Pendahuluan:
Ilustrasi:
Di negara Jepang banyak yang beragama Shinto. Mereka berbakti di beberapa kuil. Pada halaman luar setiap kuil Shinto itu tumbuhlah banyak pohon yang dengan sengaja telah ditanam dan diatur sedemikian rupa mengelilingi kuil-kuil tersebut. Ada beberapa upacara menarik yang dilakukan pada saat-saat tertentu di beberapa kuil Shinto ini. Pada hari dilaksanakannya upacara, ratusan gulungan kertas kecil yang tergantung pada dahan-dahan pohon diluar kuil. Apa yang terjadi selanjutnya?. Orang yang datang berbakti, pergi kepada imam Shinto dan mengambil undian (mencabut udian).
Setelah melihat "undian" yang dipilih orang yang berbakti, sang imam Shinto kemudian memberikan satu gulungan kertas tertutup yang didalamnya berisi ramalan "nasib" yang akan diperoleh oleh orang tersebut. Jika orang yang memperoleh gulungan kertas tersebut suka dengan ramalan "nasib" yang diperolehnya, ia segera akan pulang dan menunggu keberuntungannya terjadi. Namun, jika gulungan kertas tersebut tidak memberikan ramalan "nasib" yang baik, orang tersebut akan menggulung kembali kertas nasibnya dan kemudian menggantungkannya pada pohon di luar kuil.
Hal ini menandakan satu permohonan kepada para dewa untuk mengambil kembali "nasib" buruk tersebut. Dan memberikannya kepada orang lain. Satu syarat yang unik untuk mendapatkan permohonan tersebut adalah: orang itu harus bisa menggantungkan gulungan kertas ke dahan pohon dengan hanya menggunakan satu tangannya.
Saudaraku,...Didalam kehidupan kita sehari-hari, nasib buruk/penderitaan, seringkali mengikuti langkah yang kita lalui, hingga kepada kematian sekalipun. Tidak mungkin bagi kita untuk menghindari setiap penderitaan kita sendiri dan memberikan (mentransfer) penderitaan tersebut kepada orang lain.
Intinya: Penderitaan tidak dapat dielakkan oleh setiap umat manusia. Pada saat kita mengalami masalah (penderitaan), pertanyaan pertama yang kita tanyakan adalah: Why? Why me?. (Mengapa, mengapa saya?) Saya tidak pantas mendapatkan masalah/penderitaan ini. Dan pertanyaan berikutnya yang sering muncul, adalah: "Dimanakah Engkau, ya Tuhan saat saya menderita?".
Ilustrasi:
Sepasang pengantin baru, yang baru saja menyelesaikan pendidikan mereka di Andrews University, sedang berada dalam perjalanan pulang ke rumah, mempersiapkan diri mereka untuk pekerjaan Tuhan. Pada satu tikungan di jalanan yang licin, mobil mereka oleng dan hampir saja masuk jurang. Setelah berhasil mengendalikan mobilnya, sang suami muda kemudian menghentikan mobil mereka dipinggir jalan dan mengajak isterinya yang tercinta untuk berdoa mengucapkan syukur atas keselamatan yang telah Allah berikan dan memohonkan penjagaan yang sama akan menemani mereka sepanjang perjalanan tersebut. Setelah berdoa, tiba-tiba datanglah mobil lainnya, yang juga oleng oleh karena jalan yang licin, menabrak mobil pasangan tersebut dan menewaskan dengan sekerika sang isteri.
Dimanakah Tuhan dalam kejadian tersebut?. Raja Daud dalam kekecewaan yang mendalam, menangis dan berkata di dalam Mazmur 22:2 "Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?. Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku?".
Salah satu tokoh Alkitab yang mungkin untuk mempertanyakan keberadaan Allah adalah Yusuf. Di masa mudanya, ia telah menyadari bahwa Tuhan memiliki rencana khusus bagi dirinya untuk menjadi pemimpin bagi keluarganya, melalui dua mimpi yang Tuhan berikan kepadanya.
Namun, dimanakah Tuhan saat ia dipenjarakan selama kurang lebih 13 tahun lamanya?. Dia bukan karena melakukan kejahatan, tetapi justru karena melakukan kebenaran, yaitu menolak rayuan dan ajakan berzinah dari isteri majikannya sendiri. Namun didalam penderitaan-penderitaan, didalam kejamnya kehidupan seperti yang dialaminya (Kejadian 37 - 39), tidak sekalipun mengeluh dan bersungut. Mengapa Yusuf tidak bersungut?. Jawabnya ialah, karena ia yakin kepada kuasa dan kekuatan Tuhan. Persungutan adalah satu pola pemikiran, yang menyatakan bahwa didalam kesulitan, kesusahan, atau penderitaan, Allah tidak memiliki kemampuan untuk mengatasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar