Sabtu, 25 Juli 2015

Perintah Baru Kristus & Kegenapan Hukum Allah.


Kristus & Hukum-Nya (8)
(ILUSTRASI: Pengajaran Kristus selalu merujuk kepada Hukum Allah)
"HUKUM ALLAH DAN HUKUM KRISTUS"

PENDAHULUAN

UU Dasar pemerintahan surgawi. Dalam sistem hukum dan perundang-perundangan di setiap negara memiliki apa yang disebut "hirarki hukum" (tata urutan peraturan perundangan) di mana semua undang-undang, hukum, dan peraturan-peraturan mengacu pada Konstitusi atau UUD (undang-undang dasar) negara bersangkutan. Jadi, konstitusi merupakan "payung hukum" di mana semua undang-undang dan hukum maupun peraturan pemerintah bernaung. Pada hakikatnya, secara prinsipil dan subtansif sesuatu peraturan atau hukum tidak boleh bertentangan dengan hukum di atasnya. Sebaliknya, peraturan yang lebih tinggi dapat mengabaikan peraturan di bawahnya, yang dalam bahasa hukum dikenal sebagai lex superiori derogat lex inferiori, sebuah asas hukum yang juga dianut oleh Indonesia.

Berdasarkan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia, Bab III pasal 7, negara kita memiliki 7 (tujuh) tingkatan perundang-undangan yang sah. Berturut-turut, dari tertinggi sampai terendah, adalah:
1. UU Dasar Negara RI Tahun 1945 (biasa disingkat dengan UUD '45);
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (biasa disingkat Tap-MPR);
3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (biasa disingkat UU/Perpu);
4. Peraturan Pemerintah (biasa disingkat PP);
5. Peraturan Presiden (biasa disingkat Keppres, keputusan presiden);
6. Peraturan Daerah Provinsi (biasa disingkat Perda Prov);
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (biasa disingkat Perda Kab/Kot).
Dalam Bab III pasal 9 juga diatur bahwa jika suatu undang-undang diduga bertentangan dengan UUD '45, maka harus dilakukan pengujian terhadap isi UU itu yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (biasa disingkat MK); sedangkan suatu peraturan perundang-perundangan yang diduga bertentangan dengan UU di atasnya maka pengujian dilakukan oleh Mahkamah Agung (biasa disingkat MA). Pengujian ini sering disebut "uji materiil" (Belanda: materiile toetsing).

Tampaknya Allah juga mempunyai sistem "hierarki hukum" dalam pemerintahan-Nya yang meliputi seluruh alam semesta, termasuk kerajaan surga di mana Dia bertakhta, sebuah sistem yang tentu saja berbeda dari sistem hukum manapun di Bumi ini. Ketika suatu kali seorang ahli Taurat (ahli hukum Musa) bertanya kepada Yesus dengan maksud untuk "mencobai" (menguji) Dia dengan menanyakan "hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat" (Mat. 22:35-36), Yesus dengan tegas menjawab: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (ay. 37-40; huruf miring ditambahkan). Versi BIMK menerjemahkan ayat 40 secara lebih lugas: "Seluruh hukum agama yang diberikan oleh Musa dan ajaran para nabi berdasar pada kedua perintah itu" (huruf miring ditambahkan). Tentu saja hukum yang Yesus maksudkan di sini ialah Sepuluh Perintah, di mana empat perintah pertama merupakan manifestasi kasih kepada Allah secara vertikal dan enam hukum berikutnya adalah manifestasi kasih kepada sesama manusia secara horisontal.

"Sebagai Penguasa Tertinggi alam semesta, Allah Pencipta telah menetapkan hukum-hukum bagi semua ciptaan-Nya. Ketika Yesus Kristus secara sukarela menjelmakan Diri-Nya menjadi daging manusia, Ia menyerahkan Diri-Nya pada kehidupan penurutan terhadap Bapa-Nya (Flp. 2:5-11) dan kepada perintah-perintah-Nya. Jadi, segala sesuatu yang Yesus ajarkan, sudut pandang yang Ia tanamkan pada hukum itu, bahkan perintah baru yang Ia berikan, selalu dalam keselarasan sepenuhnya dengan hukum Allah" [alinea kedua].

1. SEPULUH PERINTAH DI SELURUH ALKITAB (Hukum dan Para Nabi)

Sepuluh Perintah sebagai pola hidup. Kita sudah pelajari pekan lalu bahwa hukum Allah memiliki peran dan fungsi sebagai "pembimbing" dan "pengawas" khususnya bagi umat Israel, tetapi hukum itu sendiri tidak dapat menyelamatkan. Hukum Allah telah diturunkan kepada bangsa Israel purba sebagai umat pilihan untuk mengkondisikan mereka, yaitu menyiapkan bangsa itu agar memiliki pola hidup yang sesuai dengan norma-norma ilahi, sebelum pada akhirnya mereka akan diselamatkan oleh kasih karunia melalui kurban penebusan Yesus Kristus sebagai Mesias. Tetapi hanya sebagian kecil saja dari umat pilihan itu yang menerima dan percaya kepada Yesus sedangkan sebagian besar menolak Dia, sementara bangsa-bangsa kafir (non-Yahudi) banyak yang menerima kasih karunia Allah sebab mereka percaya kepada Yesus. Karena iman, orang-orang kafir yang sebelumnya tidak mengenal hukum Allah itu langsung berada di bawah kasih karunia, dan penurutan terhadap hukum Allah (Sepuluh Perintah) menjadi sebagai respon mereka terhadap keselamatan yang mereka telah peroleh itu. Jadi, sementara orang Yahudi berusaha mencapai keselamatan melalui penurutan hukum Allah, orang kafir sudah diselamatkan melalui kasih karunia dan menjadikan hukum Allah sebagai pola hidup mereka.

Meskipun penurutan pada hukum Allah tidak dapat menyelamatkan orang berdosa, tetapi hukum itu tidak pernah dicabut atau dibatalkan. Bahkan, seluruh kitab nabi-nabi (Perjanjian Lama) dan tulisan rasul-rasul (Perjanjian Baru) semuanya mengajarkan tentang pentingnya penurutan hukum Allah. Banyak ayat-ayat dalam Alkitab, di luar ayat-ayat yang secara khusus memuat urutan Sepuluh Perintah itu (Kel. 20:3-17 dan Ul. 5:6-21), yang menyebutkan dan mendorong pemeliharaan isi Sepuluh Perintah tersebut. Prinsipnya di sini adalah: Hukum Allah tidak menyelamatkan seseorang, tetapi seorang yang sudah selamat wajib menaati hukum Allah.

"Sebagaimana telah kita pelajari, meskipun Alkitab mengajarkan bahwa penurutan hukum tidak dapat menyelamatkan siapa pun, tidak ada ayat-ayat yang memberi izin kepada seseorang untuk melanggar hukum Allah. Kalau ada, itu berarti izin untuk berdosa, dan Alkitab akan secara terang-terangan bertentangan dengan dirinya sendiri dalam satu topik yang sangat penting...Sementara ringkasannya ada dalam Sepuluh Perintah, hukum Allah itu berisi setiap perintah yang diucapkan langsung kepada atau melalui nabi-nabi-Nya" [alinea pertama: dua kalimat terakhir; alinea kedua: kalimat terakhir].

Sepuluh Perintah dalam tulisan nabi dan rasul. Kita bisa menemukan isi dari Sepuluh Perintah tersebar dalam tulisan-tulisan para nabi di Perjanjian Lama maupun tulisan para rasul dalam Perjanjian Baru, mulai dari hukum pertama sampai kesepuluh, yang menunjukkan bahwa Sepuluh Perintah Allah itu relevan untuk sepanjang zaman.

Hukum Pertama: "Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku" (Kel. 20:3; Ul. 5:7) terdapat juga dalam kitab Raja-raja yang menurut tradisi diyakini telah ditulis oleh Yeremia (2Raj. 17:35), kitab nabi Yesaya (Yes. 43:10; 44:8; 45:21-22; 46:9), kitab Hosea (13:4), mazmur Asaf (Mzm. 81:10), injil Matius (Mat. 4:10), dan tulisan rasul Paulus (1Kor. 8:4-6).

Hukum Kedua: "Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun...Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya" (Kel. 20:4-5; Ul. 5:8-9) terdapat juga dalam kitab Mazmur (Mzm. 115:4-8; 135:15-18), kitab Yesaya (40:18-20), kitab Daniel (9:4), tulisan Lukas (Kis. 17:29), dan tulisan rasul Paulus (1Kor. 8:4-6), dan tulisan rasul Yohanes (1Yoh. 5:21).

Hukum Ketiga: "Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan..." (Kel. 20:7; Ul. 5:11) terdapat juga dalam tulisan raja Salomo (Ams. 30:9), injil Matius (5:33-34), dan tulisan rasul Yakobus (5:12).

Hukum Keempat: "Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat" (Kel,. 20:8; Ul.5:12) terdapat juga dalam kitab Yesaya (56:6-7; 58:13-14), kita Yehezkiel (20:12), injil Lukas (13:14-16; 23:56), dan kitab Ibrani (4:4).

Hukum Kelima: "Hormatilah ayahmu dan ibumu" (Kel. 20:12; Ul. 5:16) terdapat juga dalam tulisan Salomo (Ams. 1:8-9; 20:20; 23:22; 28:24; 30:11, 17), injil Matius (15:4-6; 19:19), injil Markus (7:10; 10:19), injil Lukas (18:20), dan kitab Ibrani (6:1-3).

Hukum Keenam: "Jangan membunuh" (Kel. 20:13; Ul. 5:17) terdapat juga dalam injil Matius (5:21-22; 19:18), injil Markus (10:19), inil Lukas (18:20), tulisan rasul Paulus (Rm. 13:9), dan tulisan Yakobus (2:11).

Hukum Ketujuh: "Jangan berzina" (Kel. 20:14: Ul. 5:18) terdapat juga dalam tulisan raja Salomo (Ams. 6:32-33), injil Matius (5:27-28; 19:18), injil Markus (10:19), injil Lukas (18:20), tulisan rasul Paulus (Rm. 13:9), kitab Ibrani (13:4), dan kitab Yakobus (2:11).

Hukum Kedelapan: "Jangan mencuri" (Kel. 20:15; Ul. 5:19) terdapat juga dalam injil Matius (19:18), injil Markus (10:19), injil Lukas (18:20), tulisan rasul Paulus (Rm. 13:9; Ef. 4:28).

Hukum Kesembilan: "Jangan bersaksi dusta" (Kel. 20:16; Ul. 5:20) terdapat juga dalam tulisan raja Salomo (Ams. 6:16, 19; 19:5, 9, 18), injil Matius (19:18), injil Markus (10:19), injil Lukas (18:20), tulisan rasul Paulus (Rm. 13:9).

Hukum Kesepuluh: "Jangan mengingini" (Kel. 20:17; Ul. 5:21) terdapat juga dalam Mazmur (10:3; 119:36, BIMK), tulisan Salomo (Ams. 21:25-26), kitab Mikha (2:2), kitab Habakuk (2:9), injil Lukas (12:15), tulisan Lukas (Kis. 20:33), tulisan rasul Paulus (Rm. 13:9; 7:7-8; Ef. 5:5; 1Tim. 6:9-10), dan kitab Ibrani (13:5).

"Bahkan ada uraian yang lebih ampuh lagi tentang hukum Allah dalam perintah-perintah yang terdapat dalam Ulangan 6:5 dan Imamat 19:18, yaitu tentang mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia. Yesus menyatakan, 'Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi' (Mat. 22:40). Pada akhirnya, Yesus dan Bapa-Nya dipersatukan dalam maksud sementara mereka mendorong umat ciptaan Allah untuk mengasihi sebagaimana mereka telah dikasihi, dan penurutan kepada hukum itu adalah dasar bagaimana kasih itu harus diekspresikan" [alinea terakhir: tiga kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang hukum Allah menurut para nabi dan rasul?
1. Bangsa Israel telah mendapat kesempatan pertama untuk menerima hukum Allah, dan sedianya mereka juga yang pertama memperoleh kasih karunia kalau saja bangsa itu tidak menolak Yesus Kristus sebagai Mesias. Hanya sebagian kecil dari bangsa itu, serta bangsa-bangsa kafir, yang secara pribadi percaya dan menerima kasih karunia Allah.
2. Hadirnya kasih karunia tidak mengeliminasi keberadaan hukum Allah (dalam hal ini hukum moral, Sepuluh Perintah). Hal ini terbukti dari tulisan-tulisan para nabi Perjanjian Lama dan tulisan-tulisan para rasul Perjanjian Baru yang terus menggemakan hukum Allah itu dan mendorong orang beriman untuk menaati Sepuluh Perintah.
3. Sepuluh Perintah merupakan intisari dari seluruh isi Alkitab, dan kasih adalah intisari dari Sepuluh Perintah. Yesus berkata: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu...Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (Mat. 22:37, 39-40).

2. HUKUM YANG TERBESAR (Perintah-perintah Kasih)

Yesus dan ketaatan. Ketika orangtua-Nya yang sedang mencari-cari akhirnya menemukan Yesus sedang berbicara dengan pemuka-pemuka agama di Bait Allah, Maria menegur Yesus sambil mengungkapkan rasa cemas mereka sebagai orangtua karena sempat kehilangan Dia. Tetapi Yesus menyahut, "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?" (Luk. 2:49). Yusuf dan Maria tidak mengerti apa yang Yesus maksudkan (ay. 50), tetapi Yesus mengerti dan Ia sedang menyatakan identitas-Nya yang sebenarnya, meskipun dalam ukuran duniawi Dia masih berusia pra-remaja. Namun demikian Yesus tidak menolak untuk diajak pulang, sebab menyadari bahwa dalam kemanusiaan-Nya sebagai anak Dia harus "taat kepada mereka" (ay. 51, BIMK).

Peristiwa itu menjadi permulaan dari serangkaian bukti tentang kehidupan Yesus yang menaati hukum Allah selama kehidupan-Nya di atas bumi ini. Di kemudian hari, setelah memulai pelayanan-Nya, Yesus terus menunjukkan ketaatan-Nya pada Sepuluh Perintah Allah. Bahkan, ketaatan Yesus pada perintah Bapa-Nya berujung sampai ke kayu salib. "Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib" (Flp. 2:8; huruf miring ditambahkan).

"Kitabsuci memberikan banyak contoh tentang kesetiaan Yesus kepada hukum Allah...Jadi, Dia dapat berkata sementara mendekati saat-saat terakhir-Nya,
'Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya.' (Yoh. 15:10)" [alinea pertama: kalimat pertama dan kalimat terakhir].

Perintah baru. Beberapa waktu sebelum Yesus menyerahkan diri untuk mati di salib, dia berkata kepada murid-murid-Nya, "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi" (Yoh. 13:34-35). Ketika Ia menyebut tentang "perintah baru" untuk saling mengasihi bukan berarti bahwa kasih terhadap sesama manusia adalah perintah yang baru, tetapi Yesus sedang menyampaikan perintah lama dengan cara yang baru. Perhatikan bagaimana Yesus mengaitkan sikap saling mengasihi di antara mereka itu sebagai tanda supaya semua orang tahu kalau mereka adalah murid-murid-Nya. Kasih adalah ciri utama dari para pengikut Kristus, khususnya kasih yang ditunjukkan di antara para pengikut-Nya.

Dalam Imamat 19:18 kita membaca, "Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah Tuhan" (huruf miring ditambahkan). Jadi, Yesus bukan mengeluarkan sebuah perintah baru, melainkan menggemakan kembali perintah lama yang tampaknya sudah sering diabaikan oleh bangsa Israel, satu hal yang Ia tidak ingin terjadi di antara murid-murid dan para pengikut-Nya. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus menulis, "Meskipun saya dapat berbicara dengan berbagai bahasa manusia, bahkan dengan bahasa malaikat sekalipun, tetapi saya tidak mengasihi orang lain, maka ucapan-ucapan saya itu hanya bunyi yang nyaring tanpa arti. Meskipun saya pandai menyampaikan berita dari Allah, dan mengerti semua hal yang dalam-dalam, dan tahu segala sesuatu serta sangat percaya kepada Allah sehingga dapat membuat gunung berpindah, tetapi saya tidak mengasihi orang-orang lain, maka saya tidak berarti apa-apa!" (1Kor. 13:1-2, BIMK).

"Yesus mengerti bahwa ada hubungan antara pemeliharaan hukum dengan kasih. Sekalipun kita tidak terbiasa berbicara tentang 'perintah-perintah' kasih, seseorang dapat mengatakan, dalam pengertian yang sesungguhnya, bahwa Sepuluh Perintah adalah perintah-perintah tersebut. Perintah-perintah itu menunjukkan kepada kita bagaimana Allah ingin kita mengungkapkan kasih kita kepada-Nya dan kepada orang lain" [alinea kedua].

Apa yang kita pelajari tentang "perintah baru" yang Yesus maksudkan?
1. Ketaatan Yesus kepada orangtua duniawi-Nya adalah manifestasi dari ketaatan-Nya kepada hukum Allah, dan setelah dewasa ketaatan-Nya terhadap hukum Bapa surgawi-Nya itu terus meluas sampai kepada seluruh bagian dari hukum itu. Bahkan, ketaatan Yesus lebih dari sekadar menurut hukum Allah, tapi terutama taat pada kehendak Allah untuk mati sebagai Penebus.
2. Esensi dari hukum Allah adalah kasih, secara vertikal kepada Allah dan secara horisontal kepada sesama manusia, karena itu kita pun harus menaati hukum Allah atas dasar kasih. Seseorang dapat saja menaati Sepuluh Perintah Allah tanpa mempraktikkan kasih, tapi seseorang yang mengasihi Allah dan sesama manusia pasti akan memelihara Sepuluh Perintah itu.
3. Mengasihi seperti Kristus adalah tujuan dari setiap pengikut Kristus sejati. Kecuali anda dan saya memiliki rasa kasih yang tulus, kita tidak akan pernah mengerti dan mengalami apa arti sesungguhnya dari kasih. Seseorang mungkin cakap mengajar firman Allah, atau memiliki iman yang luar biasa, tetapi tanpa kasih semua itu tidak ada artinya.

3. HUKUM DALAM KASIH KARUNIA (Segalanya Bagi Semua Orang)

Strategi penginjilan Paulus. Pernyataan sang rasul dalam 1Korintus 9:19-23 merupakan sebuah kesaksian tentang strateginya dalam penginjilan. Ayat-ayat ini harus dipahami sebagai "metode penginjilan" yang dilakukan oleh rasul Paulus, yaitu dengan cara "beradaptasi" atau menyesuaikan diri dengan sasaran penginjilan. Dalam ungkapan yang pas sang rasul berkata, "Saya ini bukan hamba siapa pun; saya bebas. Meskipun begitu, saya sudah menjadikan diri saya ini hamba kepada semua orang. Saya lakukan itu supaya saya bisa memenangkan sebanyak mungkin orang untuk Kristus" (ay. 19, BIMK; huruf miring ditambahkan).

Supaya usaha penarikan jiwa menjadi lebih efektif, teknik pendekatan yang dilakukan Paulus terhadap orang-orang Yahudi "yang hidup di bawah hukum Musa aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat" (ay. 20; huruf miring ditambahkan), dan terhadap orang-orang bukan Yahudi "yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus" (ay. 21; huruf miring ditambahkan). Perhatikan, dalam kalimat terakhir ini Paulus menekankan bahwa meskipun dia hidup "di bawah hukum Kristus" (=hukum kasih karunia) namun dia "tidak hidup di luar hukum Allah." Dalam hal ini tidak berarti bahwa hukum Allah dengan hukum Kristus saling bertentangan, sebab Sepuluh Perintah dan kasih karunia kedua-duanya berasal dari Allah sendiri.

"Pada akhirnya, semua yang menjadi bagian dari kerajaan Allah akan tunduk pada hukum-Nya. Karena itu, mereka yang melayani bagi Allah juga harus selaras dengan kehendak Allah. Paulus dengan cepat menyatakan bahwa sekalipun dia menggunakan metode-metode inovatif untuk menjangkau orang banyak, dia selalu berhati-hati agar tetap berada di bawah perintah-perintah hukum Allah. Kerinduannya melihat orang-orang diselamatkan tidak akan membiarkan dia berkompromi terhadap hukum dari Allah yang dia minta mereka layani itu" [alinea kedua: empat kalimat pertama].

Hukum Allah dan hukum Kristus. Lebih jauh Paulus menulis, "Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya" (ay. 22-23; huruf miring ditambahkan). Jadi, di hadapan orang Yahudi sang rasul berlaku seolah-olah dirinya berada di bawah hukum taurat, terhadap orang bukan Yahudi dia berlaku seperti orang yang tidak di bawah hukum Taurat, bahkan di depan orang-orang yang lemah imannya dia berlaku seperti orang yang lemah. Dengan kata lain, dalam rangka penginjilan sang rasul telah berbuat "all out" (mati-matian) demi menarik jiwa sebanyak-banyaknya bagi Tuhan.

Tetapi sementara tema yang nyata dalam ayat-ayat di atas adalah perihal metode pendekatan penginjlan yang dijalankan oleh rasul Paulus, kita juga menemukan sikap sang rasul dalam hubungannya dengan hukum ilahi. Kita dapati tiga pernyataan Paulus: "Aku tidak hidup di bawah hukum Taurat" (ay. 20, huruf miring ditambahkan); "Aku tidak hidup di luar hukum Allah" (ay. 21, huruf miring ditambahkan); dan "Aku hidup di bawah hukum Kristus" (ay. 21, huruf miring ditambahkan). Sebagai orang Kristen kita tidak bergantung pada hukum Allah untuk keselamatan, tetapi sebagai orang yang sudah diselamatkan kita tetap terikat pada hukum Allah, karena kita sekarang berada di bawah hukum Kristus. Apakah hukum Kristus itu? Sang rasul berkata, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus" (Gal. 6:2). Saling menolong adalah ungkapan nyata dari kasih terhadap sesama manusia dan merupakan "hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci" (Yak. 2:8). Kasih kepada Allah dan kepada sesama manusia adalah intisari dari "seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (Mat. 22:37-40).

"Paulus tidak maksudkan agar hukum Kristus dipandang sebagai sebuah alternatif (=pilihan lain) dari hukum Allah. Kedua hukum itu bekerja bersama-sama secara harmonis, sebab hukum yang mengasihi dari Kristus itu digunakan untuk memperkenalkan orang-orang yang diselamatkan oleh kasih karunia kepada hukum dari Allah yang mengasihi. Bahkan, seluruh bagian di mana Paulus secara sangat terbuka menjelaskan semua yang dia ingin lakukan demi menjangkau yang hilang, itu adalah contoh sempurna dari jenis kasih pengorbanan diri yang dinyatakan dalam 'hukum Kristus'" [alinea terakhir: tiga kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang hukum Allah dan "hukum Kristus" dalam pandangan Paulus?
1. Penginjilan yang sukses memerlukan metode pendekatan yang tepat, termasuk penyesuaian diri. Tapi meskipun penginjilan adalah perintah Kristus yang penting, tidak berarti kita bisa bersikap "menghalalkan segala cara" demi keberhasilan penarikan jiwa, termasuk dengan mengabaikan hukum Allah untuk mendekati orang-orang yang tidak menaati hukum Allah itu.
2. Istilah "hukum Kristus" yang diperkenalkan oleh rasul Paulus (1Kor. 9:21; Gal. 6:2) identik dengan "hukum kasih" berdasarkan rangkuman Yesus tentang isi Sepuluh Perintah Allah sebagai kasih vertikal dan kasih horisontal (Mat. 22:37-40; Mrk. 12:28-31), serta amanat Yesus agar saling mengasihi yang disebut-Nya sebagai "perintah baru" (Yoh. 13:34; 1Yoh. 2:7-8).
3. Hukum Kristus bukan pengganti hukum Allah, tetapi hukum Kristus adalah ujud dari penurutan hukum Allah. Yesus berkata: "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku...Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku...Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia..." (Yoh. 14:15, 21, 23).

4. ORANG KRISTEN DAN PENURUTAN HUKUM (Menggenapi Hukum Kristus)

Melakukan kehendak Allah. Pada penghujung khotbah-Nya di atas bukit Yesus mengungkapkan sebuah kebenaran hakiki: "Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga" (Mat. 7:21; huruf miring ditambahkan). Di sini Yesus bukan sedang berbicara mengenai orang-orang biasa melainkan tentang orang-orang yang telah berhasil mencapai tingkat kerohanian tertentu, yaitu mereka yang mampu bernubuat dan mengusir setan bahkan mengadakan banyak mujizat dengan menggunakan nama-Nya (ay. 22), akan tetapi "Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu!" (ay. 23). Bukankah ini sebuah pernyataan yang sangat dahsyat? Tampaknya mereka itu ditolak karena dianggap tidak melakukan kehendak Allah. Kalau begitu, apa artinya "melakukan kehendak Bapa" yang di surga?

Kita menemukan petunjuk perihal kehendak Allah ini dalam surat rasul Paulus kepada jemaat di Roma, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna" (Rm. 12:2; huruf miring ditambahkan). Ini selaras dengan nasihat sang rasul kepada jemaat di Tesalonika, yaitu supaya mereka "hidup berkenan kepada Allah" dan melakukannya "lebih bersungguh-sungguh lagi" (1Tes. 4:1) sesuai dengan "petunjuk-petunjuk mana yang telah kami berikan kepadamu atas nama Tuhan Yesus" (ay. 2; huruf miring ditambahkan). Selanjutnya sang rasul menekankan pentingnya mengamalkan kehidupan yang sesuai dengan hukum Allah, khususnya hukum ketujuh tentang berzina dan hukum kesepuluh tentang mengingini, karena "Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus" (ay. 7).

"Entah itu dinyatakan dalam dokumen tertulis atau di alam, hukum Allah menyingkapkan kehendak-Nya kepada setiap orang yang sanggup untuk mengerti (Rm. 1:20, 2:12-16). Karena itu, tidak ada orang yang dapat menyatakan tidak tahu tentang tuntutan-tuntutan Allah yang mendasar...Menurut Paulus, kasih karunia akan menyanggupkan orang percaya untuk menghidupkan suatu kehidupan penurutan (Rm. 6:15; Ef. 2:10; Tit. 2:11-14), walaupun, seperti yang kita benar-benar tahu, kita tidak selalu hidup setaat dan sesetia seperti yang seharusnya" [alinea pertama: dua kalimat pertama; dan alinea kedua].

Mewujudkan hukum Kristus. Dalam Galatia 6:1-5 rasul Paulus menyinggung soal tanggungjawab, dalam hal ini adalah tanggungjawab pada diri sendiri dan orang lain. Setiap orang Kristen mengemban kewajiban untuk saling menolong serta kewajiban untuk menjaga diri, dan dua sisi kewajiban ini merupakan tanggungjawab pribadi. Tulisnya, "Saudara-saudara! Kalau seseorang didapati melakukan suatu dosa, hendaklah kalian yang hidup menurut Roh Allah, membimbing orang itu kembali pada jalan yang benar. Tetapi kalian harus melakukan itu dengan lemah lembut, dan jagalah jangan sampai kalian sendiri tergoda juga. Hendaklah kalian saling membantu menanggung beban orang, supaya dengan demikian kalian menaati perintah Kristus" (ay. 1-2, BIMK). Dalam melakukan hal ini, "setiap orang harus memeriksa sendiri apakah kelakuannya baik atau tidak. Kalau baik, ia boleh merasa bangga atas hal itu. Tetapi tidak usah ia membandingkannya dengan apa yang dilakukan orang lain. Sebab masing-masing orang harus memikul tanggung jawabnya sendiri" (ay. 4-5, BIMK; huruf miring ditambahkan).

Dalam nasihat ini kita menemukan perwujudan dari hukum Kristus, yaitu hukum untuk saling mengasihi sesama manusia, khususnya di antara sesama umat percaya. Mengamalkan hukum Kristus berarti menaruh kepedulian yang tulus terhadap pergumulan rohani dari seorang saudara seiman, dan pada waktu yang sama menjaga agar diri sendiri tidak terperangkap dalam pergumulan rohani yang sama. Mengamalkan hukum Kristus berarti turut prihatin pada keadaan kerohanian kawan seiman dan bersedia membantunya, tanpa disertai dengan sikap menghakimi serta merasa diri lebih baik atau lebih suci. Mewujudkan hukum Kristus berarti turut bersukacita bersama orang yang bersukacita, dan menangis dengan orang yang menangis, karena merasakan sehati dan sepikir dalam kebersamaan (Rm. 12:14-15).

"Hukum Kristus didorong oleh belas kasihan. Kalau bukan karena kematian pengorbanan-Nya, tidak ada alasan untuk memelihara hukum Allah. Namun, karena Kristus sudah memungkinkan adanya hidup yang kekal, ada suatu pendorong bagi orang yang setia untuk mulai lagi memelihara hukum Allah setelah melewati saat-saat kelemahan. Sesama umat percaya harus menggunakan hukum Kristus sebagai wahana untuk membawa orang berdosa yang bertobat kembali ke gelanggang hukum kasih Allah" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang menggenapi hukum Kristus?
1. Hukum Kristus adalah hukum Allah dalam perbuatan dan tindakan. Bilamana kita melaksanakan perintah-perintah hukum Allah, pada saat itulah kita menggenapi hukum Kristus. Yesus meninggikan penurutan hukum Allah melalui hidup-Nya sendiri maupun dalam pengajaran-Nya, dengan menyamakan penurutan hukum itu sebagai kehendak Allah.
2. Kepedulian terhadap pergumulan rohani orang lain merupakan ujud nyata dari kegenapan hukum Kristus, bilamana kita turut merasakan kesedihan saudara seiman yang jatuh ke dalam dosa dan berusaha membantunya dengan memberi kekuatan dan semangat untuk kembali ke pangkuan Juruselamat yang mengasihinya.
3. Keprihatinan terhadap orang lain yang berbuat dosa harus didasari pada kesadaran bahwa kita sendiri adalah manusia biasa yang lemah dan sewaktu-waktu bisa jatuh ke dalam dosa. Orang Kristen yang baik selalu peduli pada kelemahan kawan seiman, tetapi orang Kristen yang bijak selalu peduli pada kelemahan diri sendiri.

5. KETIKA ALLAH MENGHAKIMI (Hukum dan Penghakiman)

Waktunya akan tiba. Peran hukum Allah--Sepuluh Perintah--dalam proses penghakiman ilahi mendemonstrasikan keadilan Allah. Bahkan Setan pun menggunakan hukum Allah untuk mendakwa umat percaya, sebagaimana dia menuduh imam besar Yosua di hadapan Allah dalam sebuah proses penghakiman sebagaimana yang digambarkan oleh nabi Zakharia berdasarkan penglihatannya. Memang saat itu Yosua sedang mengenakan pakaian yang sangat kotor, lambang dari tabiatnya yang berlumuran dosa, tetapi kemudian atas perintah Tuhan pakaian itu telah ditukar dengan jubah yang putih bersih tak bernoda. Lalu Tuhan berkata kepadanya, "Kalau engkau mematuhi hukum-hukum-Ku dan melakukan tugas-tugas yang Kuberikan kepadamu, maka untuk seterusnya engkau boleh menjadi pemimpin di dalam Rumah-Ku dan mengurus pelatarannya. Aku akan mendengarkan doa-doamu, seperti Aku mendengarkan doa para malaikat yang berada di dekat-Ku" (Za. 3:7, BIMK).

Dalam penglihatan berbeda dan pada waktu yang berlainan, Yohanes Pewahyu menyaksikan seorang malaikat yang terbang di langit sambil berseru dengan suara nyaring: "Takutlah akan Allah dan muliakanlah Dia, karena telah tiba saat penghakiman-Nya, dan sembahlah Dia yang telah menjadikan langit dan bumi dan laut dan semua mata air" (Why. 14:7). Ini adalah seruan yang ditujukan kepada umat manusia pada zaman akhir, yaitu sebuah amaran yang berkenaan dengan waktu penghakiman Allah. Penghakiman terakhir ini akan dijalankan oleh Kristus yang telah menerima kekuasaan itu dari Bapa (Yoh. 5:22, 27; Rm. 2:16). Dalam melaksanakan penghakiman ini Yesus berkata: "Aku tak dapat berbuat apa-apa atas kemauan-Ku sendiri. Aku hanya menghakimi sesuai dengan yang diperintahkan Allah. Dan keputusan-Ku adil, sebab Aku tidak mengikuti kemauan sendiri, melainkan kemauan Bapa yang mengutus Aku" (Yoh. 5:30, BIMK).

"Fakta bahwa Kristus telah ditugaskan dengan tanggungjawab penghakiman menunjukkan kemurahan Allah. Sebab Kristus sudah menjadi satu dengan umat manusia, Ia berada dalam posisi untuk menghakimi tanpa memihak. Berdasarkan keakraban-Nya dengan pengalaman manusia, Kristus tidak akan menghakimi seseorang secara tidak adil. Bahkan, Kristus memberi kesan bahwa hukuman tidak dapat dari Dia, tetapi bahwa orang berdosa yang tidak bertobat itulah yang menghukum dirinya sendiri ketika dia menolah untuk mengindahkan perintah Allah (Yoh. 12:48)" [alinea kedua: empat kalimat terakhir].

Hukum sebagai ukuran penghakiman. Dalam kekagumannya terhadap hukum Allah, pemazmur menulis: "Engkau memberi kami hukum-Mu, ya Tuhan, supaya kami melakukannya dengan setia. Semoga aku dengan hati teguh mengikuti peraturan-peraturan-Mu. Jika aku memperhatikan semua perintah-Mu, maka aku tak akan dipermalukan. Bila aku mempelajari keputusan-Mu yang adil, aku memuji Engkau dengan setulus hati. Aku mau menaati hukum-Mu, janganlah sekali-kali meninggalkan aku...Bukalah mataku supaya aku melihat ajaran yang mengagumkan dalam hukum-Mu. Hanya untuk sementara aku tinggal di dunia, janganlah menyembunyikan hukum-Mu daripadaku. Hatiku sakit menanggung rindu, aku ingin mengetahui hukum-Mu setiap waktu" (Mzm. 119:4-8, 18-20, BIMK).

"Banyak orang yang akrab dengan isi dari hukum Allah tetapi tidak tahu bagaimana memeliharanya. Hukum bukanlah sebuah daftar tugas yang kita gunakan untuk melihat seberapa dekat kita kepada kerajaan itu; sebaliknya, hukum adalah sebuah instrumen yang mengungkapkan berbagai prinsip kasih...Sebagai ukuran penghakiman, hukum berfungsi untuk mengukur kadar kasih yang telah ditunjukkan oleh seseorang terhadap Allah dan manusia. Apabila Kristus memimpin penghakiman terakhir, Ia akan menggunakan hukum kasih Allah yang tidak berubah sebagai standar untuk menghakimi (Yak. 2:12)" [alinea terakhir: dua kalimat pertama dan dua kalimat terakhir].

Pena inspirasi menulis: "Hukum Allah itu, berdasarkan sifatnya, tidak berubah-ubah. Itu adalah penyataan dari kehendak dan tabiat Pembuatnya. Allah itu kasih, dan hukum-Nya itu kasih. Dua prinsipnya yang agung adalah kasih kepada Allah dan manusia. 'Kasih adalah kegenapan hukum.' Tabiat Allah ialah keadilan dan kebenaran, demikian pula sifat hukum-Nya...Dan hukum ini adalah ukuran oleh mana kehidupan dan tabiat manusia akan diuji dalam penghakiman" (Ellen G. White, The Watchman, 10 Oktober 1905).

Apa yang kita pelajari tentang hukum Allah sebagai ukuran penghakiman?
1. Allah memberikan hukum-Nya kepada manusia untuk ditaati, dan ketaatan pada hukum Allah tentu ada pahalanya. Pada kasus imam besar Yosua dalam khayal nabi Zakharia, penurutan hukum Allah berkaitan dengan kekudusan tabiat dan kepercayaan untuk memimpin dalam pelayanan di rumah Tuhan. Pada prinsipnya, Allah menghendaki para pemimpin rohani taat hukum dan bertabiat suci.
2. Pada hari penghakiman nanti Allah akan menghakimi manusia yang pernah hidup di dunia ini, dan penghakiman itu akan didasarkan pada penurutan hukum-hukum-Nya. Jadi, walaupun hukum Allah tidak dapat menyelamatkan manusia tetapi hukum itu memiliki peran yang dalam batas tertentu berimbas pada keselamatan.
3. Sebagai "ukuran penghakiman" hukum Allah yang berdasarkan kasih dan keadilan serta tidak berubah-ubah itu melambangkan sifat Allah yang adil dan kasih serta tidak berubah. Penurutan pada hukum Allah adalah ungkapan pengakuan kita akan tabiat Allah yang penuh kasih, adil, dan tidak berubah-ubah.

PENUTUP

Penghayatan hukum Allah. Mengutip ucapan Allah kepada nabi Yeremia (31:33), penulis kitab Ibrani mencatat: "Inilah perjanjian yang akan Kubuat dengan mereka pada hari-hari yang akan datang,' kata Tuhan, 'Aku akan menaruh hukum-hukum-Ku ke dalam hati mereka, dan menulisnya ke dalam pikiran mereka" (Ibr. 10:16, BIMK; huruf miring ditambahkan). Ini adalah cara Allah untuk menolong umat-Nya dalam penurutan mereka terhadap hukum-hukum-Nya. Penurutan pada hukum Allah lebih efektif kalau prinsip-prinsip hukum itu bukan sekadar dihafal tetapi juga dihayati, dan penghayatan akan hukum-hukum itu pada gilirannya akan mengubah kita menjadi orang-orang yang lebih mengasihi Allah dan lebih menyayangi orang lain.

"Kita hanya mengetahui sedikit tentang hati kita sendiri, dan hanya sedikit merasakan kebutuhan kita akan kasih sayang Allah. Itulah sebabnya kita sedikit sekali menghargai belas kasihan manis yang Yesus tunjukkan terhadap kita, dan yang kita seharusnya tunjukkan terhadap satu sama lain. Kita harus ingat bahwa saudara kita adalah manusia-manusia fana yang lemah dan bersalah, sama seperti diri kita" [alinea kedua: tiga kalimat pertama].

"Seperti Bapa mengasihi Aku, demikianlah Aku mengasihi kalian. Hendaklah kalian tetap hidup sebagai orang yang Kukasihi. Kalau kalian menjalankan perintah-perintah-Ku, kalian tetap setia kepada kasih-Ku, sama seperti Aku tetap setia kepada kasih Bapa karena menjalankan perintah-perintah-Nya" (Yoh. 15:9-10).
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar