mencuri. Menurut saya harus ditambah: orang kaya juga
bisa tergoda mencuri dan orang miskin (karena kemiskinannya) bisa tergoda juga
menyangkal bahwa Allah itu ada.
KEEMPAT: TUHAN MENGAJAK KITA
MENJADIKAN UANG SEBAGAI HAMBA ATAU ALAT MELAKUKAN KEBAIKAN.
Ini pertanyaan terpenting: bagaimanakah relasi
kita dengan uang? Siapakah sebenarnya tuan dan siapakah hamba. Jika uang itu,
sadar atau tidak sadar, telah menjadi tuan atau majikan yang mengatur hidup
kita maka uang itu akan menjadi tuan yang paling jahat atau kejam. Namun
sebaliknya jika kita berhasil menaklukkan uang itu dan menjadikannya sebagai
alat atau hamba, maka itu bisa menjadi alat dan hamba yang sangat berguna.
Yesus mengatakan kita tidak dapat mengabdi kepada
dua tuan atau majikan. Kita tidak bisa menjadikan Tuhan dan uang sebagai
majikan. Kita akan mentaati yang satu dan membenci yang lain. Ketika kita,
mungkin tanpa sadar, menjadikan uang sebagai tuan atau majikan kita, maka kita
tidak lagi mennuruti perintah-perintah Tuhan dan malah melanggarnya demi
mengikuti perintah Uang tersebut.
Sebab itulah kita diingatkan bahwa pembinaan
karakter melampaui pentingnya pemilikan uang. Hal ini harus sungguh-sungguh
kita ajarkan kepada anak-anak kita. Orang yang sungguh2 memiliki karakter tidak
akan diperhamba oleh uangnya. Namun pertanyaannya: bagaimana mungkin kita dapat
membangun karakter jika yang ada di kepala dan hati kita hanya: uang, uang dan
uang?
Dengan bahasa lain: Tuhan tidak mengijinkan kita
menjadikan uang sebagai tujuan akhir hidup kita. Mesti ada tujuan lain yang
lebih mulia daripada sekadar pemilikan uang itu. Yaitu: keadilan, ibadah,
kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan. (1 Tim 6:11). Ini menantang kita
agar berani meninjau nilai tertinggi dalam hidup kita. Apa atau siapakah nilai
tertinggi dalam hidup kita? Tuhan atau uang? Kebenaran atau pemilikan uang?
Kasih atau kekayaan? Orang yang menjadikan uang sebagai nilai tertinggi tentu
akan rela mengorbankan apa saja, termasuk keluarga, iman, cinta demi uang.
Sebaliknya orang yang menganggap keluarga lebih penting dari uang, tentu tidak akan rela hancur keluarganya. Orang yang mengaggap hati nurani lebih berharga daripada uang tentu tidak akan rela mengorbankan nuraninya demi mendapatkan uang. Sebaliknya juga. Bagaimana dengan Saudara dan saya?
Sebaliknya orang yang menganggap keluarga lebih penting dari uang, tentu tidak akan rela hancur keluarganya. Orang yang mengaggap hati nurani lebih berharga daripada uang tentu tidak akan rela mengorbankan nuraninya demi mendapatkan uang. Sebaliknya juga. Bagaimana dengan Saudara dan saya?
Itulah sebabnya penulis surat Timotius mengatakan:
akar segala kejahatan ialah cinta uang. Ketika kita mencintai uang seperti kita
mencintai Tuhan dan sesama, maka kita akan didorong untuk melakukan berbagai
kejahatan. Sebab itu uang tidak boleh dicintai seperti mencintai manusia
apalagi Tuhan!
Betapa pun menggiurkan atau dibutuhkan, uang itu
tidak abadi. Alkitab mengatakan kita datang ke dan pergi meninggalkan dunia
tanpa uang sama sekali. Kita dipanggil ke dalam hidup abadi atau kekal yang
hanya bisa kita dapatkan dalam iman kepada Yesus. Kata-kata bijak juga
mengingatkan kita bahwa uang sebenarnya juga terbatas kekuasaannya. Selain
hidup kekal dan abadi bersama Yesus, dan surga, ada banyak hal yang juga tidak
bisa dibeli dengan uang. Antara lain: kebahagiaan, cinta sejati, damai
sejahtera, persekutuan, rasa aman dan ketenangan batin, sukacita permanen,
keutuhan rumah tangga, dan juga hubungan dengan anak-anak. Uang, betapa pun
besarnya, tidak mampu membeli semua itu.
Terakhir sekali baiklah kita catat kata-kata
Amsal: ada orang menyebar uang namun bertambah kaya. Namun ada yang menghemat
luar biasa namun semakin miskin saja. Orang-orang yang melakukan
sebanyak-banyaknya kebaikan dengan uangnya inilah yang dinamakan Yesus
mengumpulkan harta di surga, dimana hartanya tidak pernah bisa hilang, lapuk
dimakan rayap, atau berkarat. AMIN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar