Kristus & Hukum-Nya(6)
"KEMATIAN KRISTUS DAN HUKUM"
PENDAHULUAN
Membatalkan surat hutang. Dapatkah Allah mencabut hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, dan dengan demikian membatalkan hukuman mati yang harus ditanggung oleh manusia, sesuai dengan tuntutan hukum itu (Rm. 6:23)? Bukankah Allah itu maha kuasa dan maha kasih? Benar, kalau hanya berdasarkan pada dua sifat tersebut, mestinya dapat. Namun, selain maha kuasa dan maha kasih, Allah itu juga maha adil. Maka, berdasarkan tabiat yang ketiga ini, hal itu tidak bisa terjadi. Sesungguhnya Allah dapat meniadakan hukum-Nya, tetapi Dia tidak mungkin melakukan itu!
Maka, Allah dalam hikmat-Nya yang tak terselami itu telah menentukan jalan keluar terhadap masalah dosa, yaitu dengan merelakan Putra-Nya yang tunggal menjadi sebagai pengganti manusia yang seharusnya menjalani hukuman akibat dosa. Rasul Paulus berkata, "Allah mengurbankan Kristus Yesus supaya dengan kematian-Nya itu manusia dinyatakan bebas dari kesalahan kalau mereka percaya kepada-Nya. Allah berbuat begitu untuk menunjukkan keadilan-Nya..." (Rm. 3:25, BIMK; huruf miring ditambahkan). Keberdosaan membuat kita manusia "berhutang hukuman" terhadap Hukum Allah, tetapi dengan kematian Yesus di kayu salib, "Allah sudah mengampuni segala dosa kita, dan membatalkan surat hutang terhadap kita, yang mengancam kita dengan syarat-syarat yang berat. Dengan menyalibkan surat itu pada kayu salib, Allah menghapuskan semua dakwaan terhadap kita" (Kol. 2:13-14, BIMK; huruf miring ditambahkan).
Kata Grika yang diterjemahkan dengan "surat hutang" dalam ayat terakhir ini adalah cheirographon, sebuah kata benda yang arti harfiahnya adalah surat tulisan tangan yang pada zaman dulu biasanya dibuat sebagai pengakuan hutang (Inggris: IOU = I owe you) yang isinya bersifat mengikat. Biasanya dalam surat hutang itu tercantum jumlah yang harus dibayar dan bagaimana hutang itu akan dilunasi, lalu dibubuhi tandatangan orang yang membuat surat pengakuan hutang itu. Di seluruh PB hanya dalam ayat ini saja kata itu digunakan yang menunjukkan kekhasan istilah tersebut. Dalam konteks ini, surat hutang yang dimaksudkan adalah "surat dakwaan" terhadap manusia berdasarkan Hukum Allah. Jadi, bukan hukum itu yang dibatalkan atau dihapuskan--sebagaimana diajarkan dan diyakini oleh sebagian orang Kristen--melainkan dakwaan atas dosa manusia itulah yang dibatalkan.
Dengan berpatokan pada pemahaman ini maka kita dapat lebih mudah mempelajari arti kematian Kristus, dan bagaimana Dia sebagai Anak Domba Allah "menghapus dosa dunia" (Yoh. 1:29). "Pekan ini kita akan melihat pada kematian Kristus dan apa artinya itu dalam kaitannya dengan hukum" [alinea terakhir].
1. RELEVANSI HUKUM ALLAH (Mati Terhadap Hukum)
Merdeka dari hukum. Dalam Roma 7:1-6 rasul Paulus bertutur tentang status orang-orang Yahudi yang menjadi Kristen dalam hubungan mereka dengan Hukum Musa (Torah). Tampaknya bagian dari surat ini ditujukan kepada orang-orang Kristen Yahudi di Roma, sebagaimana tercermin dari anak kalimat "sebab aku berbicara kepada mereka yang mengetahui hukum" (ay. 1). Hanya orang Yahudi yang tahu hukum Musa, sedangkan mereka yang non-Yahudi tidak. Di sini sang rasul hendak menekankan kepada mereka bahwa dengan menerima Kristus maka hubungan mereka dengan Hukum Musa telah berakhir atau sudah putus, dengan menggunakan analogi status seorang istri yang telah merdeka dari suaminya yang sudah mati. Istilah yang Paulus gunakan untuk menggambarkan berakhirnya hubungan dengan hukum itu adalah "mati bagi hukum Taurat" (ay. 4). Sebagai orang-orang yang kini menjalin hubungan dengan Kristus, "kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat" (ay. 6; huruf miring ditambahkan). Pendekatan analogis hubungan suami dan istri menurut Torah lebih mudah dimengerti oleh bangsa Yahudi yang sangat mengenal hukum Musa itu.
Roma pasal 7 paralel dengan pasal 6, yaitu bagian surat dengan tema serupa yang ditujukan kepada orang-orang Kristen yang berasal dari kekafiran (bangsa-bangsa bukan Yahudi). Pada pasal 6 rasul Paulus menekankan bahwa hubungan baru mereka dengan Yesus Kristus telah mengakhiri ikatan mereka terhadap dosa, dengan menggunakan analogi tentang seorang hamba yang statusnya merdeka apabila tuannya mati. Istilah yang Paulus gunakan untuk menggambarkan berakhirnya hubungan dengan dosa itu sebagai "mati bagi dosa" (ay. 2), dan sekarang mereka "hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus" (ay. 11). Sebagai orang Kristen mereka tidak lagi berada di bawah kuasa dosa, sebab mereka sekarang "tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia" (ay. 14; huruf miring ditambahkan). Sebagai orang-orang yang telah "dimerdekakan dari dosa" sekarang mereka adalah "hamba kebenaran" (ay. 18), yaitu "hamba Allah" yang membawa mereka "kepada pengudusan" dan berakhir dengan "hidup yang kekal" (ay. 22). Pendekatan analogis hubungan tuan dan hamba lebih mudah dipahami oleh bangsa-bangsa kafir pada zaman itu ketika perbudakan adalah hal yang lazim.
"Menurut Roma 6:6, bagian dari orang yang mati itu adalah 'manusia lama.' Ketika menghidupkan manusia lama maka orang itu dipersalahkan oleh hukum dan dengan demikian terperangkap dalam hubungan yang menyedihkan (Rm. 7:9-11, 24). Setelah manusia lama itu mati, orang tersebut bebas untuk memasuki hubungan baru dengan yang lain--yaitu Kristus yang sudah dibangkitkan (Rm. 7:4)" [alinea kedua: tiga kalimat terakhir].
"Kawin dengan Kristus." Hubungan antara orang Kristen dengan Kristus digambarkan sebagai suatu hubungan yang bermatra banyak (multi-dimensional relationship). Ada dimensi hubungan sebagai guru dengan murid, majikan dengan hamba, gembala dengan domba, sahabat dengan sahabat, pokok dengan carang, kepala dengan anggota tubuh, dan hubungan sebagai suami dengan istri. Alkitab banyak menyinggung soal hubungan antara Allah dengan umat-Nya, khususnya antara Kristus dengan pengikut-Nya, sebagai "suami dan istri" dalam konteks kasih sayang, pemeliharaan, perlindungan, kesetiaan dan integritas. Dalam konteks ini rasul Paulus menulis, "Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatnya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya. Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat" (Ef. 5:29-32; huruf miring ditambahkan).
Dasar dari hubungan itu ialah karena Kristus yang memilih kita (Yoh. 15:16, 19; Ef. 1:14; 1Tes. 1:4; Yak. 2:5) dan menebus kita dari dosa (1Kor. 6:19-20; Ef. 5:25). Kitab Wahyu menggambarkan pertemuan Kristus dengan umat-Nya nanti adalah sebagai suatu "perkawinan Anak domba" (19:7-9). Bahkan Allah sendiri berkata, "Sebab yang menjadi suamimu ialah Dia yang menjadikan engkau, Tuhan semesta alam nama-Nya; yang menjadi Penebusmu ialah Yang Mahakudus, Allah Israel, Ia disebut Allah seluruh bumi" (Yes. 54:5; huruf miring ditambahkan). Kemesraan hubungan antara Allah dengan umat-Nya ini, yang digambarkan sebagai cinta yang membara di antara sepasang sejoli yang sedang dimabuk asmara, digambarkan dengan indahnya oleh Salomo dalam puisi bertajuk "Kidung Agung" yang antara lain bertutur, "Merpatiku di celah-celah batu, di persembunyian lereng-lereng gunung, perlihatkanlah wajahmu, perdengarkanlah suaramu! Sebab merdu suaramu dan elok wajahmu!..Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia yang menggembalakan domba di tengah-tengah bunga bakung" (2:14, 16).
Dalam konteks hubungan antara Kristus dengan jemaat-Nya, yang diibaratkan sebagai hubungan antara suami dengan istri, rasul Paulus menekankan soal integritas ketika dia berkata: "Seorang wanita yang bersuami, umpamanya, terikat oleh hukum kepada suaminya hanya selama suaminya masih hidup. Kalau suaminya mati, istri itu bebas dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya...Begitu juga halnya dengan kalian, Saudara-saudaraku. Terhadap hukum agama Yahudi kalian sudah mati, karena kalian telah dipersatukan dengan tubuh Kristus dan menjadi kepunyaan Dia..." (Rm. 7:2, 4, BIMK). "Apa yang sedang Paulus katakan ialah bahwa oleh sebab hukum mengikat setiap orang yang hidup, maka hukum Allah juga memerintah dalam ikatan hubungan yang baru itu. Namun, fakta bahwa orang percaya sekarang kawin dengan Kristus berarti hukum itu bukan lagi alat untuk menghukum; orang percaya di dalam Yesus merdeka dari kutukan hukum karena dia ditudungi dalam kebenaran Kristus" [alinea ketiga].
Apa yang kita pelajari tentang arti dari istilah "mati bagi hukum" yang dimaksudkan oleh Paulus?
1. Kehidupan orang Yahudi adalah kehidupan yang sepenuhnya diatur oleh Torah. Kedatangan Yesus Kristus di antara mereka adalah untuk memerdekakan mereka dari hukum-hukum agama yang bersifat membebani itu, dengan menawarkan untuk hidup di bawah kasih karunia yang bersifat penuh belas kasihan yang disediakan-Nya.
2. Ketika sebagian orang Yahudi itu menerima Kristus dan menjadi orang Kristen, mereka telah dimerdekakan dari hukum agama (Torah) yang selama ini mengikat mereka. Dalam keadaan ini orang-orang Kristen Yahudi itu "mati bagi hukum Taurat oleh tubuh Kristus" sebab sekarang mereka adalah milik Kristus (Rm. 7:4).
3. Bagi seorang Yahudi yang menjadi Kristen, hubungan lama dengan hukum Musa berakhir dan hubungan baru dengan Kristus dimulai; bagi seorang bukan Yahudi yang menjadi Kristen, hubungan lama dengan dosa berakhir dan hubungan baru dengan kasih karunia dimulai (Rm. 6:14). Hubungan dengan Kristus itu digambarkan sebagai hubungan antara Yesus sebagai "suami" dengan jemaat sebagai "istri."
2. HUKUM YANG TIDAK LAGI MENGIKAT (Hukum Dosa dan Kematian)
Sebelum dan sesudah. Masih dalam konteks "hubungan baru" antara umat percaya dengan Kristus, rasul Paulus melanjutkan suratnya kepada orang-orang Kristen di kota Roma pada abad pertama itu dengan menyimpulkan: "Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus. Roh yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut. Sebab apa yang tidak mungkin dilakukan hukum Taurat karena tak berdaya oleh daging, telah dilakukan oleh Allah. Dengan jalan mengutus Anak-Nya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa, Ia telah menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging, supaya tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita, yang tidak hidup menurut daging, tetapi menurut Roh" (Rm. 8:1-4; huruf miring ditambahkan).
Kata kunci yang membuat kita merdeka dari hukum dan bebas dari tuntutan hukum itu adalah posisi kita yang berada di dalam Kristus. Orang-orang yang berada "di dalam Kristus" terlindung dalam kebenaran Kristus, sehingga meskipun mereka itu pada hakikatnya adalah berdosa karena melanggar hukum Allah namun melalui penurutan Yesus tuntutan hukum itu telah digenapi, sebab Yesus yang menjelma menjadi manusia dan hidup di dalam daging yang dikuasai dosa itu "telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa" (Ibr. 4:15).
Di sini rasul Paulus tidak membicarakan tentang adanya dua hukum yang saling bertentangan--yaitu "hukum daging" yang mengakibatkan dosa dan maut di satu pihak, dengan "hukum roh" yang menghasilkan penurutan di pihak lain--melainkan lebih pada soal posisi seseorang sebelum mengenal Yesus dan sesudah menerima Yesus. "Namun, perbedaannya bukan pada hukum melainkan pada pribadi sebelum atau sesudah dia menerima Kristus" [alinea pertama: kalimat terakhir].
Fungsi hukum. Secara sekuler, hukum adalah kumpulan norma-norma yang berlaku dalam satu masyarakat yang fungsinya antara lain adalah sebagai alat kontrol sosial dan alat penyelesaian sengketa, maupun sebagai alat untuk memelihara ketertiban dan ketenteraman serta melindungi kepentingan masyarakat dan memenuhi rasa keadilan. Secara rohani, hukum [dalam hal ini hukum Allah] berfungsi untuk "menyatakan pelanggaran manusia" (Gal. 3:19, BIMK) supaya manusia dapat "mengenal dosa" (Rm. 3:20). Sebelum Yesus datang kepada bangsa Yahudi--dan sebelum mereka percaya dan menerima Kristus--mereka berada "di bawah pengawalan hukum Taurat" yang berfungsi sebagai "penuntun" (Gal. 3:23-24).
John Calvin (1509-1564, terlahir dengan nama asli Jehan Cauvin), teolog asal Prancis yang turut berperan aktif mendukung gerakan Martin Luther dalam Reformasi Protestan, menyebut tiga fungsi utama dari hukum moral Allah: [1] sebagai cermin yang memantulkan kebenaran Allah yang sempurna, dan pada waktu yang sama memperlihatkan keberdosaan dan kekurangan kita (berdasarkan Rm. 3:20; 4:15; 5:13; 7:7-11); [2] untuk mengendalikan kejahatan melalui ancaman hukuman, terutama jika didukung oleh hukum positif dalam masyarakat (berdasarkan Ul. 13:6-11; 19:16-21; Rm. 13:3-4); dan [3) untuk memulihkan perbuatan-perbuatan yang Allah rencanakan bagi manusia (berdasarkan Ef. 3:20; Mat. 5:18-20; 1Kor. 9:21; Gal. 6:2). Seperti kata rasul Paulus, "Jadi hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar dan baik. Jika demikian, adakah yang baik itu menjadi kematian bagiku? Sekali-kali tidak!" (Rm. 7:12-13).
"Menurut Roma 8:5-8, hukum itu adalah instrumen 'dosa dan maut' bagi mereka yang 'memikirkan hal-hal yang dari daging' (ay. 5). Ini menggambarkan seseorang yang masih kawin dengan 'manusia lama' dan tampaknya tidak memiliki kerinduan untuk memutuskan hubungan tersebut lalu bersatu dengan Kristus yang telah dibangkitkan. Sebagai akibat dari ikatan penuh dosa, orang itu mendapati dirinya dalam 'perseteruan' dengan Allah dan hukum-Nya karena keduanya berada pada pihak yang berlawanan (ay. 7)" [alinea ketiga].
Apa yang kita pelajari tentang hukum dosa dan maut yang seharusnya tidak lagi mengikat?
1. Bagi bangsa Yahudi hidup mereka berada di bawah ancaman hukum Taurat, bagi bangsa-bangsa lain hidup di bawah ancaman hukum moral (Sepuluh Perintah). Keadaan ini tetap mengikat sampai mereka beriman dan menerima Yesus Kristus yang memerdekakan dari tuntutan-tuntutan hukum yang dalam keadaan kemanusiaan kita tidak mungkin dipenuhi.
2. Pemutusan "hubungan" dengan hukum itu terjadi pada saat kita menjalin "hubungan baru" dengan Kristus, di mana kita tidak lagi berada di bawah hukum tetapi dipindahkan ke posisi di bawah kasih karunia. Meskipun hubungan yang baru ini sama sekali tidak meniadakan kewajiban kita untuk menaati hukum Allah, namun kita diberi kekuatan Roh untuk menurut.
3. Hukum Allah (Sepuluh Perintah atau hukum moral) tetap berlaku bagi umat Tuhan yang sudah menerima kasih karunia Kristus, tetapi bukan lagi dalam fungsinya untuk mempersalahkan atas dosa-dosa kita yang sudah diampuni itu, melainkan sebagai pedoman hidup dan ukuran moralitas.
3. PELANGGARAN BERAKIBAT MAUT (Kekuasaan Hukum)
Paulus dan Hukum Allah. Rasul paulus menyatakan bahwa hukum Allah tetap relevan sebab tanpa hukum itu tidak ada yang bisa disebut sebagai pelanggaran (Rm. 4:15), berdasarkan hukum Allah itu sesuatu dosa dapat dituntut (5:13), dan hukum Allah itu mengajar kita tentang apa itu dosa (7:7). Hukum Allah semestinya mendatangkan kehidupan, tetapi karena sifat kemanusiawian kita yang lemah dan tidak mampu menaati hukum itu akibatnya malah membawa kematian (7:8-11). Namun sang rasul menyadari bahwa konsekuensi tersebut bukan disebabkan oleh hakikat dari hukum itu, melainkan akibat dari hakikat dirinya sebagai manusia. Dia berkata, "Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat. Jadi jika aku perbuat apa yang tidak aku kehendaki, aku menyetujui, bahwa hukum Taurat itu baik. Kalau demikian bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa yang ada di dalam aku. Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik" (7:15-18).
"Setiap instrumen mempunyai tujuannya. Sama seperti sebuah kunci digunakan untuk membuka gembok atau sebilah pisau digunakan untuk memotong, begitulah hukum itu digunakan untuk menjelaskan dosa. Kalau bukan karena hukum Allah, tidak akan ada metode yang mutlak untuk mengetahui apakah tindakan-tindakan itu berkenan atau tidak berkenan bagi Dia" [alinea pertama: tiga kalimat pertama].
Dalam suratnya kepada Timotius, rasul Paulus berkata perihal hukum Allah seperti ini: "Kita tahu bahwa hukum agama adalah baik, kalau digunakan sebagaimana mestinya. Tentunya harus diingat bahwa hukum dibuat bukan terhadap orang baik, melainkan terhadap para pelanggar hukum, para penjahat, orang bejat, terhadap orang berdosa, orang tidak beragama, orang duniawi, terhadap orang yang membunuh ayah atau ibunya, para pembunuh pada umumnya, terhadap orang-orang cabul, homoseks, penculik, pembohong; saksi-saksi dusta, dan siapa saja yang membuat hal-hal yang bertentangan dengan ajaran yang benar" (1Tim. 1:8-10, BIMK).
Kemenangan atas maut. Hukum Allah itu sendiri tidak menyebabkan kematian, tetapi pelanggaran terhadap hukum itulah yang membawa kematian. Pelanggaran atas hukum Allah disebut "dosa" (1Yoh. 3:4), dan dosa itulah yang mengakibatkan "maut" (Rm. 6:23; Kej. 2:17). Namun, maut atau kematian itu hanya berkuasa atas orang-orang yang berada di bawah "hukum" (Rm. 2:12), sedangkan mereka yang berada di bawah "kasih karunia" tidak lagi dikuasai oleh dosa (Rm. 6:14). Terhadap semua orang yang berada di bawah kasih karunia, maut itu tidak lagi berkuasa (Rm. 8:2); sebaliknya, mereka yang menerima kasih karunia itu akan "diselamatkan" (Ef. 2:5, 8), "dibenarkan" dan beroleh "hidup yang kekal" (Tit. 3:7). "Sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus" (Yoh. 1:17).
Dalam pelayanan Yesus Kristus selama hidup di atas dunia ini beberapa kali Ia telah mendemonstrasikan kasih karunia yang lebih berkuasa dari maut, yaitu ketika Ia membangkitkan orang-orang yang sudah mati seperti anak perempuan kepala rumah ibadah (Mat. 9:18, 23-25), anak laki-laki seorang perempuan janda di kota Nain (Luk. 7:11-15), dan Lazarus (Yoh. 11:40-44). Peristiwa-peristiwa ini hanya merupakan "rasa pendahuluan" dari kuasa kasih karunia yang akan berlaku bagi semua orang percaya pada kedatangan Yesus kedua kali, bilamana kematian menjadi "musuh terakhir" yang akan ditaklukkan (1Kor. 15:26). Lebih jauh sang rasul berkata: "Tubuh kita yang dapat mati ini harus diganti dengan tubuh yang tidak dapat mati, dan tubuh yang dari dunia harus diganti dengan tubuh yang dari surga. Kalau tubuh yang dapat mati sudah diganti dengan tubuh yang tidak dapat mati, dan tubuh yang dari dunia sudah diganti dengan tubuh yang dari surga, pada waktu itu barulah terjadi apa yang tertulis dalam Alkitab, 'Kematian sudah dibasmi; kemenangan sudah tercapai! Hai maut, di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah bisamu?' Bisa maut ialah dosa, dan dosa menjalankan peranannya melalui hukum agama. Tetapi syukur kepada Allah; Ia memberikan kepada kita kemenangan melalui Yesus Kristus Tuhan kita!" (1Kor. 15:53-57, BIMK).
"Kalau bukan karena hukum, tidak akan ada maut, karena tanpa hukum tidak mungkin untuk menentukan dosa. Maksud Paulus dalam 1Korintus 15 bukan untuk memperlihatkan bahwa hukum itu jahat, tetapi untuk menunjukkan bahwa melalui kematian dan kebangkitan Yesus semua orang yang percaya dapat mengalami kemenangan atas maut, yaitu kematian yang muncul akibat pelanggaran hukum" [alinea terakhir: dua kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang kekuasaan hukum Allah?
1. Rasul Paulus tidak mencela hukum Allah, malahan dia meninggikan hukum itu dengan mengemukakan berbagai fungsinya yang penting. Hakikat dari hukum Allah itu baik, benar dan suci; hakikat manusia yang dikuasai oleh dosa itulah yang jahat. Hukum Allah adalah manifestasi tabiat Allah, bermanfaat sebagai penuntun jalan hidup yang dikehendaki-Nya.
2. Hukum Allah itu sendiri tidak mendatangkan kebinasaan, tetapi pelanggaran terhadap asas-asas hukum itulah yang mengakibatkan maut. Hukum Allah itu seperti matahari, berguna bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan dengan semestinya dan sesuai maksud peruntukkannya, tetapi mendatangkan bencana kalau tidak menuruti batasan-batasannya.
3. Kekuasaan hukum Allah adalah untuk menyatakan dosa, tapi hukum itu tidak berkuasa untuk menyelamatkan dari akibat dosa; kasih karunia Allah di dalam Yesus Kristus itulah yang berkuasa menyelamatkan. Namun kuasa kasih karunia bukan untuk mengalahkan kuasa hukum itu, melainkan untuk menaklukkan maut sebagai akibat dari pelanggaran hukum.
4. TIDAK DISELAMATKAN OLEH HUKUM (Hukum yang Tidak Berdaya)
Pilihan ada pada kita. Hukum ciptaan manusia hanyalah instrumen (alat), dan hukum mana pun yang dibuat oleh manusia tidak mengandung kekuatan riil apapun kalau tidak diberi unsur-unsur kekuatan yang berasal dari luar dirinya. Transfusi kekuatan itu sering disebut sebagai "pemberdayaan hukum" atau "penegakkan hukum" yang dalam kenyataannya mesti dibantu oleh unsur-unsur luar yang dikenal sebagai aparat penegak hukum. Contohnya: banyak pengendara yang sengaja melanggar rambu-rambu tanda berhenti (stop sign), lampu merah di persimpangan jalan (traffic light), bahkan tanda larangan masuk maupun lewat (no entrance atau verboden toegang) karena tidak ada petugas atau polisi lalulintas yang berjaga-jaga. Dalam hal ini kekuasaan hukum atau aturan lalulintas itu ada dalam diri si pengendara, tergantung pada kesadaran dan integritas moralnya untuk taat hukum atau tidak. Tetapi kalau ada polisi yang siap untuk menegakkan hukum, semua pengendara "dipaksa" untuk taat hukum.
Namun tidak demikian dengan hukum Allah, khususnya hukum moral, karena di dalam hukum itu terkandung kuasa Allah. Salah satu kekuatan yang melekat pada hukum itu adalah sifat keabadiannya (Mat. 5:18; Luk. 16:17). Bahkan, Allah sendiri berkata bahwa orang yang berpegang pada hukum itu dan melakukannya "akan hidup karenanya" (Im. 18:5; Rm. 10:5; Gal. 3:12), sebaliknya orang yang tidak melakukan hukum itu "terkutuk" (Ul. 27:26; Gal. 3:10). Hukum itu baik "kalau digunakan sebagaimana mestinya" (1Tim. 1:8, BIMK). Jadi, ketaatan ataupun ketidaktaatan pada hukum Allah itulah yang menentukan nasib seseorang. Hukum itu tidak berdaya untuk menyelamatkan orang yang melanggar, tetapi dapat menyadarkan seseorang akan pelanggarannya.
"Sekali lagi, di sini perbedaannya tidak terletak pada hukum itu tetapi pada pribadi. Bagi seorang yang mendapati bahwa dirinya adalah orang berdosa, hukum memaksa dia untuk mengakui bahwa dia sedang berjalan melawan kehendak Allah dan sebagai akibatnya berada di jalan maut. Setelah mendapati keberdosaannya, orang berdosa itu bisa memutuskan untuk mengikuti hukum itu dengan tepat. Namun demikian, fakta bahwa dia sudah berdosa membuat dirinya calon untuk mati" [alinea pertama].
Hukum dan perannya. Hukum Allah memiliki peran khusus dalam kehidupan manusia setelah ada dosa, yaitu "ditambahkan" untuk memperjelas keberdosaan manusia (Rm. 5:20; Gal. 3:19), tetapi dosa itu sendiri sudah ada sebelum hukum itu diberikan (Rm. 5:13). Hukum Allah diturunkan kepada manusia melalui Musa untuk menyatakan kepada manusia mengenal dosa (Rm. 7:7), tetapi hukum itu tidak dapat menghapus dosa (Rm. 8:3). Hukum itu, seperti yang kita sudah pelajari, sama dengan cermin yang dapat menunjukkan kekotoran wajah seseorang tapi tidak dapat membersihkan kekotoran itu (Yak. 1:23-25).
Pada suatu hari Sabat, di kota Antiokhia di wilayah Pisidia [ada juga kota Antiokhia di wilayah Siria, di mana para pengikut Kristus pertama kali disebut orang Kristen; Kis. 11:25-26], rasul Paulus yang diberi kesempatan untuk mengajar umat percaya yang beribadah di sinagog berkata: "Jadi ketahuilah, hai saudara-saudara, oleh karena Dialah maka diberitakan kepada kamu pengampunan dosa. Dan di dalam Dialah setiap orang yang percaya memperoleh pembebasan dari segala dosa, yang tidak dapat kamu peroleh dari hukum Musa" (Kis. 13:38-39; huruf miring ditambahkan). Doktrin ini diulanginya dalam surat yang ditujukan kepada jemaat di Roma, "Sebab apa yang tidak mungkin dilakukan hukum Taurat karena tak berdaya oleh daging, telah dilakukan oleh Allah" (Rm. 8:3; huruf miring ditambahkan), dan juga jemaat di Galatia (Gal. 3:21-22). Bahkan, sang rasul berkata, "Sebab sekiranya ada kebenaran oleh hukum Taurat, maka sia-sialah kematian Kristus" (Gal. 2:21).
"Ketika kita memikirkan sepenuhnya tentang maksud dari hukum itu, lebih mudah untuk mengerti mengapa Yesus menjadi kurban tebusan bagi umat manusia. Kematian Yesus menempatkan umat manusia yang tadinya berdosa pada suatu hubungan yang benar dengan Allah dan dengan hukum-Nya yang 'kudus, benar dan baik' (Rm. 7:12). Pada waktu yang sama juga kematian-Nya memperlihatkan kepada kita kesia-siaan dari keselamatan dengan cara memelihara hukum. Lagi pula, jika penurutan pada hukum dapat menyelamatkan kita, Yesus tidak perlu mati menggantikan kita. Fakta bahwa Dia mati membuktikan bahwa penurutan hukum tidak dapat menyelamatkan kita. Kita memerlukan sesuatu yang jauh lebih drastis" [alinea terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang ketidakberdayaan hukum untuk menyelamatkan?
1. Manusia bisa saja mengabaikan Hukum Allah, tetapi manusia tidak dapat mengabaikan konsekuensinya. Hukum Allah, diakui atau tidak, akan menjadi dasar dari penghakiman ilahi. Bahkan, setan selalu menggunakan hukum Allah sebagai dasar dari semua tuduhannya terhadap umat Tuhan. Inilah unsur kekuatan yang terkandung dalam hukum Allah itu.
2. Hukum Allah tidak berkuasa untuk menyelamatkan manusia, tetapi itu berperan untuk menyadarkan dan menuntun manusia hidup menurut jalan Allah. Hukum itu tidak dapat menghapus dosa, tapi dapat menunjukkan dosa. Hukum tidak memberdayakan manusia untuk menaatinya, tetapi hukum memagari perilaku manusia.
3. Oleh karena hukum Allah tidak dapat menyelesaikan masalah dosa serta menyelamatkan manusia yang berdosa, Allah menyediakan jalan keselamatan melalui kematian Yesus Kristus sebagai kurban pengganti manusia. Jadi, kematian Kristus di kayu salib adalah bukti dari penegakkan hukum yang dilaksanakan oleh Allah sendiri.
5. DOSA DAN KEMATIAN (Kutukan Hukum)
Keadaan manusia. Manusia telah diciptakan menurut citra Allah (Kej. 1:27) dalam kesempurnaan (ay. 31), tetapi akibat pelanggaran Adam dan Hawa seluruh keturunan mereka bahkan bumi ini berada di bawah kutukan dosa (3:17-19). Keberdosaan mengubah keadaan manusia yang sempurna menjadi jauh merosot dalam segala aspek--secara fisik, mental, dan moral--sebab telah kehilangan kemuliaan Allah dalam dirinya (Rm. 3:23). Dosa itu begitu menguasai sehingga manusia bukan saja kehilangan niat untuk berbuat apa yang baik tapi juga kehilangan kemampuan untuk mengendalikan kehendak, sehingga meski ingin berbuat hal yang baik tapi ujudnya adalah hal yang jahat (Rm. 7:18-20). Keadaan manusia yang dikuasai oleh dosa adalah hal yang tak terhindarkan, sebab seperti kata pemazmur, "Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku" (Mzm. 51:7). Sehingga nabi Yesaya mengeluh, "Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor; kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti daun dilenyapkan oleh angin" (Yes. 64:6).
"Dengan mengecualikan Kristus, seluruh umat manusia memiliki pengalaman yang sama dalam hal semua yang telah ditularkan oleh dosa Adam. Akibatnya, tidak ada orang yang secara alamiah dapat menyatakan dirinya benar seutuhnya. Ada beberapa orang seperti Elia dan Henokh yang hidup sangat dekat dengan Allah, tapi tidak ada dari mereka yang sanggup untuk hidup benar-benar tak bercela" [alinea pertama: tiga kalimat pertama].
Dalam kondisi seperti ini manusia tidak mempunyai harapan untuk bisa dibenarkan dengan usaha sendiri, termasuk melalui jalan penurutan hukum. Usaha memperoleh pembenaran dengan pendekatan hukum adalah cara yang penuh risiko sebab kalau tidak mengamalkannya dengan sempurna justeru akan membawa kutukan. "Karena semua orang yang hidup dari pekerjaan hukum Taurat berada di bawah kutuk. Sebab ada tertulis: 'Terkutuklah orang yang tidak setia melakukan segala sesuatu yang tertulis dalam kitab hukum Taurat.' Dan bahwa tidak ada orang yang dibenarkan di hadapan Allah karena melakukan hukum Taurat adalah jelas, karena: 'Orang yang benar akan hidup oleh iman'" (Gal. 3:10-11). [Paulus mengutip kalimat terakhir ini dari Habakuk 2:4.]
Terlepas dari kutukan. Pelanggaran terhadap hukum Allah mengakibatkan dosa (1Yoh. 3:4), jadi dosa adalah kutukan hukum, dan akibatnya adalah maut (Rm. 6:23). Kematian sebagai kutukan hukum sudah ditegaskan Allah kepada manusia pertama di Taman Eden (Kej. 2:17), dan "orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati" (Yeh. 18:4). Amaran ini diingatkan lagi oleh Musa di hadapan umat Israel, "Terkutuklah orang yang tidak menepati hukum dan ajaran Allah dengan perbuatan" (Ul. 27:26, BIMK). Faktanya, tidak ada seorang manusia pun yang mampu memenuhi tuntutan hukum itu, dan berdasarkan kenyataan ini Allah dalam kasih-Nya yang begitu "telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal" (Yoh. 3:16. Di satu sisi, keadilan Allah tidak mungkin membatalkan tuntutan dari hukum itu; di sisi lain, kasih-Nya tidak mungkin membiarkan manusia binasa akibat pelanggaran hukum itu. Dalam hal ini Yesus Kristus adalah solusinya, sementara hukum tetap ditegakkan manusia dapat diselamatkan.
Paulus menulis, "Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: 'Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!' Yesus Kristus telah membuat ini, supaya di dalam Dia berkat Abraham sampai kepada bangsa-bangsa lain, sehingga oleh iman kita menerima Roh yang telah dijanjikan itu" (Gal. 3:13-14; huruf miring ditambahkan). [Petikan dalam ayat 13 dikutip sang rasul dari Ulangan 21:23.] Perhatikan frase "sampai kepada bangsa-bangsa lain" dalam ayat di atas sebagai bagian dari janji Allah kepada Abraham saat dipanggil keluar dari negerinya, yaitu "akan menjadi berkat" bagi bangsa-bangsa lain (Kej. 12:3), yang dalam hal ini janji itu digenapi melalui kematian penebusan Yesus Kristus.
"Bilamana kita menyadari kondisi tidak berdaya dari mereka yang berada di bawah kutukan, lebih mudah untuk menghargai luasnya kasih Allah: 'Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa' (Rm. 5:8). Melalui kematian-Nya,
'Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita' (Gal. 3:13)" [alinea terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang kutukan hukum?
1. Pada mulanya manusia telah diciptakan sempurna menurut rupa Allah, tetapi dosa menyebabkan kemerosotan akhlak. Hukum Allah diturunkan kepada manusia untuk menjadi penuntun hidup yang berakhlak, tetapi manusia tidak menaatinya. Pelanggaran hukum merajalela, kutukan hukum pun merebak.
2. Dalam keadaan tidak berdaya di bawah hukum, satu-satuya pengharapan bagi manusia adalah bersatu dengan Kristus untuk pemulihan. "Orang yang sudah bersatu dengan Kristus menjadi manusia baru sama sekali. Yang lama sudah tidak ada lagi--semuanya sudah menjadi baru" (2Kor. 5:17, BIMK). Kelahiran baru adalah jalan keselamatan (Yoh. 3:3).
3. Kristus adalah solusi bagi orang yang percaya, karena Dia sudah memikul kutukan dosa itu dengan menjalani kematian di kayu salib sebagai kurban pengganti manusia. Yesus Kristus bukan saja membebaskan umat-Nya dari hukum, tetapi juga melepaskan mereka dari kutukan hukum, yaitu maut.
PENUTUP
Hidup oleh kematian Kristus. Tatkala Adam dan Hawa melanggar perintah Allah dengan memakan buah larangan di Taman Eden, nenek moyang pertama dari umat manusia itu bisa saja langsung terkapar mati sesuai dengan amaran Allah sebelumnya (Kej. 2:17). Kalau itu yang terjadi, riwayat manusia dan sejarah dunia ini sudah pasti berbeda. Mungkin Allah akan menciptakan manusia baru, dengan kemampuan moral baru dan konsep hukum baru. Tetapi, sebagaimana Allah tidak segera membinasakan Lusifer dan para malaikat pengikutnya saat mereka memberontak dan kalah, demikian pula Allah tidak serta-merta membinasakan Adam dan Hawa pada detik mereka berbuat dosa. Dalam hikmat ilahi yang tak terjangkau oleh pikiran manusia itu, Allah telah membiarkan Setan beserta anak buahnya tetap hidup dan beraksi di Bumi ini, dan manusia pun menjalani nasibnya seperti yang kita alami sekarang.
Dosa adalah masalah terbesar bagi manusia, tapi dosa tidak lebih besar dari kasih dan keadilan Allah. Bahkan, kekudusan hukum Allah tidak ternodai oleh pelanggaran manusia. Hukum Allah tetap kudus, kasih dan keadilan Allah tetap agung. Semua itu terletak pada pemecahan masalah dosa yang Allah canangkan: kematian penebusan oleh Anak Tunggal-Nya.
"Ringkasnya, kematian Yesus mendemonstrasikan dengan dahsyatnya kekekalan hukum Allah. Ketika nenek moyang kita yang pertyama berdosa, Allah dapat saja meniadakan hukum-Nya dan menyingkirkan hukuman-hukuman atas pelanggaran itu. Namun, hal ini bisa berarti hadirnya satu masyarakat yang durhaka untuk penduduk bumi ini. Gantinya, Allah memilih untuk mengutus Putra-Nya sebagai Pengganti bagi kita, di mana Dia menerima hukuman yang tepat atas dosa sebagaimana dituntut oleh hukum itu demi semua manusia. Melalui kematian Yesus segenap umat manusia berdiri dalam satu hubungan yang baru dengan Allah. Ini artinya bahwa siapa pun dari kita, melalui iman kepada Yesus, dapat membuat dosa kita diampuni dan tampil sempurna dalam pemandangan Allah" [alinea kedua].
"Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada dia yang mengutus aku, ia mempunnyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup" (Yoh. 5:24).
DAFTAR PUSTAKA:
Keith Augustus Burton, Kristus dan Hukum-Nya -Pedoman Pendalaman Alkitab SSD, Indonesia Publishing House, April - Juni 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar