Kristus dan Hukum-Nya (3).
"KRISTUS DAN TRADISI KEAGAMAAN"PENDAHULUAN
Definisi. Apakah tradisi? Apakah agama? Kamus Merriam-Webster Online menerangkan, tradisi ialah "suatu cara berpikir, berperilaku, atau melakukan sesuatu yang telah digunakan oleh orang-orang dalam satu kelompok, keluarga, masyarakat tertentu untuk waktu yang lama." Tradisi, menurut Wikipedia, berasal dari kata kerja bahasa Latin, tradere, yang berarti "mewariskan" atau "menyerahkan untuk dipelihara." Sedangkan agama, menurut kamus Merriam-Webster, ialah "sebuah sistem yang tertata menyangkut keyakinan, upacara, dan aturan-aturan yang digunakan untuk beribadah kepada Tuhan." Wikipedia menyebutkan bahwa agama berasal dari kata Latin religio yang artinya "rasa hormat terhadap apa yang sakral" atau "kewajiban yang mengikat antara manusia dan Tuhan."
Tentu apa yang dicantumkan di sini adalah salah satu dari beberapa definisi yang disebutkan oleh sumber-sumber di atas, tetapi karena alasan tertentu definisi inilah yang dipilih oleh penulis. Berdasarkan definisi pilihan tersebut--sejauh menyangkut hubungan--maka secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa "tradisi" adalah sebuah sistem yang berkaitan dengan hubungan antar-manusia, sedangkan "agama" adalah sistem yang menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ketika kata "agama" dan kata "tradisi" dipersandingkan, kita menemukan kata majemuk "agama tradisi" yang memberi pemahaman baru tentang arti dari dua kata tersebut, yaitu: agama turun-temurun. Namun, apabila bentukan kata ini dibalik menjadi "tradisi agama" maka kita mendapatkan pengertian berbeda dari yang pertama tentang makna dua kata ini, yaitu: tradisi yang diagamakan. Secara tatabahasa ini hanya soal penempatan subyek-predikat, tetapi secara keimanan ini menyangkut keabsahan doktrin.
"Pelajaran pekan ini menelusuri tradisi-tradisi keagamaan di atas mana para ahli Taurat dan kaum Farisi mendasari banyak dari ajaran-ajaran mereka. Para rabi [=guru agama Yahudi] yang pada mulanya menuliskan tradisi-tradisi ini sangat menghormati Kitab Suci dan tidak bermaksud agar tradisi-tradisi ini diangkat statusnya setara dengan Firman Allah. Akan tetapi, sebagian dari murid-murid mereka yang sangat setia mengacaukan metode dengan pekabaran, dan dengan demikian mengalihkan fokus dari wahyu Allah yang tertulis kepada tradisi manusia" [alinea kedua].
Sebagaimana telah dibahas dalam pelajaran terdahulu, Yesus sering menghadapi serangan yang dilontarkan oleh kaum elit agama Yahudi, khususnya kaum Farisi dan para ahli Taurat, yang menuduh Yesus mengabaikan hukum agama. Di pihak lain Yesus pun kerap mengkritik mereka karena kemunafikan, hanya pintar mengajar tetapi tidak melaksanakan apa yang mereka ajarkan. "Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya," kata Yesus pada suatu kali (Mat. 23:2-3).
1. TERHORMAT TAPI MUNAFIK (Kursi Musa)
Posisi kaum Farisi. Versi BIMK menerjemahkan Matius 23:2, "Guru-guru agama dan orang-orang Farisi mendapat kekuasaan untuk menafsirkan hukum Musa" (huruf miring ditambahkan). Tampaknya frase "mendapat kekuasaan" lebih memperjelas tentang apa yang dimaksudkan dengan kata "kursi" dalam terjemahan versi TB, artinya bahwa para guru agama Yahudi dan kaum Farisi memang mendapat mandat untuk "menafsirkan" hukum Musa (Torah) menjadi petunjuk-petunjuk praktis yang bisa dijalankan oleh masyarakat awam bangsa Yahudi. Perkataan Yesus tentang hak para guru agama dan kaum Farisi menyangkut penafsiran hukum Musa itu merupakan pengakuan yang sesuai dengan apa yang diatur oleh Torah itu sendiri (baca Ul. 17:8-11).
Namun frase "kursi Musa" pada ayat di atas telah menimbulkan perdebatan dan interpretasi berbeda dari para pelajar Alkitab. Pada dasarnya perbedaan itu dapat dibagi ke dalam dua kelompok, sebagian menganggap itu adalah kata kiasan dan sebagian melihatnya dalam arti kata yang sebenarnya. Kelompok pertama menyebut bahwa "kursi Musa" adalah kiasan yang melambangkan status orang Farisi dan ahli Taurat sebagai ahli tafsir Hukum Musa, misalnya Craig S. Keener (A Commentary on the Gospel of Matthew) dan Mark Powell (Do and Keep What Moses Says). Sedangkan kelompok kedua memahami "kursi Musa" dalam arti kata sebenarnya, merujuk kepada sebuah tempat duduk di dalam sinagog di mana rabi-rabi dan ahli Taurat duduk menghadap kepada jemaat, misalnya Eleazar L. Sukenik (The Seat of Moses in Ancient Synagogues) dan G.C. Newport (A Note on the 'Seat of Moses') yang mengklaim bahwa dari hasil penggalian bekas sinagog-sinagog seperti di Chorazin, En Gedi, dan Hammat Tiberias telah ditemukan perabot berupa kursi khusus yang diduga disediakan untuk para ahli tafsir itu.
"Pada zaman ketika banyak orang Yahudi telah menjadi sangat dipengaruhi oleh budaya-budaya kafir, kaum Farisi melihat bahwa adalah tugas mereka untuk memastikan bahwa setiap laki-laki Yahudi telah diajar tentang hukum. Untuk melaksanakan tugas ini mereka membentuk jabatan rabi, yang secara harfiah artinya 'orangku yang agung' atau 'guruku'" [alinea kedua: dua kalimat terakhir].
Guru-guru yang munafik. Jadi, kedudukan kaum Farisi, dan juga ahli Taurat, sesungguhnya adalah jabatan yang penting dan diperlukan demi ditegakkannya Torah dan hukum Musa lainnya. Masalahnya, mereka hanya pintar mengajar dan menerangkan tentang Kitab Suci (Torah dan tulisan nabi-nabi) tetapi mereka sendiri tidak mengamalkan ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari.
Yesus mengakui status orang Farisi dan ahli Taurat seperti itu, tetapi Ia mengecam mereka karena hanya bisa mengajar tetapi tidak tahu menjalankan apa yang diajarkan. Yesus menghargai kedudukan mereka, bukan perilaku mereka. "Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya" (ay. 3-4; huruf miring ditambahkan).
"Sementara kita menyimak ayat ini, kita dapati bahwa masalah besar yang Yesus miliki terhadap orang Farisi sebenarnya bukan karena mereka ingin orang lain memelihara hukum Musa, tetapi mereka sendiri tidak memeliharanya. Mereka itu orang munafik--mereka bicara satu hal, tapi melakukan hal lain--dan sekalipun mereka berbuat hal yang benar, mereka melakukannya dengan alasan yang salah" [alinea terakhir: dua kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang kedudukan orang Farisi dan ahli Taurat?
1. Pengetahuan agama dan pengamalan agama adalah dua hal yang berbeda. Kaum Farisi dan para ahli Taurat dihormati karena pengetahuan keagamaan mereka, tetapi hal itu tidak membebaskan mereka dari mengamalkan ajaran-ajaran agama yang mereka kuasai itu.
2. Seperti kaum Farisi dan ahli Taurat, penguasaan doktrin agama bisa membuat seseorang jadi fanatik dan legalistik, tetapi belum tentu membuat dia seorang yang saleh. Kesalehan diukur dari perbuatan dan perilaku keberagamaan, bukan dari sikap dan pandangan-pandangannya tentang agama.
3. Kalau dulu Yesus bermasalah dengan orang Farisi dan ahli Taurat karena perilaku mereka yang tidak sesuai dengan doktrin agama yang mereka ajarkan, Yesus juga mempunyai masalah dengan para pemuka gereja zaman ini yang pintar berkhotbah atau mengajar hanya sebagai "hiasan bibir" (lips service).
2. TIRANI KEAGAMAAN (Perintah Manusia)
Otoritas yang disalahgunakan. Kaum Farisi dan ahli Taurat adalah dua kelompok berbeda yang pada abad pertama dianggap sebagai kaum elit agama Yahudi. Kelompok Farisi umumnya berprofesi sebagai guru-guru agama, sementara kelompok ahli Taurat merupakan kaum cendekiawan yang menguasai detil-detil hukum Musa. Tidak diketahui secara pasti kapan kelompok Farisi itu berdiri, tetapi sejarahwan Flavius Josephus menyebut bahwa keberadaan mereka mulai muncul sekitar tahun 145 SM dan turut ambil bagian dalam Pemberontakan Maccabee melawan pendudukan Yunani purba atas wilayah Galilea. Kaum Farisi dikenal sebagai kelompok separatis (sesuai dengan nama mereka), dan sering juga disebut kaum Khasidim (artinya "setia kepada Allah" atau "yang mengasihi Allah") yang berjuang menentang pengaruh kebudayaan Grika yang mengajarkan penyembahan dewa-dewa.
Mungkin reputasi kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat sebagai cendekiawan tidak terlalu buruk kalau saja mereka sendiri mengamalkan semua yang mereka ajarkan (yang memberatkan bagi kaum awam), dan tidak terlalu berlebihan dalam memaksakan ajaran-ajaran mereka (yang terkesan mengada-ada). Sebagaimana yang sering terjadi pada setiap zaman--termasuk zaman ini--kaum cerdik-pandai seringkali memanfaatkan ketidaktahuan kaum awam untuk "menguasai" mereka dengan menanamkan pengaruh-pengaruh. Tidak jarang orang-orang yang berpikiran sederhana dan bersahaja menjadi korban pendapat kaum terpelajar yang menjerumuskan.
"Sekalipun para ahli Taurat dan kaum Farisi 'duduk di kursi Musa,' sumber otoritas pengajaran agama mereka melampaui Perjanjian Lama. Hukum yang orang Farisi gunakan terdiri atas tafsir-tafsir alkitabiah dari para rabi terkemuka. Tafsir-tafsir ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan Kitabsuci tapi untuk melengkapinya" [alinea pertama: tiga kalimat pertama].
Adat-istiadat sebagai doktrin. Setiap masyarakat beradab di dunia ini mempunyai adat-istiadat yang bersifat mengikat sebagai nilai-nilai budaya dan kaidah-kaidah sosial yang terpelihara secara turun-temurun. Adat-istiadat itu sering dihormati sebagai hal yang sakral karena hal itu menjadi bagian dari jatidiri masyarakat tersebut. Meskipun banyak adat-istiadat masyarakat yang melambangkan keluhuran budi pekerti, ada sebagian adat-istiadat manusia yang terlalu diagungkan sehingga disejajarkan dengan dogma agama. Dalam kebudayaan Israel purba adat-istiadat yang diciptakan oleh orang Farisi sering dipaksakan untuk diperlakukan setara dengan hukum Musa, padahal semata-mata itu adalah hasil pemikiran manusia dan bukan ilham ilahi. Sejauh adat-istiadat dan aturan-aturan tambahan tersebut tidak menjadi hambatan dalam pengamalan hukum Allah, dan kedudukannya di bawah perintah Tuhan, Yesus tidak mempermasalahkannya.
Sebagai orang Kristen, kita menjadikan Alkitab sebagai landasan doktrinal dari setiap ajaran dan pendapat, sekalipun ajaran dan pendapat itu mungkin tidak diilhami oleh Roh Allah asalkan tidak bertentangan dengan doktrin alkitabiah. Meskipun begitu adalah berbahaya kalau kita memberi ruang yang terlampau luas bagi ajaran dan pendapat manusia sehingga tanpa disadari itu sudah menduduki tempat yang seharusnya ditempati oleh Alkitab sebagai otoritas tertinggi dalam hal doktrin Kekristenan.
"Tidaklah tampak bahwa Yesus mempunyai masalah dengan orang Farisi yang mempunyai aturan-aturan mereka sendiri. Namun, Dia ada masalah dengan pengangkatan aturan-aturan ini kepada status 'doktrin.' Tidak ada manusia yang memiliki otoritas untuk menciptakan larangan-larangan agama dan meninggikannya kepada tingkatan mandat ilahi...Petunjuk praktis bisa sangat membantu orang banyak memelihara hukum. Akan tetapi, petunjuk jangan pernah dibiarkan menggantikan tempat dari hukum itu sendiri" [alinea terakhir: tiga kalimat pertama dan dua kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang ajaran manusia dibandingkan dengan perintah ilahi?
1. Kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat telah menjadi "tirani keagamaan" bagi bangsa Yahudi purba yang menuntut ketaatan masyarakat awam terhadap ajaran mereka. Di zaman moderen ini gereja juga tidak luput dari "tirani rohani" segelintir orang yang memaksakan pendapat mereka agar diterima sebagai doktrin.
2. Para pemimpin gereja, rohaniwan dan teolog, berpeluang menjadi "guru rohani" ataupun "tirani rohani" bagi kaum awam, bergantung pada bagaimana mereka menjalankan peran. Apakah mereka berperilaku selaras dengan perkataan mereka, atau meniru gaya orang Farisi dan ahli Taurat yang munafik.
3. Kekristenan hanya mengenal "satu Rabi, satu Bapa, dan satu Pemimpin" (Mat. 23:8-10), dengan Alkitab sebagai satu-satunya ajaran iman karena di luar itu adalah "ajaran atau perintah manusia" (Mat. 15:9). Memelihara adat-istiadat itu hanya menghargai nenek moyang, tapi menaati Firman Tuhan itu menghormati Allah.
3. MENGUTAMAKAN DOKTRIN, BUKAN KEBIASAAN (Tradisi Nenek Moyang*)
(*Judul asli: Traditions of the Elders)
Doktrin dan tradisi agama. Pada zaman Yesus hidup di dunia ini pengaruh ajaran-ajaran kaum Farisi dan para ahli Taurat sangat kuat di tengah masyarakat Yahudi. Sulit untuk membedakan antara hukum Musa yang asli dengan tafsir atas hukum Musa yang sudah mentradisi. Waktu itu tradisi agama adalah doktrin, dan doktrin adalah tradisi agama. Jangan lupa bahwa Torah terdiri atas tiga komponen pokok (hukum moral, hukum upacara agama, hukum sipil) di mana hukum upacara agama dan hukum sipil telah menjadi bagian yang melekat dalam kehidupan sehari-hari orang Israel, mulai dari masa pengembaraan di padang gurun sampai mereka bermukim di tanah Kanaan, dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Kehadiran kaum Farisi (guru-guru agama) dan para ahli Taurat pada pertengahan abad kedua sebelum Kristus, yang memunculkan tafsir-tafsir mereka tentang Torah, semakin meramaikan khazanah tradisi keagamaan yang memberatkan masyarakat.
Salah satu teori tentang mengapa ajaran-ajaran kaum Farisi dan para ahli Taurat begitu berpengaruh dalam kehidupan bangsa Yahudi pada masa itu ialah karena murid-murid (=pengikut-pengikut) mereka terlalu bersemangat untuk menyebarkan dan sangat gigih membela ajaran-ajaran para guru mereka, seolah-olah itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari Torah dan penurutan terhadap ajaran tersebut adalah wajib. Bukankah sekarang ini kita juga bisa menemukan gejala yang sama, ketika sebagian orang bukan lagi mengutip langsung dari Kitabsuci tetapi lebih suka mengutip "kata si anu" sebagai dasar keyakinan mereka?
"Seperti telah kita lihat, sebagian dari rabi-rabi itu menaruh perhatian begitu besar pada aturan-aturan dan tradisi-tradisi yang diciptakan untuk membantu dalam memelihara hukum Musa sehingga mereka gagal untuk membedakan antara keduanya. Tidak berapa lama kemudian kata-kata dari para rabi itu mendapatkan status resmi; umat mengira semua itu sama mengikatnya dengan Kitabsuci. Kemungkinan pada waktu rabi-rabi itu mula-mula menulis komentar-komentar mereka, mereka tidak bermaksud menambahkannya pada halaman-halaman Kitabsuci. Namun, murid-murid mereka yang setia mungkin beranggapan adalah tugas mereka untuk membagikan tafsir-tafsir yang unik ini kepada khalayak umum" [alinea pertama].
Kebiasaan nenek moyang. Doktrin ialah kodifikasi (susunan sistematis) dari keyakinan-keyakinan, sedangkan tradisi doktrinal adalah kerangka bagi keyakinan-keyakinan tersebut. Dalam situasi bangsa Yahudi abad pertama "doktrin" dan "tradisi doktrinal" memiliki keserupaan bentuk meskipun tidak sama dan sebangun. Doktrin agama Yahudi bersumber pada Torah atau Hukum Musa, tetapi tradisi agama berakar pada ajaran-ajaran tokoh agama yang dipelihara sebagai kebiasaan nenek moyang. Sebagai bangsa primordial, kebiasaan nenek moyang bagi orang Yahudi adalah norma-norma kehidupan yang dianggap sakral untuk terus dituruti dan dihidupkan.
Tatkala sekelompok orang Farisi dan ahli Taurat mengkritik murid-murid Yesus yang tidak cuci tangan sebelum makan, dengan tegas mereka menyebut hal itu sebagai pelanggaran terhadap tradisi nenek moyang, bukan hukum. "Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan," kata mereka kepada Yesus (Mat. 15:2). Kritikan ini dilontarkan karena dua alasan: pertama, murid-murid adalah orang Yahudi; kedua, tradisi cuci tangan sebelum makan adalah kebiasaan nenek moyang bangsa Yahudi. Sebagai orang Yahudi murid-murid itu seharusnya mengikuti tradisi para leluhur. Yesus pun tidak menyangkal hal itu, tetapi Dia balik mengkritik mereka. "Mengapa kamu pun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati," kata-Nya (ay. 3-4). Lalu Yesus menyimpulkan, "Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri" (ay. 6).
"Intensitas dari cara mereka bertanya itu menunjukkan bahwa bagi orang Farisi hal ini merupakan sebuah pelanggaran agama yang serius...Berdasarkan fakta bahwa mereka mengarahkan tuduhan mereka terhadap murid-murid Yesus maka kita bisa menyimpulkan bahwa Yesus sendiri tidak melanggar tradisi yang terkenal itu (Mrk. 7:3). Meskipun begitu Dia menyadari bahwa orang-orang Farisi itu membesar-besarkan hal-hal yang sepele" [alinea kedua: kalimat terakhir; dan alinea terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang sikap Yesus terhadap kebiasaan memelihara tradisi?
1. Banyak tradisi budaya dan adat-istiadat masyarakat kita yang baik dan patut dipertahankan, tetapi sebagus-bagusnya tradisi dan kebiasaan para leluhur tersebut itu tidak boleh menyebabkan kita mengabaikan perintah Tuhan. Ketaatan pada Hukum Allah harus berada di atas segala ketaatan pada tradisi manusia.
2. Orang-orang Kristen terdiri atas berbagai suku-bangsa yang berbeda-beda, dan Kekristenan tidak menghapus identitas etnis seseorang. Kemajemukan umat Kristen merupakan hakikat penginjilan (Mat. 28:19; Why. 14:6), di mana semuanya terpanggil ke dalam "satu tubuh, satu Roh,...satu pengharapan" (Ef. 4:4).
3. Kesetiaan kepada tradisi-budaya berhenti ketika kesetiaan kepada doktrin agama dimulai. Orang-orang Kristen yang mengedepankan fanatisme etnis sehingga mengorbankan keutuhan gereja adalah orang-orang dengan "mentalitas Farisi" yang akan menghambat pengembangan nilai-nilai Kristiani.
4. BERDIRI DI ATAS PRINSIP ILAHI (Aturan-aturan Manusia)
Gereja dan prinsip ilahi. Kekristenan telah didirikan di atas prinsip-prinsip ilahi yang teguh dan tidak berubah, bukan di atas prinsip atau aturan manusiawi yang berubah-ubah, dan Yesus Kristus adalah sebagai Batu Penjuru. Tatkala Yesus berkata kepada Petrus, "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya" (Mat. 16:18), sebenarnya Dia bukan mengatakan bahwa Petrus adalah fondasi dari Gereja yang hendak didirikan-Nya. Dalam ayat ini terdapat dua kata tentang batu, yaitu petros (=batu kecil) dan petra (=batu karang besar). Maka, menurut beberapa komentator Alkitab, anak kalimat "engkau adalah petros" seharusnya dibaca "engkau adalah batu kecil," kemudian Yesus melanjutkan, "di atas petra ini [kemungkinan sambil menunjuk kepada Diri-Nya sendiri] Aku akan mendirikan jemaat-Ku..."
Pada kesempatan lain Yesus pernah menerangkan bahwa Diri-Nya adalah bagaikan batu yang dibuang tetapi kemudian menjadi Batu Penjuru (Mat. 21:42; Mrk. 12:10; Luk. 20:17). Petrus juga tidak pernah mengklaim dirinya adalah "batu" di atas mana gereja itu berdiri, malah dengan mengutip Yesaya 28:16 dia menegaskan bahwa Yesus itulah Batu Penjuru (1Ptr. 2:4-7). Hal yang sama diucapkannya juga ketika bersama Yohanes berbicara di hadapan imam besar Hanas dan Kayafas serta para pemimpin agama Yahudi (Kis. 4:11). Paulus pun menyebutkan Yesus adalah Batu Penjuru atau Batu Karang itu (Ef. 2:20; 1Kor. 10:4), dan bahwa Yesus--bukan Petrus--adalah Kepala dari jemaat-Nya (Ef. 1:22; Ef. 5:23; Kol. 1:18). Jadi, gereja Kristen di dunia ini memang didirikan berdasarkan otoritas ilahi di mana Yesus sendiri adalah Fondasi dan Kepala, maka prinsip-prinsip gereja pun adalah prinsip ilahi yang kokoh dan abadi. Namun manusia sejak dulu selalu berusaha untuk menggantikannya dengan prinsip dan perintah manusia.
"Penggantian Hukum Allah dengan perintah-perintah manusia belum berhenti. Di kalangan umat Kristen sekalipun terdapat kebiasaan dan adat-istiadat yang dasarnya tidak lebih baik daripada tradisi nenek moyang. Kebiasaan-kebiasaan itu, yang semata-mata didasarkan pada kewenangan manusia, telah menggantikan ketetapan ilahi" [alinea pertama: tiga kalimat pertama].
Standar ilahi lebih penting. Dalam konteks "perdebatan" antara Yesus dengan kaum Farisi dan ahli Taurat sebagaimana tercatat dalam Matius 15:1-6, fokusnya bukan pada perintah kelima dari hukum moral tentang kewajiban menghormati orangtua ataupun soal hukum kesehatan tentang kebersihan, melainkan terfokus pada prinsip hukum manakah yang lebih penting, perintah Allah atau tradisi manusia. Berdasarkan adat-istiadat nenek moyang kebiasaan membasuh tangan sebelum makan itu adalah hal yang baik, tetapi berdasarkan hukum moral perintah agar menghormati orangtua itu lebih penting. Tradisi mencuci tangan sebelum makan adalah normatif (hal yang baku), tetapi kewajiban menghormati orangtua adalah dogmatis (ajaran agama).
"Ketika orang-orang Farisi berhadapan dengan Yesus mengenai peristiwa membasuh tangan itu mereka berharap Dia menanggapi langsung terhadap tuduhan mereka. Akan tetapi, dengan gaya-Nya yang khas, Yesus menghadapkan mereka dengan sebuah pertanyaan yang langsung menyentuh inti permasalahan. Yesus ingin agar mereka mengetahui bahwa masalahnya bukanlah tentang membasuh tangan atau membayar persepuluhan, tetapi soal diangkatnya standar manusia melampaui standar ilahi" [alinea kedua: tiga kalimat pertama].
Pena inspirasi menulis: "Dia yang sudah berbicara melalui Yesaya sekarang berbicara kepada umat-Nya muka dengan muka. Dia sedang berusaha untuk membuang tradisi dan ajaran palsu yang telah menyatu dengan prinsip Firman Allah yang murni. Para ahli Taurat dan kaum Farisi sudah menuduh Dia dan murid-murid-Nya melanggar sebab mereka tidak memelihara tradisi nenek moyang. Sekarang Kristus tunjukkan kepada mereka bahwa bukan apa yang masuk ke dalam mulut yang mencemarkan jiwa, melainkan yang keluar dari hati, dan dengan meninggikan tradisi manusia di atas hukum mereka telah mencemari jiwa mereka sendiri dan jiwa orang-orang lain" (Ellen G. White, Signs of the Times, 3 Januari 1900).
Apa yang kita pelajari tentang prinsip ilahi dan aturan manusia?
1. Agama yang benar adalah agama yang didirikan di atas prinsip-prinsip ilahi, bukan atas ajaran dan standar manusia. Kekristenan didirikan berdasarkan otoritas ilahi dengan Yesus Kristus adalah fondasi dan sekaligus kepala.
2. Banyak agama di dunia sekarang ini yang menghadapi tantangan yang sama, yaitu tantangan sekularisme dan sekularisasi, tidak terkecuali agama Kristen. Seperti pada zaman Yesus di mana ajaran-ajaran manusia telah menyusupi umat, sekarang pun gereja bisa disusupi oleh prinsip manusia dan dunia.
3. Sebagai Gereja kita harus selalu menjunjung tinggi standar ilahi di atas standar manusia; sebagai umat Tuhan anda dan saya harus senantiasa waspada untuk membentengi hati dan pikiran terhadap unsur-unsur keduniawian dalam segala bentuk dan manifestasinya.
5. KEBENARAN MENURUT STANDAR ILAHI (Kebenaran yang Melampaui Batas*)
(*Judul asli: Excessive Righteousness)
Lebih benar dari orang Farisi. Menilai kehidupan beragama kaum Farisi dan para ahli Taurat, dalam khotbah-Nya di atas bukit itu Yesus berkata: "Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga" (Mat. 5:20). Kata-kata ini ditujukan kepada banyak orang yang dengan tekun menyimak khotbah Yesus, dan sangat mungkin di antara mereka terdapat orang-orang Farisi atau keluarga mereka. Kaum Farisi dan ahli Taurat, sebagaimana yang kita sudah pelajari, adalah orang-orang yang begitu teliti terhadap tuntutan Torah, hukum Tuhan yang diturunkan melalui Musa itu. Kalau penurutan hukum Allah yang cermat tidak cukup untuk menyelamatkan kita, lalu apa yang Yesus inginkan dari umat-Nya?
Perhatikan bahwa apa yang Yesus tekankan dalam ayat ini ialah "hidup keagamaan" dari para ahli Taurat dan kaum Farisi, bukan ajaran-ajaran mereka. Dalam perkataan lain, kehidupan keagamaan kaum Farisi dan ahli Taurat bukan standar ilahi untuk ditiru oleh umat-Nya, tetapi harus lebih tinggi dari itu. Jadi, bukan apa yang seseorang khotbahkan, tapi bagaimana dia menghidupkan apa yang dikhotbahkannya itulah yang penting. "Kalau dibaca secara terpisah, Matius 5:20 dapat dilihat sebagai sebuah ajakan untuk melampaui orang Farisi; maksudnya, lakukanlah seperti apa yang mereka perbuat, hanya saja lakukanlah itu lebih dari mereka" [alinea pertama].
Kaum Farisi (Ibrani: perushim) adalah semacam kelompok partai dalam masyarakat Yahudi yang terdiri atas orang-orang terpelajar yang muncul sekitar dua abad terakhir zaman Bait Suci Kedua. Dengan latar belakang cendekiawan itu maka kaum Farisi merasa memiliki kompetensi untuk menafsirkan Torah agar lebih dimengerti oleh masyarakat umum, dan dalam melakukan hal itu mereka sering menambahkan pendapat-pendapat pribadi.
Dalam hal ini kaum Farisi bertentangan dengan kaum Saduki (Ibrani: saddiqim), sebuah kelompok lain yang terdiri atas para imam, yang berpandangan konservatif bahwa Torah harus dibaca dan dipahami secara harfiah menurut apa yang tersurat dan bukan apa yang tersirat.
Dua jenis kebenaran. Sebelum bertobat dan menjadi pengikut Kristus, rasul Paulus adalah seorang anggota kelompok Farisi yang fanatik dan gigih. Mengenang masa lalunya, Paulus bersaksi bahwa "tentang kebenaran dalam menaati hukum Taurat aku tidak bercacat" (Flp. 3:6). Tetapi setelah mengenal Kristus dan kebenaran-Nya, dia menyadari bahwa kebenaran yang diperoleh melalui penurutan hukum itu adalah "sampah" (ay. 8). Maka Paulus menyebutkan tentang dua jenis kebenaran, yaitu "kebenaran karena menaati hukum" dan "kebenaran karena iman kepada Kristus" (ay. 9). Kebenaran melalui penurutan hukum ialah legalisme, dan kebenaran melalui percaya adalah kasih karunia. Paulus sangat mengerti dengan paham legalistik orang Farisi, sesuatu yang dulu sangat dibanggakannya, sampai dia menyadari bahwa kebenaran menurut pandangan manusia itu di hadapan Tuhan adalah seperti "kain kotor" (Yes. 64:6).
"Yesus menyerukan suatu kebenaran yang melampaui apa yang orang Farisi itu sendiri anggap mereka miliki. Kebenaran yang penting tidak dicapai dengan menjalankan setiap butir dalam daftar tugas; hal itu bisa didapatkan hanya oleh iman dalam Yesus Kristus dan dengan menuntut kebenaran-Nya bagi diri kita sendiri. Itulah kebenaran yang dihasilkan dari penyerahan diri sepenuhnya dan kesadaran yang meluap bahwa kita memerlukan Yesus sebagai Pengganti dan Teladan kita" [alinea terakhir].
Tujuan beragama adalah untuk menjalin kembali hubungan dengan Allah yang terputus karena dosa, dan dalam hal ini manusia tidak punya pilihan selain mengikuti jalan yang disediakan Allah. Keberagamaan yang berlandaskan kebenaran bukan soal penurutan hukum, tetapi kepada siapa kita beriman. Berbicara tentang keberagamaan bangsa Israel pada zamannya, rasul Paulus menulis: "Mereka tidak mengetahui caranya Allah membuat hubungan manusia dengan Dia menjadi baik kembali. Dan karena mereka mau mengikuti cara mereka sendiri, maka mereka tidak tunduk kepada cara yang ditunjuk Alllah" (Rm. 10:3, BIMK).
Apa yang kita pelajari tentang kebenaran yang melampaui kebenaran orang Farisi?
1. Banyak orang yang tekun beragama dan secara fanatik membela agamanya, tanpa menyadari bahwa keberagamaan mereka itu tidak didasarkan pada kebenaran ilahi melainkan hanya pada kebenaran menurut pandangan manusia.
2. Kaum Farisi merasa memiliki kebenaran dalam beragama, namun bukan kebenaran ilahi melainkan kebenaran menurut pandangan mereka sendiri. Kebenaran orang Farisi ialah kebenaran yang didasarkan pada penurutan hukum (legalisme), bukan pada iman (kasih karunia).
3. Keberagamaan adalah keberimanan, dan keberimanan ialah keberserahan pada Allah. Percuma kita beragama kalau tidak berserah kepada Allah, dan berserah artinya patuh kepada cara yang ditentukan-Nya untuk kita turuti. Keselamatan tidak diperoleh melalui penurutan hukum tetapi oleh percaya.
PENUTUP
Supaya ibadah tidak sia-sia. Sebenarnya, apa gunanya beribadah kalau tidak ada yang diharapkan dari peribadatan itu? Ibadah tidak sekadar upacara kebaktian di gereja dengan segala tata cara liturginya, tetapi ibadah meliputi perilaku dan gaya hidup sehari-hari. Sebagai orang Kristen Advent, kita berbakti pada hari ketujuh dalam pekan dan kita beribadah selama tujuh hari dalam pekan.
Namun tidak semua ibadah berkenan kepada Tuhan, dan kalau sesuatu ibadah tidak diterima oleh Tuhan maka peribadatan itu sia-sia. Supaya ibadah kita tidak sia-sia tapi berterima di hadapan Tuhan, maka ibadah itu harus sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Peribadatan adalah untuk kepentingan manusia, bagi anda dan saya, dan peribadatan yang benar serta berguna ialah yang didasarkan pada ajaran dan perintah Tuhan.
"Biarlah semua orang yang menerima otoritas manusia, tata cara gereja, atau tradisi nenek moyang, memperhatikan amaran yang disampaikan dalam perkataan Kristus, 'percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia'."
"Hendaklah kalian berhati-hati, jangan sampai ada yang memikat kalian dengan falsafah-falsafah manusia yang tidak berguna, melainkan hanya menyesatkan. Falsafah-falsafah itu bukan dari Kristus, melainkan dari pendapat manusia saja dan dari roh-roh penguasa dunia" (Kol. 2:8, BIMK).
DAFTAR PUSTAKA:
Keith Augustus Burton, Kristus dan Hukum-Nya -Pedoman Pendalaman Alkitab SSD, Indonesia Publishing House, April - Juni 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar